Matahari Perubahan

| dilihat 510

Bang Sém

Salah satu hal yang menyenangkan saya menjalani kehidupan kini, adalah berbincang dengan anak kemenakan dan cucu -- tanpa kecuali, cucu kemenakan. Merekalah yang belakangan hari menjadi daya pengaruh, yang membuat saya selalu hidup optimistis.

Latar belakang akademisnya beragam, orientasi nilai hidupnya pun begitu. Ada yang paling sekuler. Ada yang paling religius. Ada yang seléngékan, jenaka, ada juga yang serius. Minatnya pun beragam.

Kali ini, salah seorang cucu dan beberapa kemenakan bersoal pada saya ihwal matahari, yang sering saya jadikan amsal dalam memaknai dinamika hidup dan berkehidupan. Antara lain sebagai simbol perubahan yang konsisten. Kebetulan, relevan dengan bagian nama saya.

Ketika matahari diyakini melayang di cakrawala dan bergulir di jalurnya, lantas memancarkan cahaya, memelihara seluruh anasir dan aspek kehidupan semesta, saat itulah hukum alam sedang bekerja.

Bagi kaum yang berfikir dengan segala ilmu pengetahuan dan teknologi yang menyertainya, perguliran matahari itu adalah konsistensi. Sebagian kaum pembelajar lainnya, melihat dan memaknainya perguliran matahari itu juga sebagai isyarat, penanda bagimana manusia harus berkehidupan.

Untuk memaknainya, Tuhan menyediakan instrumen asasi : nalar, nurani, naluri, rasa dan dria, sehingga manusia dapat menggunakannya -- secara berkeseimbangan -- untuk memaknai relasi dirinya sebagai manusia dengan Tuhan, alam semesta dan sesamanya.

Memilih Cara Hidup

Dalam konteks itu, lantas manusia mengenal ilusi, fantasi, imajinasi untuk memilih dan memilah buah pikir dan impian abstraksinya, gagasan, dan ide, menjadi suatu pandangan jauh (visi) yang mesti diperjuangkan manifestasinya menjadi kenyataan hidup.

Dalam perjuangannya, sebagian manusia memilih alasan-alasan intuitif untuk mengubah gagasan sebagai kenyataan. Sebagian lainnya memilih cara hidup, way of life untuk hal yang sama.

Di situlah hakikat perubahan (dengan kata dasar ubah) dapat dimaknai. Baik dalam konteks perubahan sebagai menambah baik yang sudah baik, menjadikan baik yang belum baik, menghentikan yang tidak baik, dan merancang kebaikan yang baru, lebih segar, dan lebih relevan dengan proses perubahan semesta dan atau zaman.

Dalam merancang dan mengelola perubahan semacam itu, manusia dihadapkan oleh realitas yang dikenal sebagai tantangan, peluang, (realitas) kelemahan, sehingga mampu merumuskan dan membentuk kekuatan apa yang seharusnya dan diperlukan.

Pada skala individu manusia seringkali melakukan inward looking tentang dirinya. Melakukan proses kedalaman insaniahnya, ditopang energi dari dalam dirinya sebagai makhluk individu. Antara lain, kesadaran tentang hakikat eksistensi diri sebagai manusia dengan segala keterbatasan dan keleluasaannya.

Pada skala sosial, manusia melakukan outward looking, ditopang energi yang diperoleh dari luar dirinya, tanpa kecuali lingkungan sosial, sesuai kapasitas dan eksistensinya sebagai makhluk sosial dengan segala dimensinya yang jauh lebih besar dari sekadar keterbatasan dan keleluasaan.

Ilmu Laksana Matahari

Dalam konteks itulah, kemerdekaan (bukan sekadar kebebasan) menjadi kata kunci. Kemerdekaan berekspresi, berfikir, bersikap, dan bertindak (termasuk memilih cara aktualisasi diri).

Di dalam kemerdekaan itulah, selalu saya yakini, kreativitas (bermula pada gagasan, ide) yang terus tumbuh dan berkembang. Lantas mengalami proses perubahan (aksi), menjelma sebagai inovasi yang kemudian menerbitkan invensi.

Kemerdekaan yang dikelola baik, laksana matahari yang memberi amsal penting tentang konsistensi, konsekuensi, dan mempunyai nilai kebermanfaatan sangat luas bagi semesta. Dalam budaya Jawa, dikenal pepatah urip iku urup. Dalam berkehidupan, seseorang kudu mencerahkan orang lain. Dalam budaya Bugis, dikenal pepatah Dek nalabu essoe ri tenngana bitarae. Matahari tak kan tenggelam di tengah langit. Maknanya, sepanjang hayatnya manusia mesti selalu memancarkan kemanfaatan. Lantaran Tuhan memberi cara, sebaik-baiknya manusia adalah yang luas manfaatnya bagi orang lain.

Basuluah matoari, bagalanggang mato urang banyak, dalam pepatah Minang, yang mengisyaratkan fungsi manusia sebagai problem solver, sehingga sesuatu masalah atau persoalan yang gelap menjadi terang benderang. Tak perlu banyak kilah.

Mahfudzat alias pepatah Arab menyebut, Kun kash-shams allati tashruq biishraha wa tanir lilljamii' dun tamiiz aw tahyiz, wa taakkid 'an al-iijabiyah satajlib al-nur wal-sa'ada lihayatik wa hayat al-'akhirin. (Hiduplah) laksana matahari yang bersinar terang dan menerangi seluruh semesta, tanpa membeda-bedakan sesiapa, lantas pastikan, sikap positif memcarkan cahaya dan kebahagiaan kolektif.

Untuk mencapai kehidupan demikian, perubahan adalah sesuatu yang niscaya. Karena setiap manusia harus berubah dari suasana kegelapan hidup menjadi benderang (minadz dzulumaat ila an nuur). Bahkan perubahan (dalam konteks pembaruan) kudu dilakoni dengan ilmu. Lantaran ilmu itu laksana matahari dan perubahan kudu dijalani berdasarkan cinta (al ilmu nuurun al ijtihaadu mahbubun). | [ Rumah Akarpadi, 16.02.24 ]

Editor : delanova
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 525
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1618
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1398
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 948
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1174
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1438
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1584
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya