Gempita Tahun Baru dan Esensi Memaknai Waktu

| dilihat 1842

AKARPADINEWS.COM | “Kita akan membuka buku. Yang halamannya kosong. Kita akan menulis kata-katanya sendiri. Buku itu disebut kesempatan dan bab pertama adalah Tahun Baru,” ungkap penulis asal Inggris, Edith Lovejoy Pierce.

Tahun 2015 telah berakhir. Kini, waktunya membuka buku dan lembaran baru di tahun 2016. Dan, sah-sah saja beragama cara dilakukan untuk menyambut tahun baru. Meski sebenarnya, perayaan tahun baru hanya sebuah peristiwa perubahan waktu saja.

Perayaan Tahun Baru masehi menjadi fenomena global, di mana sebagian manusia di dunia, merayakan perhelatan yang pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 sebelum masehi (SM) itu. Setelah menjadi Kaisar Roma, Julius Caesar mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ke-7 SM.

Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir.

Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari, ditambahkan kepada bulan Februari, guna menghindari penyimpangan dalam kalender baru. Kalender tahun masehi ini akhirnya selalu digunakan sebagai skala ukur waktu saat ini.  

Tradisi merayakan pergantian malam tahun baru masehi, bagi masyarakat di dunia, termasuk di Indonesia, umumnya diekspresikan dengan cara-cara gempita. Jelang malam pergantian tahun, masyarakat memadati tempat-tempat keramaian. Terlihat hilir mudik kendaraan memadati jalan-jalan, yang mengakibatkan kemacetan.

Dan, tatkala memasuki tahun baru, secara serentak, kembang api mewarnai langit malam. Suara terompet pun bersahutan sebagai simbol saatnya memasuki tahun baru dengan pengharapan yang baru.

Namun, ada juga yang memilih merayakan tahun baru dengan mendekatkan diri dengan alam. Ada pula yang memilih tinggal di rumah, sambil beribadah, berharap pada Tuhan agar diberikan rahmat yang melimpah di tahun baru ini.

Idealnya, perayaan setahun sekali itu tidak sekadar menunjukan hingar bingar suara terompet, gemerlap kembang api, semarak hiburan, atau pesta pora. Karena pada dasarnya, tahun baru tidak ada yang aneh. Tahun baru merupakan fenomena waktu yang selalu berubah. Tahun baru hanya hitungan angka dalam kalender masehi saja. Yang terpenting adalah memaknai arti waktu secara esensial.

Mengapa waktu begitu berharga untuk dimaknai? Ketika manusia merasa takut dengan kematian, maka seharusnya mereka lebih takut dengan waktu. Seperti pesan bijak Ibnul Qoyyim, yang mengatakan, “Membuang waktu lebih berbahaya daripada kematian, karena menghilangkan (membuang) waktu, akan memutuskan hubungan dengan Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian memutuskanmu dengan dunia dan penghuninya.”

Allah SWT juga menekan pentingnya memaknai waktu. Dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman. “Maka jika datang waktu kematian mereka, tidak bisa mereka tunda dan dan mendahulukannya sedetikpun.” (QS. An-Nahl: 61).

Mungkin, sedikit di antara manusia yang menilai waktu begitu berharga, melebihi kematian. Padahal, dalam agama, waktu dimaknai secara transedental dan spiritual, sebagai penentu kehidupan manusia selanjutnya. Sedangkan dalam kehidupan dunia, waktu menyimpan berbagai kisah dan peristiwa. Bahkan setiap detik yang dirasakan, mewakili jutaan kehidupan yang terjadi di seluruh alam semesta.

Ungkapan seorang bijak ini baik untuk direnungkan. Untuk memahami makna satu tahun, tanyalah seorang siswa yang gagal dalam ujian kenaikan kelas. Untuk memahami makna satu bulan, tanyalah seorang ibu yang melahirkan bayi prematur. Untuk memahami makna satu minggu, tanyalah buruh mingguan.

Untuk memahami makna satu hari, tanyalah seorang pekerja dengan upah harian. Untuk memahami makna satu jam, tanyalah seorang gadis yang sedang menunggu kekasihnya. Untuk memahami makna satu menit, tanyalah seseorang yang ketinggalan kereta.

Untuk memahami makna satu detik, tanyalah seseorang yang selamat dari kecelakaan. Untuk memahami makna satu mili detik, tanyalah seorang pelari yang meraih medali perak olimpiade.

Melalui renungan tersebut, maka yang dapat dilakukan adalah mensyukuri keseluruhan waktu dan hidup yang telah diberikan sang pencipta sejak manusia lahir hingga saat ini.  

Waktu dalam konteks kenangan, telah memberikan banyak pelajaran tentang arti kesalahan. Waktu saat ini, menjadi refleksi untuk memperbaiki kesalahan masa lalu.

Sedangkan waktu di masa depan adalah sebuah misteri sehingga menuntut manusia mempersiapkan diri menghadapinya. Waktu selalu memberi kejutan yang tidak terduga. Jadi, gunakan waktu sebaik mungkin untuk memberi manfaat pada diri sendiri dan orang lain.

Refleksi tahun baru memang baik untuk dilakukan. Namun, bila direnungi lebih mendalam, setiap hari adalah momentum untuk selalu melakukan refleksi, menjadikan pelajaran agar perjalanan hidup esoknya lebih bermakna.

Menghargai waktu sangat penting. Karena, setiap nafas yang dihela, setiap detak jantung yang berdetak, dan setiap aliran darah yang mengalir di dalam tubuh manusia, suatu saat akan berhenti, entah sedetik lagi, semenit, sehari, seminggu, atau setahun lagi. Karenanya, benar jika memaknai waktu lebih membahayakan dibanding kematian. Jadi, jangan sia-siakan waktu karena pada saatnya manusia akan diminta pertanggungjawaban oleh sang pemilik waktu.

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 270
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 436
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 282
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 533
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1628
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1404
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya