Memaknai Kongres Kaum Betawi 2023

Strukturisasi Kelembagaan Masyarakat Inti

| dilihat 544

Catatan Bang Sém

"Alawe membolong di nawang, nawang membolong di alawe, alawe membolong di akkeadang, akkeadang membolong di alawe, alawe membolong di atuang, atuang membolong di alawe."

Kutipan ini diambil dari kecerdasan dan kearifan budaya masyarakat adat Mandar. Maknanya, kurang lebih: "Diri manusia merupakan bagian dari semesta (sama diciptakan Tuhan),  alam merupakan bagian dari diri manusia, diri manusia adalah bagian dari adat istiadat (sistem sosial),. sistem sosial berpangkal diri manusia, diri manusia adalah bagian dari pribadinya sendiri dan diri pribadi manusia adalah bagian dari keinsaniannya."

Pesan filosofis di dalam kecerdasan dan kearifan budaya ini menyadarkan, strukturisasi kelembagaan masyarakat adat dalam bentuk pengorganisasian adalah niscaya.

Strukturisasi kelembagaan dalam bentuk organisasi yang disepakati bersama oleh wakil-wakil masyarakat, itu sangat dimungkinkan sepanjang bertolak dari kepentingan kolektif. Yakni, kepentingan yang bertolak dari kesadaran tentang keadilan pelakuan bagi setiap warga masyarakat tersebut.

Kesadaran ini, kelak berhubungan dengan keseimbangan hukum adat (sebagai evolusi kebiasaan menjelma dalam tradisi, budaya, kemudian menjadi hukum informal - non formal, collective order) dengan hukum formal yang disusun dan disepakati melalui mekanisme kelembagaan modern berbasis politik (negara, pemerintah), yang mewujud dalam bentuk regulasi formal yang mengikat (undang-undang, peraturan, dan turunannya).

 Di sisi lain, strukturisasi masyarakat adat dalam suatu kelembagaan diperlukan, karena perlunya jaminan atas hak-hak dasar (tanpa kecuali hak politik) sekaligus posisi tawar masyarakat adat atau indigenous people's dengan penyelenggara negara, pemerintahan.

Lingkupnya meliputi seluruh aspek kebudayaan (budaya, politik, sosial, ekonomi) dan tidak direduksi hanya sebatas budaya (mikro) semata. Terutama, karena dimensi mikro budaya seperti tradisi dan seni, sering dieksplorasi dan dieksploitasi untuk kepentingan politik dan ekonomi. Antara lain untuk kepentingan industri wisata.

Maknanya, strukturisasi masyarakat adat diperlukan, agar eksistensi masyarakat adat secara dimensional tidak terampas dan tergerus oleh arus besar perubahan budaya dan peradaban.

Warisan Kolektif Nenek Moyang

Adalah realitas faktual, lebih dari delapan miliar penduduk planet bumi terhubung dengan warisan nenek moyangnya masing-masing dengan jejak aktivitas budaya, nilai, dan kepercayaan yang sangat kaya.

Warisan kolektif budaya ini, sudah ada sejak berabad-abad silam dan memiliki berbagai bentuk, dan selalu memerlukan pemajuan (melalui pengembangan budaya kreatif dan inovasi selaras dengan dinamika kemajuan cepat sains dan teknologi) sesuai dengan perkembangan zaman.

Dari warisan kolektif budaya tersebut, masyarakat adat atau sering juga disebut sebagai masyarakat inti, tumbuh dan berkembang berbagai simbol dan ikon yang menjadi ciri identitas sosial dan personal.

Masyarakat adat atau masyarakat inti tak hanya harus diidentifikasi sebagai masyarakat lokal yang tinggal dalam suatu kawasan yang terpencil yang mempunyai daya rekat dengan ekologinya. Melainkan harus dilihat sebagai masyarakat inti suatu wilayah budaya dalam wilayah geografis negara.

Di dalam wilayah budaya itu masyarakat adat atau masyarakat inti berinteraksi kuat, termasuk memantik dan menggerakkan proses asimilasi dan akulturasi dalam sebagai masyarakat modern yang merawat dan memajukan nilai-nilai dasar kehidupan asas mereka. Suatu proses yang mematahkan dikotomi masyarakat tradisional dan masyarakat modern.

Keragaman, Persatuan, Kebenaran

Di Indonesia, masyarakat Aceh, Riau, Minangkabau, Betawi,  Bali, Sunda, Jawa, Dayak, Bugis, Bajau, Banjar, Minahasa, Maluku, Papua -- tanpa mengurangi makna eksistensi masyarakat lokal di pedalaman -- merupakan masyarakat inti yang memiliki wilayah budaya, dan terbuka dalam proses strukturisasi.

Terutama karena keberadaannya merupakan indikator utama hakikat bhinneka tunggal ika tanhana drahma mangrwa yang dituliskan Mpu Tantular dalam kakawin Sutasoma abad ke 14. Keberbagaian adalah satu jua, di dalam kebenaran tak ada kerancuan. Kata kuncinya adalah keragaman, persatuan, dan kebenaran asasi (intinya adalah keadilan).

Masyarakat Aceh, Bali, dan Jogjakarta (Jawa) dapat menjadi rujukan dalam keseluruhan konteks strukturisasi dan pelembagaan masyarakat adat di Indonesia. Tak hanya dalam konteks penegasan wilayah budaya dan sinkronitas praktik pelaksanaan hukum adat dengan hukum negara.

Jauh dari itu juga dalam konteks pengembangan kreatif dan inovasi penerapan nilai-nilai adat dan resam budaya pada penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pemajuan masyarakat.

Jogjakarta mempunyai struktur kemasyarakatan adat yang mempunyai daya setara (dan integratif) dengan struktur negara, Sultan Jogja dalam undang-undang keistimewaan Jogjakarta adalah Kepala Daerah/Gubernur.

Ruh Dinamika Masyarakat

Kelembagaan adat Jawa terkonsentrasi pada budaya. Demikian pula halnya dengan Bali. Namun secara khas kelembagaan negara (Pemerintah Provinsi Bali) menempatkan budaya sebagai ruh dalam dinamika kemasyarakatannya, termasuk dalam peraturan tentang desa adat.

Kelembagaan adat Aceh terpisah dengan penyelenggara negara (pemerintahan), khasnya terkait dengan kelembagaan Wali Nangroe dan berbagai institusi adat (seperti Majelis Adat Aceh, Majelis Pemangku Adat Aceh, Majelis Ulama Aceh, Majelis Khazanah Aceh, dan sebagainya).

Aceh sebagaimana halnya Jogjakarta mpunyai landasan hukum formal yang kuat, undang-undang negara. Yakni: Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh; dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dan UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Jogjakarta.

Bagaimana dengan Kaum Betawi sebagai masyarakat inti Jakarta yang akan mengalami dampak terbitnya Undang Undang No.3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara? Undang-undang tersebut dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan di Jakarta akan mengubah UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

UU No. 29 Tahun 2007 tidak secara khusus menempatkan kaum Betawi sebagai masyarakat inti Jakarta, kedudukannya sama dengan masyarakat dari etnis dan suku lain yang menjadi warga Jakarta. Karenanya hanya tertulis sepintas dalam Bab V tentang Kewenangan dan Urusan Pemerintah Provinsi - Pasal 26 angka (6). Yakni : "Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, melestarikan dan mengembangkan budaya masyarakat Betawi serta melindungi berbagai budaya masyarakat daerah lain yang ada di daerah Provinsi DKI Jakarta." Pelaksanaan amanat UU No. 29 Tahun 2007 tersebut diturunkan dalam Peraturan Daerah No.4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi.

Secara historis, pengakuan terhadap eksistensi masyarakat inti Betawi melalui selasar budaya bermula dari pengakuan resmi Gubernur DKI Jakarta (Ali Sadikin) yang menebitkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 197/1977 tentang Pengukuhan Berdirinya Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB). Kemudian pengakuan dari selasar sosio politik atas berdirinya BAMUS (Badan Musyawarah Betawi) sebagai forum musyawarah organisasi kaum Betawi 11 Juni 1982.

Kongres Kaum Betawi 2023

Strukturisasi kelembagaan adat masyarakat inti Betawi terkoneksi dan terkorelasi dengan terbitnya UU No. 3 Tahun 2022, yang memantik kesadaran baru untuk membentuk Majelis Adat Kaum Betawi. Khasnya dimulai dengan kesepakatan kaum Betawi membentuk Majelis Amanah Persatuan Kaum Betawi (22.12.22). Majelis ini digagas dan dirancang untuk menaungi semua organisasi kemasyarakatan Betawi. Termasuk merancang dan menyiapkan proses strukturisasi dan pembentukan Majelis Adat Kaum Betawi.

Pra Kongres (13.05.23) dan Kongres Kaum Betawi (10.06.23) pun digelar di kawasan Ancol. Saya memahami peristiwa Kongres Kaum Betawi sebagai langkah maju kaum Betawi dilandasi kesadaran menghadapi tantangan abad 21.

 James Martin (2007) mengisyaratkan, abad 21 menghadapkan masyarakat dengan berbagai tantangan -- akibat perubahan cepat -- yang mendong ikhtiar besar: Menyelamatkan ekosistem dan ekologi; Membalik kemiskinan; Mengendalikan demografi; Merespon globalisme secara efektif; Mengembangkan kreativitas dan inovasi berbasis sains dan teknologi; Memperluas potensi masyarakat; Merancang peradaban lanjutan berbasis kebangsaan dan kematangan religius; serta, Menjembatani kecerdasan dan keterampilan dengan kearifan, khasnya mengembangkan kecerdasan dan kearifan budaya lokal yang selaras dengan perkembangan zaman.

Selaras dengan tantangan tersebut, maka boleh diharapkan secara optimistik, pembentukan Majelis Adat Kaum Betawi sebagai bentuk strukturisasi kelembagaan masyarakat inti (adat) mempertimbangkan, sekurang-kurangnya tiga faktor. Yakni:

Pemuliaan fungsional dan proporsional atas orang tua sebagai figur yang berdaya sebagai pemersatu kaum Betawi dan wiseman berpengaruh dalam pengembangan sistem relasi sosial (patron client relationship) dengan pemerintah dan dengan kaum Betawi itu sendiri (traditional authority relationship) melalui strata pucuk organisasi;

Penguatan fungsional - struktural manajemen organisasi kelembagaan yang menjalankan seluruh aktivasi dan optimasi peran dalam menggerakkan pemajuan masyarakat Betawi. Inti daya lembaga masyarakat inti Betawi yang menjalankan kebijakan operasional, termasuk menggerakkan transformasi (melalui peningkatan kapasitas) organisasi kemasyarakatan Betawi;

Pemanfaatan peran fungsional - profesional - figur prominen pemangkin kemajuan masyarakat inti Betawi (tokoh agama, tokoh masyarakat - politik - pemerintahan, intelektual, akademisi, ekonom, senior finance profesional, pengusaha, budayawan).

Undang Undang Kekhususan DK Jakarta

Dengan potensi besar yang dimiliki kaum Betawi di seluruh aspek dan lini kehidupan kini, kelak strukturisasi kelembagaan masyarakat inti kaum Betawi dapat memainkan peran strategis. Tidak hanya dalam konteks pemajuan budaya (mikro), sebagaimana tercermin dalam UU No. 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Lebih jauh dari itu adalah penegasan posisi kaum Betawi sebagai masyarakat inti, yang harus tercermin dalam Undang Undang Kekhususan Daerah Khusus Jakarta Raya, dan Undang Undang tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Jakarta Raya.

Dua undang-undang ini sangat diperlukan sebagai imbang peran kaum Betawi yang telah berkontribusi besar secara langsung dan konkret, minimal sejak masa perjuangan pra kemerdekaan, kemerdekaan, dan pembangunan selama ini. Termasuk kontribusinya di masa depan sebagai kota global dan sentra kemajuan yang menjadi karya untuk Nusantara.

Lembaga masyarakat adat (inti) kaum Betawi -- sebutlah itu Majelis Adat Kaum Betawi -- mesti memainkan peran inti dan optimal dalam mengelola dan mengurus Jakarta Raya di tengah perubahan orientasi peradaban (termasuk geo politik dan geo ekonomi) ke Asia Pasifik. Perubahan yang akan menempatkan Jakarta Raya mendatang sebagai strategic hub kemajuan bangsa.

Dalam konteks itu, keberadaan Majelis Adat Kaum Betawi diharapkan menjadi sentrum seluruh ihtiar kaum Betawi, bersatu untuk menambah mutu. Salah satu pilar utama dalam mewujudkan Indonesia Raya yang berjaya. Selamat berkongres ! |

Artikel terkait: Wali Nanggroe Kukuhkan Majelis Adat Aceh Perwakilan Jakarta

Editor : delanova | Sumber : berbagai sumber
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1195
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 538
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1062
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 291
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 756
Momentum Cinta
Selanjutnya