Kemiskinan Desa

| dilihat 2212

AKARPADINEWS.COM | MENTERI Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Marwan Djafar selalu mengingatkan agar dana desa harus terserap semaksimal mungkin. Sampai-sampai, politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu pun membentuk Satuan Tugas Desa yang ditugaskan untuk melakukan percepatan dan ketepatan penyaluran, penggunaan serta pengelolaan dana desa.

Di tahun 2015, Marwan merasa senang. Pasalnya, penggunaan dana desa sudah tersalurkan dengan baik. Dia pun berharap, di tahun 2016 ini, penggunaan dana desa bisa dirasakan masyarakat Desa. "Tentu di tahun 2016 harus lebih sukses dari pada tahun 2015. Saya kembali mengingatkan, prioritas dana desa untuk membangun sarana dan prasarana dan untuk meningkatkan kapasitas ekonomi desa," katanya di Jakarta, dalam sebuah kesempatan.

Penyaluran dana desa merupakan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Di tahun 2016, pemerintah dan DPR menetapkan alokasi anggaran Desa hingga mencapai Rp46,9 triliun, naik dibandingkan tahun 2015 yang mencapai Rp20,76 triliun. Dana itu ditebar ke 74.754 Desa.

Upaya pemerintah memberantas kemiskinan di desa harus didukung. Karena, Desa masih dihuni mayoritas masyarakat miskin. Hingga Maret 2015, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, angka kemiskinan di desa mencapai 17,94 juta orang. Angka itu meningkat dibandingkan pada September 2014, yang tercatat 17,37 juta orang miskin di desa. Kemiskinan di kawasan pedesaan berkorelasi dengan rendahnya kualitas kesehatan (malnutrisi, kerawanan sebaran penyakit, diare) dan tingkat pendidikan.

Namun, menekan angka kemiskinan di desa bukan pekerjaan sim salabim. Tidak cukup sekadar menebar dana desa yang sudah dipatok jumlahnya, tanpa berbasis pada realitas kebutuhan masyarakat. Karena, permasalahan yang di desa makin kompleks.

Persoalan kemiskinan di Desa adalah persoalan multidimensi sehingga membutuhkan pendekatan lintas sektoral, integral, terencana, dan tepat sasaran. Problem utamanya adalah masalah struktural, terkait keterbatasan masyarakat desa mendapatkan hak-hak kebutuhan dasar (kesehatan, pendidikan, listrik, dan sebagainya), termasuk mengakses modal, sumberdaya maupun aset produktif, ketersediaan infrastruktur transportasi, pasar, dan sebagainya. Karena, perlu memastikan keterjangkauan pelayanan kesehatan dan pendidikan kepada masyarakat, dengan meningkatkan ketersediaan tenaga kesehatan maupun pengajar yang sesuai dengan rasio jumlah penduduk di Desa. Demikian pula ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan.

Sementara persoalan kultural lantaran model intervensi program yang dilakukan pemerintah selama ini kurang mampu mengubah orientasi, sikap, nilai, maupun pandangan masyarakat Desa untuk lebih maju dan mandiri. Kemiskinan karena faktor kultural dapat berupa perilaku malas, boros, etos kerja rendah, pasrah terhadap nasib, dan apatis terhadap upaya pihak lain yang membantunya keluar dari kemiskinan.

Dibutuhkan upaya pendidikan untuk mengubah sikap, watak dan karakter masyarakat. Dibutuhkan upaya mentransformasikan nilai-nilai baru yang mengajak masyarakat untuk lebih produktif, berperilaku hemat, kerja keras, dan sebagainya.

Kemiskinan di desa juga tidak terlepas dari ketidakseimbangan hubungan dengan kota. Idealnya, desa dan kota, dua wilayah dalam kesatuan, yang saling ketergantungan. Namun, desa-kota mengambarkan realitas yang kontras. Desa hingga kini masih identik dengan kemiskinan, ketertinggalan, keterasingan, dan kebodohan. Sementara kota terus berkembang dengan segala dinamika dan kompleksitas masalahnya.

Idealnya, interdepedensi desa-kota menciptakan pembangunan yang menyeluruh, di mana pembangunan kota, disertai dengan pemerataan distribusi hasil-hasil pembangunan ke desa. Pemerataan pembangunan itu diperlihatkan dengan meningkatnya kualitas hidup masyarakat desa, perluasan kesempatan dalam mendapatkan sumber-sumber ekonomi, dan meningkatnya kemampuan masyarakat desa dalam menjalankan aktivitas usaha dan fungsi sosialnya.

Nyatanya, proses interaksi desa-kota tidak berlangsung setara dan tidak saling menguntungkan. Ada disparitas atau kesenjangan pembangunan di kedua wilayah itu. Dalam konteks ini, desa berada dalam subordinasi kota, yang sebatas menjadi objek pembangunan. Dampaknya, masyarakat desa makin kesulitan dalam memanfaatkan dan mengelola kekayaan sumberdaya alamnya di tanah warisan leluhurnya karena dieksploitasi terus menerus untuk memenuhi kebutuhan industri di perkotaan. Mereka makin miskin karena kehilangan sumber-sumber kebutuhan dasar. Kerusakan dan pencemaran lingkungan akibat industrialisasi juga mengakibatkan kian memprihatinkannnya tingkat derajat kesehatan masyarakat desa. Cara-cara pembangunan yang eksploitatif selama ini telah mengabaikan dimensi sosial dan lingkungan di pedesaan.

