Semangat Grafitti dan Kebebasan di Galeri Tiga Hari

| dilihat 2190

JAKARTA, AKARPADINEWS.COM | ADA kejutan yang berbeda dari Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki, yang berubah menjadi ruang dan pameran “Galeri Tiga Hari: Aksi Partisipasi”. Dari pemandangan di luar galeri saja, bisa terlihat aksi berbeda dalam pembukaan pameran (12/2) yang diapresiasi luar biasa oleh seniman dan pengunjung yang nota bene dari anak muda.

Para anak muda ini melukis, menulis, merespon, mencoret-coret bahkan menempelkan karya lain di dinding galeri. Hasil karya-karya spontanitas mereka diiringi hentakan musik progresif yang mampu memperlihatkan visual grafiti menarik sebagai bentuk ekspresi dan aktualisasi kebebasan visual.  

Sudah menjadi tradisi setiap galeri, ketika memasuki galeri sebagai ruang pameran, akan terlihat aturan bagi pengunjung: dilarang menyentuh karya (hanya sekedar untuk dilihat dan dinikmati mata). Pengunjung pameran adalah subyek yang pasif saat menikmati karya. Melalui pameran “Galeri Tiga Hari” pengunjung ditempatkan sebagai subyek aktif dan utama untuk berekpresi dan menyampaikan gagasannya.

 “Kita terinspirasi dari grafitti dan semangat kebebasan” tutur Andi RhaRhaRha, salah satu seniman penggagas. Dimulai dari diskusi-diskusi yang dipimpin Prof. Rudy Harjanto sebagai pakar komunikasi dan seniman yang terkenal dengan keasikannya mengambil pendidikan  di berbagai kampus di Indonesia.

Gagasan tentang aksi ini di mulai oleh Prof Rudy dan seniman-seniman muda dari berbagai komunitas  dengan menggelar diskusi intern di berbagai tempat sembari menikmati kuliner. Isu-isu yang dibicarakan seputar seni rupa dengan seliweran berbagai pertanyaan seperti: Pernahkah penonton menuntut agar Ia boleh meraba, menempelkan sesuatu, menggoreskan garis, menggambar bunga pada karya yang dipamerkan? Mungkinkah pengunjung membawa karya mereka sendiri lalu memajangnya di ruang tempat pameran berlangsung? Mengapa ini tak boleh, itu dilarang?  Dari pertanyaan-pertanyaan ini akhirnya melahirkan gagasan Galeri Tiga Hari: Aksi dan Partisipasi. Selain itu digelar pula diskusi dan presentasi pada Jumat (13/2) pukul 20.00 dan Sabtu (14/2) pukul 15.00 di Galeri Cipta III.

Andi juga menegaskan, bila gagasan pameran yang paling penting adalah menjadi pengunjung merasa tidak berjarak dan bahkan mengkritisi atau mengambil alih galeri mapan.

Ruang pameran dalam galeri tiga hari ini menjadi metafora tembok kota, meskipun akhirnya hasil coretan dan grafiti di tembok kota juga muncul-hilang dan main kucing-kucingan dengan petugas. Seni grafitti seolah dianggap sebagai sampah dan harus ditertibkan.

Graffiti yang berasal dari bahasa latin, graphium yang artinya menulis mengalami pergeseran ekpresi menjadi kegiatan seni rupa yang menggunakan komposisi warna, garis, bentuk dan volume untuk menuliskan kalimat tertentu di atas dinding. Alat yang digunakan biasanya cat semprot kaleng (PILOX).

Walaupun dengan kemampuan dan peralatan yang masih sederhana, konsep tulisan dan dinding menjadi media paling menonjol untuk mengekspresikan pendapat secara diam-diam pada saat itu. Seni Grafitti dan street art lainnya memiliki keterlibatan besar pada era sebelum kemerdekaan untuk mewujudkan pergerakan melalui semangat-semangat yang ditorehkan di tembok kota. Dalam artian, Grafitti yang semula dianggap sekedar mengotori tembok kota justru menjadi seni yang mengobarkan kemerdekaan dan kebebasan Indonesia.  |

Editor : Web Administrator
 
Lingkungan
10 Mei 24, 09:58 WIB | Dilihat : 78
Malaysia Tak Pernah Pindahkan Ibu Kota Negara
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 290
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 513
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 499
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
Selanjutnya
Polhukam