Mundur dari Jabatan

| dilihat 1498

Bang Sem

AKSI mundur pejabat negara, seperti yang dilakukan oleh Sigit Priadi (dari jabatannya sebagai Direktur Jenderal Pajak) karena tak berhasil mencapai target penerimaan pajak yang dibebankan kepadanya, diikuti oleh Djoko Sasono (dari jabatannya sebagai Direktur Jenderal Perhubungan Darat), karena alasan gagal mengatasi kemacetan yang terjadi pada liburan Natal yang lalu. Aksi mundur kedua pejabat negara ini, tentu berbeda dengan aksi yang dilakukan oleh Setya Novanto – Ketua DPR RI.

Sigit dan Djoko mundur sebagai ksatria karena sadar tidak mencapai parameter kinerja yang dibebankan kepadanya. Jauh dari tindakan politis. Akan halnya Setya Novanto mundur lebih karena desakan masyarakat, dan amat sangat politis.

Bagi saya, aksi mundur Sigit dan Djoko memberi dampak positif bagi pembelajaran bagi seluruh pejabat negara lainnya. Meskipun faktor kegagalan atas tugas dan tanggungjawab mereka, sangat beragam. Terutama faktor kondisi eksternal dari lingkup tugas dan tanggungjawabnya.

Pada kasus kegagalan Sigit mencapai target penerimaan pajak, salah satu faktor eksternal yang memengaruhi adalah terjadinya perlambatan ekonomi negara. Baik yang dipengaruhi oleh kondisi perekonomian global, maupun kebijakan pemerintah sendiri yang melemahkan daya ekonomi rakyat. Tak terkecuali belum berkembangnya kesadaran membayar pajak di seluruh lapisan masyarakat.

Pada kasus kegagalan Djoko, pun demikian. Paling tidak, dua faktor bisa dikemukakan. Pertama, kebijakan negara yang belum mampu mengendalikan laju pertumbuhan produksi kendaraan bermotor, sesuai dengan kondisi eksisting infrastruktur (terutama pembangunan ruas jalan). Kedua, masih lemahnya traffic management, dan perilaku masyarakat berkendara.

Beranjak dari pandangan demikian, sikap serta tindakan Sigit dan Djoko patut dihormati dan diapresiasi, sekaligus tidak mengurangi kehormatan pribadinya masing-masing. Keduanya menunjukkan sikap ksatria, yang sekaligus menunjukkan keberanian untuk mengakui kegagalan.

Henri Frederic Amiel – seorang filosof, penyair dan kritikus mengatakan, “Dare to be what you are, and learn to resign with a good grace all that you are not and to believe in your own individuality.”  Mengambil sikap mundur (karena tanggungjawab) merupakan pertanda keberanian untuk menunjukkan (watak) diri dan merupakan kebaikan atas kesadaran pada ketidak-mampuan individualitas (untuk mengemban tanggungjawab). Suatu sikap yang memilih cara dan bukan alasan (reason) untuk menutupi ketidakmampuan yang dirasakan.

Mundur dalam konteks Sigit dan Djoko setara kualitasnya dengan mundur sebagai pernyataan sikap terhadap suatu tindakan (aksi non governansi atau aksi non korporasi) yang dipaksakan kepada seorang pemangku tugas dan tanggungjawab. Sikap berani menentukan cara mempertahankan prinsip-prinsip organisasi yang disepakati bersama. Termasuk, menolak segala sesuatu yang menghambat pelaksanaan tugas dan tanggungjawab.

Sikap dan aksi mundur karena merasa gagal mengemban tanggungjawab, bagi saya, lebih mulia daripada memaksakan diri meneruskan tanggungjawab itu hanya untuk mempertahankan jabatan. Dalam kalimat lain bisa dikatakan, lebih baik menilai diri sendiri gagal daripada membiarkan diri menjadi obyek penilaian orang lain sebagai penyebab kegagalan.

Meskipun aksi mundur tidak menyelesaikan masalah, tetapi sikap demikian, memberikan peluang kepada orang lain yang lebih piawai dan kompeten untuk mengatasi kegagalan. Karena itu, sikap dan aksi mundur semacam yang dilakukan Sigit dan Djoko, boleh dikatakan sebagai tindakan memberi peluang penyelesaian masalah untuk mencapai keberhasilan, daripada membiarkan diri terjebak di jalan buntu dengan menabung berbagai faktor yang menimbulkan kegagalan lebih besar.

Dalam suatu situasi tertentu, ketika gagal menciptakan kondisi ideal, kita memang harus berani menjadi diri kita sendiri. Kendati hal tersebut sering terkesan menakutkan dianggap aneh oleh lingkungan yang tidak mendukungnya. Apalagi, ketika kita berfikir, bahwa otoritas untuk mengemban tanggungjawab hanya diberikan kepada mereka yang mempunyai watak mandiri. Persoalannya adalah tidak semua orang berani mengambil keputusan untuk mundur.

Di berbagai negara lain, mundurnya pejabat negara dari jabatannya karena merasa gagal, sudah lumrah. Kelumrahan itu terjadi karena di negara tersebut berlaku nilai hidup (budaya) bahwa tanggungjawab personal atas kinerja organisasi adalah segalanya. Budaya kepemimpinan (leadership culture) yang dalam banyak hal terkait dengan watak kebangsaan.

Sudah saatnya kini, sebagai bangsa, Indonesia menerapkan nilai-nilai dasar kehidupan yang sedemikian. Yaitu sikap ksatria. Sikap ksatria akan menghidupkan keberanian untuk membangun tanggungjawab kolektif untuk mengatasi berbagai masalah yang menjadi pemicu kegagalan. Bukan sebaliknya, berasyik-maksyuk dengan jabatan mesti secara faktual terjadi kegagalan. | 

Editor : sem haesy
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 534
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1629
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1406
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 271
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 438
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 282
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya