Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi

| dilihat 1172

Delanova

Tsunami informasi yang tak terkendali, sedang menghempas dan membuat manusia jumpalitan terseret arus besar penghancuran nalar dan dimensi kemanusiaan.

Media (mainstream dan sosial) menjadi ajang sangat efektif proses penghancuran umat keadaban dan peradaban manusia, khasnya ketika singularitas -- ketergantungan manusia terhadap sarana massa seperti gadget kian tinggi dan manusia seolah-olah tak bisa membebaskan dirinya. Melampaui apa yang diprediksi oleh James Martin, tokoh revolusioner Universitas Oxford. Baik dalam konteks risiko eksistensial, apalagi keseimbangan antara keterampilan dengan kearifan. Tragisnya, situasi demikian menjadi daya besar dalam praktik politik yang kian pragmatis.

Media mainstream yang harus berjuang mempertahankan eksistensinya sebagai medium khalayak dengan fungsi-fungsi informatif, edukatif dan pemantik budaya kreatif untuk kemaslahatan umat manusia, tak lagi berdaya.

Pedoman etik dan perilaku jurnalis, termasuk yang diisyaratkan Bill Kovacs tentang kebenaran informasi, dihanyutkan oleh kecenderungan arus besar informasi tanpa verifikasi dan konfirmasi. Apalagi, ketika dunia industrial media lebih fokus hanya pada pencapaian rating, traffic, dan jumlah subscriber. Khasnya di lingkungan masyarakat dunia yang terperangkap hanya dalam aksi 'like, share, dan viral.'

Siona Singletary, seorang ahli strategi, digital native dan influencer yang berpengalaman di bidang keriklanan, kreatif, dan media sosial asal Malaysia, dalam artikelnya bertajuk "Is social media destroying humankind?" (dalam TEDX Sidney), dengan 1,95 miliar pengguna aktif harian di Facebook dan Instagram, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kita telah mencapai puncak media sosial.

Dikemukakannya, ketika pendulum mulai berayun ke arah lain, laporan-laporan terus bermunculan mengenai hubungan antara media sosial dan perasaan kesepian, depresi, cemburu, dan kecemasan. (Tentu, juga luahan kemarahan yang terus membara akibat ketimpangan sosial ekonomi).

Dengan hal ini, ditambah dengan skandal data yang baru-baru ini terjadi, dia mengajukan pertanyaan yang muncul di benak setiap orang, yakni apakah media sosial buruk bagi kita. Apakah hal tersebut berdampak negatif pada kemanusiaan kita? Secara permanen?

Merujuk pada pandangan B. J. Fogg, Bapak teknologi persuasif, psikolog yang tinggal di Pao Alto, California, dan memimpin Stanford Persuasive Technology Lab, sebuah laboratorium yang dibangun untuk menghasilkan, Siona mempertanyakan:  "Apakah teknologi persuasif, dan bukan hanya media sosial, telah menghancurkan umat manusia?"

Menurutnya, teknologi dan desain persuasif, pada dasarnya, adalah tentang menciptakan lingkungan digital yang memodifikasi bagian tertentu dari jiwa pengguna, lebih baik daripada yang dilakukan oleh dunia nyata.

Keberhasilan teknologi persuasif bermuara pada tiga faktor utama: motivasi, kemampuan, dan pemicu. Ketika berbicara tentang media sosial; menurut Siona, motivatornya adalah penerimaan sosial dan keinginan untuk menghindari penolakan sosial; kemampuannya adalah kemudahan penggunaan aplikasi dan pemicunya adalah notifikasi dan umpan berita. Artinya, kesederhanaan desain yang persuasif, sementara menuntut perhatian yang konstan memiliki kekuatan untuk mengubah perilaku manusia secara definitif.

Media sosial adalah bunga di pohon perubahan perilaku, akarnya jauh ke dalam desain dan teknologi UX yang bahkan tidak kita sadari bahwa kita dipengaruhi olehnya. Jadi, meskipun media sosial mungkin telah menciptakan lingkaran perilaku baru, media sosial tidak secara independen menghancurkan bagian mana pun dari kemanusiaan kita.

Maknanya adalah penghancuran kemanusiaan dan tatanan sosial adalah pengguna media sosial itu sendiri sebagai subyek yang menggunakan media (khasnya media sosial) untuk kepentingsan 'menghancurkan' siapa saja yang disebut lawan dengan tujuan dan kepentingan tertentu. Baik manusia, lembaga, bahkan pemerintah. Antara lain dengan cara mengabaikan realitas kebenaran atau gagasan yang diyakini sebagai kebenaran oleh presumsi kebenaran yang lain.

Situasi ini, akan terus berlangsung. Laman news feed Facebook atau Instagram serta saluran dan platform media sosial lainnya, dengan mudah, kapan saja dan di mana saja merancukan fakta kebenaran dengan berbagai potongan informasi yang ditularkan.

Meski penyelenggara platrform media sosial menyediakan berbagai perangkat untuk melakukan penangkalan, namun amat sangat sedikit pengguna media sosial yang secara sadar menggunakannya. Semuanya hanyut dalam kebiasaan baru viralisma.

Adalah Ramsay Brown, pendiri Dopamine Labs, sebuah perusahaan rintisan teknologi persuasif di Los Angeles yang dikutip Siona, mengatakan, "Kami sekarang telah mengembangkan teknologi yang ketat tentang pikiran manusia, dan hal ini menarik sekaligus menakutkan. Kami memiliki kemampuan untuk memutar-mutar beberapa tombol di dasbor pembelajaran mesin yang kami bangun, dan di seluruh dunia, ratusan ribu orang akan secara diam-diam mengubah perilaku mereka dengan cara yang tanpa mereka sadari, terasa seperti hal yang biasa namun sebenarnya memang sudah dirancang."

Menurut Siona, sangat mudah untuk melihat teknologi ini sebagai sesuatu yang buruk, namun, mirip dengan teknologi blockchain, potensinya sangat besar dan belum habis. Ada banyak contoh teknologi persuasif yang dibuat untuk meningkatkan pengalaman hidup kita. Misalnya, untuk mendorong orang agar lebih sering berolahraga, mengingat untuk minum obat tepat waktu, memperbaiki cara mengemudi, atau berteman dengan tetangga.

Pada akhirnya, menurut Siona, yang harus kita ingat adalah bahwa meskipun teknologi akan selalu berubah, kemanusiaan kita tidak akan berubah.

Boleh jadi Siona benar, manakala setiap masyarakat menggunakan media sosial untuk tujuan dan sasaran yang tepat dan telah ditentukan maslahatnya lebih besar dari mudharatnya, hal-hal positif dapat dinikmati dan sebaliknya untuk efek samping negatif, dapat dihindari.

Ishan Talukdar dalam artikelnya bertajuk How Social Media Is Destroying Society (The Sentinel - 11.09.22) mengemukakan, media sosial merupakan kumpulan saluran komunikasi online yang didedikasikan untuk masukan, interaksi, berbagi konten, dan kolaborasi berbasis komunitas.

Tujuan umumnya adalah untuk memberikan informasi rinci tentang dampak media sosial terhadap masyarakat. Dampak positifnya adalah sosialisasi dan komunikasi; meningkatkan kesempatan belajar dan mengakses informasi terkait kesehatan. Dampak negatifnya adalah depresi (mulai dari social understressed), kecemasan, catfishing, perundungan, terorisme, dan berbagai kegiatan kriminal.

Untuk mengurangi dan menyelamatkan masyarakat dari efek negatif dan mendorong efek positifnya, menurut Ihsan, semua pihak yang terkait harus bekerja sama mengendalikan media sosial.

Ihsan menyebutkan, beberapa peneliti telah mengusulkan sebuah fenomena baru yang disebut 'depresi Facebook', yang didefinisikan sebagai depresi yang berkembang ketika seseorang menghabiskan waktu yang berlebihan di situs media sosial, seperti Facebook, dan kemudian mulai menunjukkan gejala-gejala klasik depresi.

Selain menjadi sumber depresi dan kecemasan, media sosial juga menjadi sumber stres yang umum bagi para penggunanya. Sebuah survei yang dilakukan terhadap 7.000 ibu menemukan bahwa 42% ibu yang menggunakan situs berbagi foto melaporkan bahwa mereka kadang-kadang menderita stres. Media sosial menyebabkan depresi dan kecemasan dalam dua cara. Stres kronis menyebabkan depresi dan kecemasan.

Selalu waspada terhadap pesan-pesan baru di media sosial, terhadap sistem limbik yang bersifat naluriah untuk melawan atau melarikan diri, sama halnya dengan selalu waspada terhadap pemangsa, yang menyebabkan pelepasan hormon stres kortisol.

Pada dasarnya, media sosial mendorong kita untuk menampilkan wajah yang menyoroti semua kesenangan, kegembiraan, dan kesuksesan yang tampaknya kita nikmati, namun hanya menceritakan sedikit tentang apa yang kita perjuangkan dalam kehidupan sehari-hari pada tingkat yang lebih dalam dan mengarah pada pengalaman keintiman yang semu.

Ketika orang-orang memfokuskan begitu banyak waktu pada jaringan media sosial, hubungan di kehidupan nyata terganggu. Hubungan yang lebih penting dengan orang yang kita cintai dan anggota keluarga dekat menjadi terganggu karena lebih banyak waktu yang kita curahkan untuk menciptakan ilusi di media sosial.

Istilah 'catfish' menggambarkan orang-orang yang membuat profil jejaring sosial palsu, dan 'catfishing' adalah proses berteman dengan orang asing di dunia maya dengan menggunakan identitas palsu atau curian. Ini adalah tindakan yang menipu dan telah merusak pernikahan, hubungan, dan kesejahteraan emosional banyak orang.

Perundungan siber telah menjadi masalah besar dalam beberapa dekade terakhir, karena memungkinkan para pelakunya untuk memposting sesuatu untuk mempermalukan bahkan menghancurkan.

Perundungan didefinisikan sebagai tindakan agresif yang dilakukan oleh kelompok atau individu secara berulang-ulang dan dalam jangka waktu yang lama terhadap korban yang tidak dapat dengan mudah membela diri. Dengan penggunaan Internet dan telepon genggam, terjadi 'perundungan dunia maya' (cyber bullying). Dalam cyber bullying, agresi terjadi melalui metode elektronik, melalui Internet dan terutama melalui media sosial.

Mengacu pada pandangan-pandangan demikian, media sosial kita pahami sering dipergunakan sebagai medium teror, personal dan sosial dalam berbagai skala. Termasuk memupuk-suburkan ideologi kekerasan dan kebencian secara tular yang berlangsung secara nasional dan global. Termasuk penghakiman atas sesuatu kelompok oleh kelompok lain, tanpa peduli pada dampak kehancuran yang ditimbulkan.

Dapat ditengarai, bahwa penggunaan media sosial untuk memicu dan memacu friksi dan konflik sosial, penghancuran atas lawan-lawan sosial dan politik, sesungguhnya menutupi fakta kebenaran yang sesungguhnya. Apalagi, ketika pendapat-pendapat yang tular (viral) dengan muatan presumsi negatif, lantas dianggap benar dan diyakini sebagai suatu kebenaran.

Penggunaan media sosial untuk tujuan-tujuan negatif, seperti menghancurkan sesama akan mempercepat terjadinya perpecahan dalam lingkungan sosial. Sekaligus menyuburkan kegamangan, ketidakpastian, keribetan, dan kemenduaan. Yang akan hancur kelak adalah integritas dan integralitas kebangsaan dan keumatan.

Dalam situasi demikian, diperlukan kesadaran invidual dan sosial, khasnya di kalangan orang tua, untuk melindungi anak-anak dari arus besar tsunami informasi ini. Tidak mudah, tentu. Karenanya upaya untuk menyuburkan kecerdasan digital, khasnya di kalangan ibu (sebagai pendidik pertama dan utama anak-anak) menjadi penting.

Antara lain dengan upaya kolektif menggunakan media sosial dan perangkat gadget untuk kepentingan kreatif dan produktif, termasuk dalam mengembangkan sosial edukasi dan sosial entrepreneur.

Dalam konteks sosial edukasi, bebagai forum community college, seperti majelis taklim, perlu terus menerus melakukan edukasi tentang cerdas digital. Khasnya untuk kepentingan kreatif produktif yang bernilai keekonomian.

Dengan cara ini, antara lain, kendati memerlukan waktu yang lama, dapat disemai kesadaran untuk menggunakan media sosial dalam konteks kepentingan besar, membalik kemiskinan. Sekaligus menghentikan proses pemiskinan. Termasuk, 'melawan' segala tawaran yang menjerat, seperti pinjaman online dan aksi ribawi lainnya, seperti yang diingatkan berulang kali oleh Rachmat Gobel, Wakil Ketua DPR RI. |

Editor : delanova | Sumber : TEDX Sidney,The Sentinel, dan sumber lain
 
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 947
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1173
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1436
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1583
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 527
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1049
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 274
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 743
Momentum Cinta
Selanjutnya