SEORANG BANKIR, sahabat saya, kesal mendengar celotehan saya tentang karakter bankir yang kudu selalu curiga dan kudu kreatif dan produktif mendulang untung dari nasabahnya. Termasuk dengan cara menjerat nasabah.
Dia ‘murka’ ketika saya bilang, bankir cenderung berpura-pura melayani. Filosofi kuno [ara bankir jaman baheula adalah: “Sediakan bangku (kursi) dan bantu nasabahmu.”
“Ah.. celoteh ngaco aja !”
Yang saya pahami (boleh jadi salah dan keliru), bank merupakan salah satu institusi modern dalam perkembangan peradaban manusia. Secara etimologi, istilah bank itu bermula dari kata Banque, dalam bahasa Itali. Secara harfiah, artinya, ‘bantu’ atau ‘pembantu.’
Pandangan lain menyebut, makna kata Banque sesungguhnya kursi panjang dari besi dan kayu (bangku), tempat orang menunggu kesempatan bertransaksi.
Pada perkembangannya, pengertian bank menjadi pranata sosial untuk membantu masyarakat mengelola keuangan.
Bank berurusan dengan berbagai aspek dan produk jasa keuangan, langsung dan tak langsung, Tapi, titik beratnya adalah pelayanan jasa.
Bank, sejalan perkembangan peradaban manusia, berperan sebagai lembaga bisnis yang mengurusi tata kelola keuangan. Khasnya dari dan kepada pihak ketiga. Karena itu bank berkaitan langsung dengan kemampuan masyarakat mengelola keuangan (finance viability).
Semakin modern suatu masyarakat, semakin memerlukan bank. Semakin maju perbankan di suatu negara, semakin diperlukan tata kelola perbankan, yang tidak lagi hanya sekadar mengurusi transaksi jasa menerima, menyimpan, dan mengeluarkan uang.
Bankir yang berfikir benar, akan memusatkan fungsi bank dan perbankan, sebagai salah satu pilar pembangunan masyarakat. Dalam penyelenggaraan negara modern, bank dan perbankan merupakan unsur vital dalam mengembangkan perekonomian negara secara baik. Terutama, karena bank dan perbankan berkorelasi langsung dengan produktivitas manusia. Baik untuk menggerakkan berbagai aktivitas ekonomi: industri, maupun untuk mendistribusikan kesejahteraan ekonomi masyarakatnya.
Sebaliknya, bankir yang berniat hanya ingin mendulang dana masyarakat, mendirikan bank untuk kepentingannya sendiri. Karenanya banyak sekali bank yang bangkrut dan mengakhiri eksistensinya dengan persoalan yang bisa menjadi keriuhan sosial dan politik. Apalagi ketika terjadi tindakan kriminalitas ekonomi dalam pengelolaannya.
Bank mulai dikenal dan berlaku, sejak manusia mengenal dan melakukan transaksi ekonomi. Ketika itulah manusia mengenal modal, utang piutang, dan keuntungan finansial. Persisnya, sejak emas dan perak menjadi alat tukar dalam transaksi barang dan jasa, termasuk sebagai standar untuk mengukur nilai barang dan jasa tersebut.
Praktik perbankan dikenal sejak bangsa Yahudi mengambil peran sebagai penjual jasa penyimpanan emas, sehingga masa itu dikenal istilah goldmith, alias ‘orang-orang Yahudi yang mengelola penyimpanan emas’.
Penguasaan bisnis ini oleh orang - orang Yahudi, tersebab oleh keadaan, ketika mereka dilarang memiliki tanah untuk pertanian di Eropa.
Di tangan orang-orang Yahudi inilah pengelolaan emas dan perak sebagai alat tukar dan tolok ukur nilai barang dalam transaksi menemukan bentuknya sebagai institusi yang dipercaya oleh orang-orang kaya.|