Dari aspek budaya, masyarakat desa juga seakan kehilangan identitas budayanya lantaran tergerus akibat intensifnya transformasi nilai-nilai dan pola perilaku masyarakat industri yang bercorak modern, rasional, ekonomis, individualistik, hedonistik, materialistik, dan sebagainya.

Belum lagi persoalan ketidakberdayaan masyarakat desa. Mereka kesulitan bangkit dengan cepat tatkala krisis ekonomi terjadi maupun saat bencana alam menimpa. Mereka tidak memiliki daya untuk bertahan hidup ketika dihadapi persoalan tersebut.

Jadi, persoalan yang dihadapi Desa, tidak cukup sekadar memanfaatkan anggaran dana desa. Namun, perlu ada upaya menempatkan desa setara dengan kota. Percuma juga jika penyerapan dana desa jika tidak berdampak positif secara berkelanjutan bagi kehidupan masyarakat desa. Jika sekadar membangun infrastruktur, maka lambat laun, infrastruktur yang dibangun bisa rusak. Alokasi dana desa pun tidak bisa dipatok kisarannya dan cenderung diseragamkan. Pasalnya, masalah yang dihadapi desa itu berbeda-beda. Bisa saja di sebuah desa yang lokasinya terisolir, hanya memanfaatkan dana desa itu untuk membangun jalan desa.

Penggunaan dana desa juga jangan terlalu fokus pada penyerapan. Namun, harus mempertimbangkan frekuensi kegiatan, efisiensi, efektifitas, dan target yang jelas. Di sini pentingnya disain perencanaan program dan kegiatan yang berorientasi pada tujuan, kejelasan intervensi, berorientasi pada perubahan, rasional, kolektifitas, dan keberlanjutan.

Pemanfaatannya juga harus melibatkan partisipasi dan pengawasan masyarakat dan organisasi lokal. Organisasi lokal dapat memberi sumbangan dalam pelaksanaan pembangunan desa dengan jalan menyediakan informasi yang mendalam mengenai kondisi desa sehingga agen-agen pemerintah dan fasilitator dapat memanfaatkannya sebagai bahan untuk menyusun strategi intervensi.

Di sini pentingnya membangun komunikasi dan koordinasi dengan para stakeholders. Kemudian disusun konsensus baik formal atau informal untuk bekerjasama secara berkesinambungan dalam upaya merealisasikan program pembangunan yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan, meningkatkan standar hidup, dan menciptakan lapangan kerja di desa.

Inilah pentingnya pendekatan partisipatif, di mana masyarakat terlibat mulai dari penyusunan perencanaan, identifikasi masalah, analisis masalah, implementasi program, serta monitoring dan evaluasi. Pemerintah dan fasilitator desa hanya melakoni peran sebagai fasilitator, bukan mengarahkan masyarakat untuk melakukan kegiatan sesuai kepentingan pemerintah.

Dengan demikian, masyarakat mengalami proses pembelajaran dan merasa memiliki program tersebut karena dilibatkan. Masyarakat tidak akan berpartisipasi jika merasa program tidak akan mempunyai pengaruh bagi mereka. Masyarakat akan berpartisipasi bila perencanaan dan jenis kegiatan berorientasi pada kebutuhan dan kepentingan mereka.

Dan, perlu diingat, setiap komunitas di masyarakat memiliki budaya, tradisi, adat istiadat, nilai maupun norma sosial yang mengakar karena proses internalisasi yang dilakukan secara turun-temurun. Mereka juga memiliki pengalaman dan metode dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dialami. Di sini penting bagi para pemangku kepentingan, khususnya pemerintah dan agen-agen pelaku pembangunan, untuk memahami betul karakteristik masyarakat Desa.

Harus ada kemampuan untuk mengembangkan dialog, pertukaran pengetahuan, peningkatan kesadaran, dan menstimulasi aksi sosial agar masyarakat bersama-sama membangun Desanya. Inilah inti dari pendekatan "Desa Membangun" di mana komunitas membangun lingkungannya sesuai versinya yang kemudian diintegrasikan dalam perencanaan pembangunan Desa. Pendekatan ini cocok diterapkan, karena masyarakat Desa bersifat homogen, populasinya yang sedikit, berkelompok, dan memiliki ikatan sosial yang kuat.

Sementara pelaku pembangunan dituntut mampu menjadi katalisator yang bertujuan mengantarkan masyarakat Desa untuk menemukan potensinya dan melakukan aksi bersama. Inilah yang dinamakan rekayasa sosial, yakni upaya terencana untuk menghimpun, mengkonsolidasikan, serta mendayagunakan segenap potensi untuk menghasilkan kekuataan yang bisa dimanfaatkan bagi kepentingan pembangunan. Jika masyarakat benar-benar tidak mampu dan berdaya, menjadi tugas pemerintah dan pelaku pembangunan lainnya untuk meningkatkan kapasitasnya. 

M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Lingkungan
10 Mei 24, 09:58 WIB | Dilihat : 112
Malaysia Tak Pernah Pindahkan Ibu Kota Negara
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 309
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 530
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 519
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
Selanjutnya
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 810
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 953
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
Selanjutnya