Jejak Tradisi Leluhur Sunda di Karang Kamulyan

| dilihat 5299

AKARPADINEWS.COM | PANDANGAN hidup sebagian masyarakat Sunda berakar jauh ke masa lalu. Mereka menghormati leluhur dan mempercayai kekuatan adikodrati di balik kekuatan alam. Salah satunya dengan berkunjung ke situs Karang Kamulyan yang dipercaya sebagai peninggalan Kerajaan Galuh, di zaman Raja Ciung Wanara (739 – 783 Masehi).

Situs ini diapit Sungai Cimuntur dan Citanduy, di mana berdasarkan konsepsi tradisional, merupakan area suci, sebagai situs keagamaan dan situs pemukiman para penguasa atau persemayaman raja.  Karang Kamulyan yang berarti “tempat mulia” tidak hanya merefleksikan kisah Kerajaan Galuh sebagai kerajaan tertua di tanah Pasundan sebelum adanya kerajaan Majapahit dan Pajajaran. Namun, tatkala menelusuri sembilan lokasi, situs itu mencerminkan tradisi megalitik dari jejak animisme dan dinamisme bahwa alam dan semua benda memiliki roh dan jiwa.

Atmosfer sejuk dan nyaman terasa saat melewati pintu gerbang situs Karang Kamulyan. Di bagian depan sebelah kanan terdapat Gong Perdamaian yang diresmikan pada 9 September 2009. Cagar budaya seluas 25 hektar ini terletak di daerah antara Ciamis dan Banjar. Jaraknya sekitar 17 kilometer ke arah timur dari ibu kota Kabupaten Ciamis dan mudah dicapai karena terletak di pinggir jalan raya.

Jejak Kerajaan Galuh yang berdiri sejak abad ke-7 sebelum masehi (SM) terlihat jelas dari lokasi situs. Menurut Agus Abdul haris (40 tahun), juru kuncen Karang Kamulyan, berdirinya Kerajaan Galuh terdiri atas tiga periode yaitu Galuh pra sejarah, Galuh Hindu dan Galuh Islam. Sedangkan merujuk pada asal kerajaan Galuh, menurut CM Pleyte, ahli ilmu Kesundaan, Galuh berarti (ongeveer) Ciamis yang pada masa tersebut dikenal dengan nama kerajaan di tanah Jawa.

Dalam pemahaman filosofis, Galuh merupakan ajaran dari Sunda Wiwitan, merujuk pada bahasa Sansekerta yang berarti Permata. Adapun yang dimaksud permata dalam diri manusia adalah hati nurani. Galuh pun bisa diartikan puteri raja yang juga bermakna permata hati.

“Karang Kamulyan sebagai tempat mulia, mengajarkan Galuh sebagai ajaran dan ilmu hati nurani," tutur Agus. Untuk mempelajari ilmu tersebut, lanjutnya, dibutuhkan kejujuran yang bersumber dari hati nurani. "Bila sudah menguasai ilmu hati nurani, Insya Allah, hidup akan selalu mendapatkan rahmat dan berkah,” ucapnya.

Di situs Karang Kamulyan, terdapat sembilan lokasi situs yang menyiratkan berbagai kisah dan makna yang dipercaya dapat mengajarkan ilmu untuk melihat kebijaksanaan dan lebih dekat pada leluhur dan alam. 100 meter dari gerbang, terdapat lokasi pertama yaitu kawasan luas yang terdapat batu putih bertingkat dan berbentuk segi empat menyerupai Yoni (simbol sakti Siwa) yang bernafaskan Hindu. Situs ini disebut Batu Pangcalikan atau Pelinggih berbentuk altar tempat singgasana Raja Galuh dan tempat bermusyarawah.

Sepanjang perjalanan menyusuri Karang Kamulyan, akan ditemukan monyet-monyet berkeliaran yang bermain di antara pohon bambu. Bersama dengan juru kunci, kenyamanan akan lebih terjaga, selain dapat memahami sejarah Karang Kamulyan. Situs kedua adalah Sanghyang Bedil, tempat pusaka kerajaan Galuh.

Bedil diartikan senjata yang bermakna baik atau buruk bila disalahgunakan. Ketiga, Situs Panyabungan Ayam, tempat Ciung Wanara mengalahkan Bondan Sarati melalui Sabung Ayam. Kala itu, Sabung Ayam merupakan sistem demokrasi untuk memilih raja. Dan, pada saat itu, Ciung Wanara memenangkan sayembara dan menjadi Raja Galuh.

Situs keempat, Lambang Peribadatan, batu berbentuk stupa yang menyiratkan percampuran megalitik dan masa Hindu.  Situs kelima, Panyandaan, batu berbentuk menhir dan dolmen, tempat Dewi Naganingrum melahirkan Ciung Wanara. Keenam, Cikahuripan yang diartikan air kehidupan karena selalu terisi penuh sepanjang tahun yang dijadikan tempat pengunjung untuk membersihkan diri (ruwatan). Ketujuh, Makam Adipati Panaekan, Gubernur Galuh.

Situs Kedelapan, Pamangkonan yang berarti memangku, untuk menguji calon prajurit kerajaan. Apabila batu itu terangkat, dia lulus sebagai prajurit. Dan, situs terakhir adalah Sungai Sipatahunan, tempat dihanyutkan Ciung Wanara agar tidak dibunuh Bondan Sarati yang akhirnya ditemukan oleh Aki Balangantrang, yang tidak lain sang Bimaraksa, patih dari kerajaan Galuh yang menyepi di Desa Geger Sunten.

Itulah Situs Karang Kamulyan sebagai gambaran masyarakat Sunda masa kerajaan Galuh yang menjadi bukti penghayatan mereka dalam beragama dan berbudaya. Tradisi megalitik dan Hindu berkelindan dengan kisah Ciung Wanara yang dihanyutkan dan akhirnya dapat  kembali sebagai Raja Galuh dengan kesabaran dan jiwa ksatria. Situs ini juga menunjukan kedekatan manusia dengan leluhur dan alam. Pengetahuan warisan ini perlu dijunjung tinggi dan tetap dipelihara dalam kehidupan masyarakat Sunda di era modern yang identitas dan nilai luhurnya semakin tereduksi.

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 272
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 368
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 962
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1179
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1450
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1597
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya