Mengingat Lakon 'King Lear' Kala Mencermati Proses Pemilu 2024

| dilihat 591

Catatan Bang Sém

Hari pencoblosan kertas suara Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, jatuh pada hari Rabu, 14 Februari 2024. Pulang menyaksikan penghitungan suara di TPS (Tempat Pemungutan Suara) di luar kompleks perumahan tempat tinggal saya, tak sengaja saya lihat buku diary almarhumah istri saya.

Di salah satu lembaran buku diary, itu tertulis catatan kecil tentang malam terakhir pergelaran 'King Lear' karya William Shakespeare oleh Studiklub Teater Bandung (STB) di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ). STB mementaskan lakon drama populer itu sejak Rabu sampai Ahad (10 - 14 Februari 1988).

Pergelaran yang disutradari Suyatna Anirun dalam format teater realis, itu melibatkan 35 pemain yang memadu-padan sastra dan teater dalam satu tarikan nafas. Pergelaran yang mengesankan, karena garapan Suyatna selalu apik menjaga keseimbangan artistik, estetik, dan etik dalam format.

Juga menjaga kepekaan 'olah rasa' dalam dialog. Proporsional dan menghadirkan bentuk visual dengan olah panggung yang mengkaribkan penonton dengan lakon yang disajikan. Suyatna dan para pemain STB tak pernah mengabaikan aspek dramaturgi dan dramatika lakon yang disajikan. Termasuk meluahkan esensi kedalaman misi lakon yang -- dalam hal masa -- bernilai kontemporer.

Almarhumah istri saya menulis, "Suyatna Anirun dan para pemain STB berhasil membuka ruang tafsir cerita, lakon di panggung dan realitas situasi sosial yang aktual." Misi pesan dalam cerita berdimensi politik, filsafat, pendidikan, dan menguak kepekaan dan kedalaman insaniah.

Saya ingat, pergelaran itu menjadi tema percakapan selama beberapa hari di kantor dan Taman Ismail Marzuki (TIM), "King Lear" berhasil disajikan di TIM setahun sebelumnya. Tak berjauhan dengan berlangsungnya Pemilu 1987. Golongan Karya (Golkar) yang dipimpin Ketua Umum-nya Sudharmono memenangkan Pemilu 1987 dengan meraih 299 kursi, disusul Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pimpinan Jailani 'John' Naro meraih 61 kursi, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pimpinan Soerjadi meraih 40 kursi.

Dramaturgi Teatrikal

King Lear disajikan STB dengan pendekatan luah akulturasi. Pola dramatika lokal dengan dramaturgi Barat. Pergelaran itu dari perspektif politik, tak hanya menghadirkan penampang 'kegilaan filosofis' King Lear yang dalam keadaan gila mampu mengeluarkan pernyataan yang bijaksana tanpa aksentuasi.

King Lear dihadirkan sebagai sosok yang melihat realitas pertama atau keadaan yang terjadi di dunia ini dengan sebenarnya. Sedangkan mereka yang waras justru kebalikan - tidak melihat dan merasakan hal yang sebenarnya.

King Lear membagi kuasa yang berada di tangannya kepada puterinya yang menyanjung (sekaligus) menjilat secara eksploratif dan berlebihan (Goneriil dan Regan). Lear mendapat reaksi keras dari puterinya yang lain, Cordellia yang mengecamnya, sehingga diusirnya pergi jauh dan tak memperoleh apapun.

Lear mengalami kenyataan pahit ketika Goneriil dan Regan berkuasa. Ia disingkirkan, terpaksa mengembara, lantas secara gradual menjadi gila. Ketika itulah Cordellia yang diusirnya, justru yang menolong dan merawatnya.

Naskah drama ini ditulis Shakespeare dengan pendekatan dimensional, lengkap. Menghadirkan skenario yang menata watak, plot, dan pemeranan yang dimensional. Suatu kolase sinoptik dari rangkaian peristiwa dan aksi yang secara penetratif masuk ke dalam benak. Suyatna -- yang masih terkesan hingga kini -- dalam menggarap lakon ini berbeda dengan pendekatan sutradara dari mazhab realis yang sama, seperti Teguh Karya.

Para pemain diberikan semacam selasar masuk ke dalam pintu masuk, keluar, dan aksi yang menggambarkan alur dramatik yang memberi ruang aksi pemain, mulai dari peran naik sampai klimaks.

Pertunjukan STB dalam King Lear, itu pun memberi oleh-oleh pulang bagi penontonnya, pemahaman tentang dramaturgi sebagai perspektif sosiologi yang menganalisis peristiwa (dalam adegan) realitas kedua (mikro-sosiologis) dari realitas pertama ihwal interaksi sosial sehari-hari. Baik melalui analogi performativitas atau pun dramaturgi teatrikal.

Teater Proscenium

Interaksi sosial tersebut tersiangi antara aktor, penonton, dan dua penampang: panggung depan dan panggung belakang, sebagaimana dikemukakan Erving Goffman (The Presentation of Self in Everyday Life, 1956). Pun, pandangan Kenneth Burke (1945) yang mempengaruhi Goffman, bahwa kehidupan sebenarnya (realitas pertama) adalah teater, bukan metafora.

Mengulang ingat lakon King Lear, saya sepaham dengan Burke dalam melihat Pemilu 2024 dan pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971, sebagai teater. Dari berbagai data dan informasi yang mengemuka melalui media, media sosial, dan pertemuan-pertemuan terbatas saya melihat Pemilu 2024 sebagai teater tragedi. Antara lain menghadirkan esensi lakon King Lear.

Siapa saja yang nampak atau terkesan sebagai kalangan yang membayangkan diri mereka sebagai sutradara, intens dan trekun mencermati apa yang terjadi dalam teater kehidupan sehari-hari, mengacu pandangan Goffman, sesungguhnya sedang melakukan analisis dramaturgi, yaitu studi dan atau pengamatan tentang interaksi sosial dalam kaitannya dengan teater.

Merujuk Goffman, Jürgen Habermas dan Harold Garfinkel, saya melihat dramaturgi politik Pemilu 2024 sebagaimana mengemuka dari aksi sosial yang dirancang dan dilakoni untuk mendapatkan citra khas dirinya di mata khalayak.

Kita melihat apa yang nampak dan tersembunyi dari semua yang terlibat langsung (petinggi, politisi, partai politik, capres, cawapres, dan caleg) merupakan bagian dari kinerja individu dan sosial yang secara teratur berfungsi secara umum dan tetap. Itulah front! Dikuatkan oleh perangkat  ekspresif dari jenis standar yang sengaja atau tidak disadari digunakan oleh setiap individu yang terlibat langsung, laksana aktor dalam lakon selama pertunjukan berlangsung.

Mulai dari beragam isu terkait: Tiga Periode, Perpanjangan Masa Jabatan, Putusan Mahkamah Konstitusi dan putusan Komisi Pemilihan Umum yang nir-etika, terkait batasan usia dan penerimaan pendaftaran atas Gibran. Pula keberadaan Kaesang yang sejkonyong-konyong menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Senafas dengan yang ditampakkan Lear -- dalam King Lear -- kepada Goneril dan Regan.

Alur Dramatik Tragis

Pemilu 2024 dihampiri dengan pendekatan tafsir atas lakon King Lear, sayangnya tak menghadirkan dramaturgi yang sempurna. Zona panggung depan dan panggung belakang tak sinkron satu dengan lainnya, sehingga menimbulkan reaksi negatif khalayak. Mulai dari aksi dramatik sebelum, pada saat, dan setelah aksi - adegan pemungutan suara di TPS.

Pasangan Prabowo - Gibran dengan amsal tokoh Goneril dan Regan membuka celah khalayak berteriak, sejak hari-hari awal kampanye. Ketika pasangan Anies - Muhaimin dan Ganjar - Mahfud mengeksplorasi dramaturgi sosiologis - politik dalam kampanye dramatik, termasuk melakukan rancang dramaturgi politik melalui berbagai format - strategi kampanye -- teater terbuka dan kolosal. Termasuk alegori yang mengangkat naik dimensi human interactive dengan kekuatan dialog.

Prabowo - Gibran lebih hanya berperan dalam teater proscenium di ujung masa kampanye dan lantas didorong ke dalam rising action dengan quick count. Kemudian tersedak, ketika sistem rekapitulasi dan penghitungan manual tak terjaga dan menimbulkan respon negatif. Isu kecurangan pun tular, karena singularitas yang menjadi bagian dari sosio budaya khalayak kekinian, hadir serempak sebagai 'banjir bandang' ketidak-percayaan terhadap institusi negara (khasnya KPU).

Dalam situasi ini, meminjam  Frame Analysis (Goffman, 1974), mengguncang relasi rasa pada interaksi sosial Prabowo - Gibran - Jokowi dan para pendukung utamanya, dengan khalayak. Jangkar perspektif dramaturgi terlihat sebagai kecurangan. Mengoyak konsensus pemilu sebagai ajang integrasi bangsa. Kondisi ini, termasuk presumsi dan asumsi negatif tidak dapat didefinisikan ulang. Dramaturgi dalam konteks sebagai "pandangan dua sisi mengenai interaksi manusia," kadung kusam.

Upaya untuk mempercepat finalisasi Pemilu 2024 sebagai pergelaran teater super kolosal dengan 'pesan-pesan seolah bijak' tak akan mampu mengatasi keadaan. Yang akan mengemuka adalah dramatika dengan alur dramatik tragis, seperti ketika King Lear 'terkepung badai' di babak ketiga.  Apalagi di penghujung Debat Capres, mencuat nada rendah kesepahaman tak nampak tentang perubahan.

Keresahan batin Lear yang tak lagi seirama dan tak mampu menguatkan perlambang daya semesta untuk tetap mempertahankan citra (karena inkonsistensi perkataan dan perbuatan) di bawah kondisi guntur dan kilat yang tidak dapat ditoleransi.

Diam itu Salah

Sebagaimana Pidato Lear menjadi yang kian tidak teratur dan dramatis saat dia berjuang melawan “badai” di dalam pikirannya. Dipenuhi dengan tanda baca dan tanda seru, yang mencerminkan kekacauan badai dan kegelisahannya sendiri. Lear tidak lagi berbicara dengan tujuan, dengan kecepatan yang terukur dan anggun.

Dia terlihat akan berada dalam monolog panjang dan bertele-tele, cerminan dari pencarian dan penemuan jati dirinya. Lear berteriak, mempersonifikasikan badai sebagai sekutu dalam keputusasaan. Mengamuk seiring badai, dia menjadi semakin liar, karena percaya bahwa badai adalah “pelayan yang patuh” yang terpolarisasi pada tiga anak-anaknya yang tidak tahu berterima kasih.

Akan tiba masa, seperti dialami Lear.  Pertarungannya melawan 'badai' di dalam dirinya, sejajar dengan pertarungan pribadinya untuk menerima siksaan mentalnya. Kendati dalam keadaannya yang pahit, Lear tidak merasakan sakitnya tersengat guntur dan terhunjam hujan.

Kita tak berharap apa yang terjadi dalam lakon King Lear menjadi realitas gelap perpolitikan negeri ini. Ketika Cordelia dipersekusi. Lalu, Goneril 'bunuh diri' setelah meracun 'Regan.'  Dan pembantu-pembantu dungu yang berhimpun kepadanya, pula mengalami tragedinya masing-masing.  Klimaks yang dramatis dan sansai, ketika cinta pergi dan raib.

Lalu, seperti Lear yang terlambat sadar, ia masih terganggu pada ungkap rayuan muslihat Goneril (di awal babak teater ini). "Tuan, aku mencintaimu lebih dari sekedar kata-kata yang dapat menjelaskan segala masalah. Lebih berharga dari penglihatan, ruang, dan kebebasan;. Melampaui apa yang bisa dihargai. Tidak kurang dari kehidupan, dengan rahmat, kesehatan, keindahan, dan kehormatan; Cinta yang menyesakkan nafas; Di luar segala hal, aku sangat mencintaimu."  

Padahal, semua yang diucapkan Goneril hanyalah muslihat busuk kepada King Lear. Semakna dengan ungkapan Regan: "Diriku sendiri adalah musuh bagi semua kesenangan lain, yang dimiliki oleh akal budi paling berharga..."

Cinta palsu itu posesif karena kecurangan yang jahat; cinta sejati itu diam. Pada waktunya, cinta sejati rakyat kepada bangsanya harus diungkapkan untuk melawan kezaliman. Diam itu salah ! |

Editor : delanova | Sumber : berbagai sumber
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 243
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 466
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 458
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 430
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 947
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1172
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1435
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1583
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya