Bikin Jera Si Wakil Rakyat

| dilihat 2122

AKARPADINEWS.COM | SENIN, 29 Februari lalu, aparat Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya menahan anggota DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Fanny Syafriansyah alias Ivan Haz.

Putra mantan Wakil Presiden Hamzah Haz itu mendekam di rumah tahanan Polda Metro Jaya lantaran menjadi tersangka kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap asisten rumah tangga, Toipah (20 tahun).

Polisi menahan Ivan Haz setelah melakukan pemeriksaan hampir 10 jam. Sebelumnya, anggota Komisi IV DPR itu tidak kooperatif karena sering mangkir dari panggilan penyidik dengan alasan sibuk.

Toipah atau Ipah melaporkan sang majikan lantaran sering mendapatkan kekerasan fisik, verbal dan kekerasan lainnya sejak Juli-September 2015. Polisi pun merespon laporan Ipah, meski terkesan rada lama karena "status" Ivan sebagai wakil rakyat.

Proses penyidikan hingga penetapan tersangka yang berlarut-larut diakui kepolisian karena menunggu izin dari Presiden Joko Widodo seperti diatur dalam Pasal 245 ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD).

Ketentuan itu tentu dirasakan tidak adil bagi korban. Ipah sendiri memperkarakan kekerasan yang dilakukan Ivan Haz sejak September 2015 lalu. Ipah merasakan sakit akibat pukulan si wakil rakyat. Kuping korban sebelah kiri bengkak.

Ivan juga diduga menendang tangan kanan dan kiri korban, menendang punggung, memukul pipi kanan serta kiri. Tak hanya itu, gaji korban dan dua pembantu lainnya pun tidak dibayarkan selama dua bulan tanpa alasan. Dan, mereka pun hanya mendapat jatah makan sehari sekali.

Bahkan, sejak awal bekerja sebagai baby sister pada Mei 2015 lalu, kartu identitas dan telepon genggam korban ditahan sang majikan. Korban juga tidak diperbolehkan keluar apatemen. Jika korban melakukan kesalahan sedikit saja, majikannya sering melakukan penganiayaan seperti membenturkan kepala korban ke tembok dan memukul.

Merasa tidak diperlakukan dengan manusiawi, korban pun nekat kabur dari apartemen Ivan di kawasan Ascott dengan cara melompat pagar. Dia pun melaporkan tindak kekerasan majikannya ke Polda Metro Jaya. Namun, setelah sekian lama menunggu, baru sekarang polisi menindaklanjutinya. Selain itu, korban yang mengakui pelakunya adalah Ivan dan istrinya, namun hingga saat ini, Anna Susilowati, sang istri si "tuan besar" masih berstatus saksi. Semua tentu berharap, akhir dari penanganan kasus ini tidak antiklimaks.  

Menyeret wakil rakyat ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan tindakannya terhadap warga biasa selalu harus melalui prosedur panjang. Apakah karena mereka merupakan warga negara istimewa sehingga aparat penegak hukum rada ewuh pakewuh dalam memperkarakan kasusnya? Ditambah lagi sang ayah, Hamzah Haz yang siap “pasang badan” dengan mengajukan penangguhan puteranya sebagai tahanan.

Sang ayah memastikan Ivan akan kooperatif dan tidak akan mengganggu proses penyidikan pihak kepolisian selama penangguhan penahanan dilakukan. Selain itu, istri tersangka, tim bela hukum dan 100 konstituen yang memilih Ivan Haz menjadi anggota DPR dari Daerah Pemilihan (Dapil) Madura siap menjaminkan diri.

Seharusnya, dalam penegakan hukum berlaku asas persamaan di hadapan hukum kepada setiap warga negara (equality before the law). Siapa pun yang bersalah harus mempertanggungjawabkan kesalahannya, tanpa ada diskriminasi dan pengistimewaan.

Apalagi, kasus yang menyeret Ivan Haz menjadi perhatian publik. Sebagai pejabat publik, Ivan Haz harusnya memberikan contoh positif bagi publik. Dan, sudah seharusnya hukumannya pun lebih maksimal. Di luar negeri, pejabat yang baru diduga melakukan pelanggaran etik, mundur dari jabatannya. Jika tersangkut kasus pidana, mereka diperlakukan setara dengan warga negara lainnya. 

Bunga Siagian, dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala) dalam konferensi pers kasus kekerasan terhadap PRT di Lembaga Bantuan Hukum pada Oktober silam mengatakan, terkait kasus PRT yang beredar oleh Ivan Haz bersama istrinya, sudah terjadi sejak Juli hingga September. Korban mengalami penyiksaan dan meminta perlindungan. Siang dan malam, korban mengalami pukulan. Banyak luka di kepala, tangan, telinga dan beberapa bagian tubuh lainnya. "Banyak pelanggaran yang dilakukan anggota DPR tersebut” ucapnya kala itu.

Selain keterangan korban dan saksi, salah satu bukti kuat yang dapat menjerat tersangka di pengadilan adalah rekaman CCTV. Bukti lain adalah keterangan ahli dan beberapa dokumen yang dikaitkan dengan kasus. Bila terbukti bersalah, Ivan dapat dijerat Pasal 44 ayat 1 dan 2 serta Pasal 45 UU No 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dengan ancaman penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp 30 juta.

Kasus kekerasan serupa yang dilakukan oleh wakil rakyat diduga pula dilakukan Masinton Pasaribu kepada sekretaris pribadinya Dita Aditia Ismawati. Dita melaporkan Masinton telah memukul matanya dengan tangan kosong saat berada di mobil yang mereka tumpangi.

Sayangnya, kasus ini tidak ditindaklanjuti. 18 Februari, Dita mencabut laporan dugaan penganiayaan tersebut ke Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Mabes Polri. Dita meminta perkaranya dihentikan.

Direktur LBH APIK sekaligus kuasa hukum Dita, Ratna Bantara Mukti, mengatakan, Dita mendapat tekanan oleh pihak keluarga dan Masinton untuk mencabut laporannya di Bareskrim. Sedangkan Masinton sendiri menjawab kasus ini telah diselesaikan dengan jalan kekeluargaan.

Kasus kekerasan yang dilakukan anggota DPR terhadap perempuan, bukan semata-mata tentang kejahatan si pelaku. Namun, ada yang salah dalam cara pandang berpikir dan bertindak setelah mereka menjadi anggota DPR dan memiliki kekuasaan. Pangkat dan jabatan membuat para wakil rakyat ini menjadi arogan.

Inilah dampak dari cara berpikir yang selama ini diwariskan secara turun temurun dalam masyarakat, dengan memandang pejabat sebagai pihak yang harus dihormati. Akibatnya, seringkali pelanggaran yang mereka lakukan ditolerir, pembiaran dan korban cenderung memilih bungkam.

Tindakan yang dilakukan Ipah dengan melaporkan majikannya sendiri sekalipun anggota DPR adalah tindakan benar. Begitu pula yang dilakukan Dita. Namun, karena relasi kekuasaan, akhirnya kasus Ipah baru dapat ditindaklanjuti setelah berbulan-bulan lamanya, sedangkan Dita harus mencabut laporan perkaranya.

Hal ini membuktikan cerminan dari cara pikir para pejabat publik yang menyepelekan kasusnya, sekaligus menyalahkan korban, khususnya perempuan. Kasus kekerasan ini tidak boleh diselesaikan melalui jalan kekeluargaan karena tidak akan menimbulkan efek jera pelakunya. Aparat penegak hukum tidak boeh pandang bulu. Hukum tidak boleh tumpul ke atas, tapi tajam ke bawah. Hukum harus benar-benar berpihak pada korban.

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Humaniora
08 Mei 24, 19:52 WIB | Dilihat : 132
Sorbonne Bersama Gaza
03 Mei 24, 10:39 WIB | Dilihat : 423
Pendidikan Manusia Indonesia Merdeka
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 621
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1359
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
Selanjutnya
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 401
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 519
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 369
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya