MALAM baru berlalu. Ketika melintas di ruang kerja, tak sengaja, ekor mata saya melirik ke cermin. Hmmh.. ada perasaan aneh menjalar, mengusik rasa ingin tahu. Beberapa kali aku menoleh ke cermin itu, sampai akhirnya sungguh berdiri di depan cermin.
Saya melihat sesosok manusia di cermin, wajahnya mirip sekali dengan mirip saya. Dia bergerak setiap kali saya bergerak.
Makin jeli saya pandangi, makin nampak, sosok di cermin itu adalah sosokku yang lain. Ia seolah sedang menyaksikan juga diri saya. Hati saya diam-diam berbisik: “Manfaatkan waktumu sekarang untuk mengenali wajahmu. Coba perhatikan dengan seksama wajah itu“.
Saya mengikuti kata hati. Memperhatikan dengan seksama wajah saya di cermin.
Ugh.. Tiba-tiba saya tersedak, ketika cermin menyaksikan wajah saya yang lain. Wajah keruh seorang pendosa. Wajah yang nampak menarik perhatian, lantaran tertutup tata rias dunia. Refleks, jemari tangan saya meraba wajah ini. Saya agak tersentak, ketika di ujung jemari terasa ada daki noda dosa, yang sedemikian banyak. Ya, noda dosa yang boleh jadi telah saya lakukan sepanjang masa. Paling tidak, sepanjang ingatan.
Seringkali kita mengemas wajah hanya untuk menampakkan citra positif tentang diri sendiri. Lantas kita lupa dan abai, bahwa di dalam diri kita, yang tersimpan di balik wajah rupawan, itu sesungguhnya aneka keburukan yang ngendon, dan sewaktu-waktu menanti giliran, untuk tampil menjadi wajah yang sesungguhnya.
Wajah yang tak lagi dikemas, seperti saat berhadapan dengan semua manusia dalam seluruh proses interaksi dan komunikasi sosial yang memerlukan citra. Karena seringkali, manusia lebih suka menghadirkan wajah yang seolah-olah menyimpan sedemikian banyak kebaikan dan kebajikan. Sesuatu yang, seringkali, sesungguhnya sering bertentangan dengan apa yang tersimpan di hati.
Wajah kita, seringkali merupakan medium yang mengekspresikan berbagai paradoks secara diametral. Menghadirkan konflik dan perbedaan yang kompleks antara buah pikiran yang semayam di benak, dengan kehendak hati, dan hasrat yang mengalir di antara keduanya. Wajah kita, adalah wajah yang dicipta Allah dengan segenap kebaikan, namun seringkali, kita mengubah fungsinya hanya sebagai penampang dan topeng kepalsuan.
Topeng, tempat kepura-puraan dipelihara, tempat basa basi disemaikan. Tempat kemunafikan menjadi hiasan. Tempat amanat ditelikung jadi hianat, dan komitmen diabaikan, sehingga berubah menjadi murka dan laknat. Wajah yang menyembunyikan gejolak nurani paling asasi untuk menegakkan kebenaran dan kemanusiaan dalam cinta.
Kita, seringkali terpana dengan idealistika yang selalu cenderung mematut wajah kita, sebagai penampang kebajikan. Wajah yang hadir sebagai satanic line dalam pergaulan hidup sehari-hari. Di kantor, misalnya. Ketika wajah kita menjadi sedemikian hirarkial dan birokratis. Wajah selalu dikemas penuh pesona ceria di hadapan atasan, namun selalu dikemas masam, muram, dan penuh angkara di hadapan bawahan.
Wajah hirarkial, yang sering direformat, sesuai kebutuhan, otomatis dilakukan untuk mendapatkan simpati dan empati atasan. Wajah yang mungkin mampu mengekspresikan kegagahan dan kecantikan rupa, tapi tak disertai laku elok budi. Wajah pendosa, yang tak pernah henti dihias oleh sombong takabbur, angkuh tak terpermanai. Wajah yang tak mendapatkan cahaya Ilahiah, akibat tertutup syakwasangka, irihati, dendam, dan murka. Begitu banyak orang kehilangan wajah yang diberikan Tuhan, lantaran sibuk mencari muka yang disembunyikan manusia sesama. l