Parpol pun Minta Disantuni

| dilihat 1476

AKARPADINEWS.COM| Sebuah wacana digelontorkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo. Dia mengusulkan agar partai politik didanai dari kas negara. Tanpa memberikan rincian yang jelas, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu mengusulkan agar partai politik mendapatkan dana sebesar Rp1 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Mungkin, Tjahjo berpandangan, dana sebesar Rp1 triliun untuk satu parpol itu kecil. Pasalnya, APBN saat ini mencapai lebih dari Rp1.700 triliun. Lalu, Tjahjo menyakinkan, partai politik yang mendapatkan anggaran dari negara harus dikontrol ketat oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan melibatkan partisipasi rakyat. Jika ada penyalahgunaan, kata dia, maka harus diberikan sanksi, termasuk membubarkan partai politik seperti diatur dalam UU Partai Politik.

Wacana itu tentu direspon positif kalangan politisi. Dukungan dana dari kas negara bisa menjadi "pelumas" memperlancar kegiatan partai politik. Liberalisasi politik yang diterapkan saat ini memang membutuhkan anggaran besar. Mereka yang ingin memenangkan pertarungan politik, harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Biaya yang tinggi itu yang diyakini menjadi pangkal politisi melakukan korupsi.

Namun, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyarankan agar hitung-hitungan dana untuk partai politik dibahas bersama-sama, melibatkan para aktivis antikorupsi. Dia juga menekankan pentingnya diatur konsep pembiayaan kampanye. Menurut politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, kampanye yang menggunakan uang pribadi, menjadi pangkal terjadinya korupsi.

Biaya politik saat ini memang kelewat tinggi (high cost politics) yang memicu korupsi politisi. Sulit rasanya diterima logika jika ada calon kepala daerah yang menggelontorkan uang hingga Rp100 miliar untuk menjadi kepala daerah. Padahal, gaji kepala daerah seperti gubernur hanya Rp8,4 juta per bulan, dan bupati atau walikota Rp5,8 juta per bulan. Jika dikalkulasikan selama lima tahun masa kerjanya, maka gaji gubernur berkisar Rp510 juta dan bupati atau walikota, hanya Rp384 juta.

Apa mungkin mereka rela menghambur-hamburkan uang dengan tujuan menduduki jabatan dengan total gaji yang tidak berbanding lurus dengan modal yang telah dikeluarkannya? Dalam politik, tak ada makan siang gratis. Politik adalah kepentingan. Setelah sukses meraih kekuasaan, politisi yang awalnya melakoni peran sinterklas, lama kelamaan berubah menjadi buas. Dia menjadi liar lantaran selama periode kepemimpinanya dituntut untuk mengembalikan modal politiknya. Dan, mereka yang mendukung pun pada grasak-grusuk minta bagian.

Rasanya sulit mengharap partai politik terbebas dari korupsi tatkala pragmatisme politik masih menjangkiti sebagian besar politisi. Pragmatisme mengarahkan mereka untuk berorientasi jangka pendek, mementingkan tujuan untuk berkuasa, ketimbang menjadikan kekuasaan untuk kesejahteraan rakyat. Pragmatisme ini yang kemudian mereduksi etika, moral, janji-janji politik, dan ideologi. Mereka mengadopsi praktik politik Machiavellistik yang menyakini politisi yang ingin berhasil, terkadang harus bertindak amoral, menjungkirbalikan nilai, norma, dan ajaran agama.

Biaya politik yang tinggi pada dasarnya akibat kegagalan partai politik melaksanakan pendidikan politik kepada rakyat. Biaya politik yang tinggi justru dilakukan  politisi gemar menebar uang setiap kali berinteraksi dengan rakyat. Lihat saja polah mereka saat suksesi berlagak layaknya sinterklas yang suka membagi-bagikan hadiah tatkala Hari Raya Natal.  Kekuataan uang telah menjadikan demokrasi tanpa makna dan tidak mendidik nalar politik rakyat.

Dalam internal partai politik sendiri, kekuatan uang sangat menentukan jabatan politisi di partai politik. Sementara politisi tulen, yang merupakan kader militan yang turut berjuang menjaga titah dan membesarkan partai, justru sering terdepak karena tak memiliki uang. Lantaran uang, partai politik gagal melakukan kaderisasi individu-individu agar menjadi pemimpin yang diharapkan. Partai politik hanya memproduksi politisi-politisi instan.

Korupsi politisi juga lebih karena motif keserakahan. Lihat saja, korupsi dilakoni orang-orang terhormat, berdasi, berparfum wangi, dan orang-orang pintar yang latar belakang pendidikan tinggi. Jadi, korupsi bukan sekadar kebutuhan yang mendesak, namun juga karena keserakahan individu. Dan, keserakan itu semakin menjadi-jadi lantaran banyak celah untuk korupsi. Dengan demikian, korupsi akan selalu terjadi jika tidak disertai penegakan aturan, pengawasan yang ketat, dam perbaikan sistem yang membuka celah korupsi.

Akan lebih baik jika partai politik dibiayai kader dan konstituen. Di banyak negara demokrasi, praktek pengumpulan sumbangan publik dari donatur individual merupakan praktek yang rutin. Banyak individu yang menyumbang dalam nominal kecil. Namun, karena jumlahnya banyak, maka jumlahnya sangat signifikan. Konstituen akan menghentikan sumbangan kepada partai politik jika ternyata tidak memperjuangkan kebijakan yang sejalan dengan kepentingannya.

Di Indonesia, partai politik tidak memiliki tradisi dan keterampilan untuk menggalang dana publik. Politisi terbiasa menerima sumbangan dari kader-kadernya yang menduduki jabatan strategis dan pengusaha yang akhirnya menyandera mereka. Dengan penggunaan dan pengelolaan dana publik, maka akan lebih mendekatkan jarak politisi dengan rakyat, meningkatkan kepercayaan dan partisipasi rakyat, serta menciptakan iklim demokrasi yang sehat. 

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 539
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1637
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1412
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 289
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 453
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 301
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya