Gubernur DKI Jakarta Memang Good Bener

Mereka Mencerca, Anies Berkarya

| dilihat 1772

Bang Sèm

Memimpin Jakarta di jaman sungsang memang tak mudah. Apalagi merujuk pada pandangan allahyarham Rendra, bahwa tugas utama pemimpin adalah mendidik rakyat.

Belakangan hari, saya kerap melihat begitu banyak serangan -- atau lebih tepatnya bulian -- yang dilontarkan segelintir orang terhadap Anies Baswedan, Gubernur Jakarta yang 'good - bener.'

Serangan-serangan atau bulian, itu tak berarti apa-apa. Termasuk petisi Ganti Gubernur dan aksi sejenisnya. Mereka menjual tantangan dan Anies memborong semuanya. Mereka memaki dan mencerca, Anies berkarya. Mendahulukan rakyat, memajukan Jakarta.

Mulai dari penghentian proyek reklamasi di pantai utara Jakarta sampai fasilitasi 'mudik dan balik' lebaran warga Jakarta.

Apa pasal? Mereka menjual 'politicking' dan Anies memborongnya dengan 'politik.'

Bila tak cukup cerdas dan menguasai masalah, apapun bentuk serangan sebagai jualan, pasti akan diborong habis oleh Anies yang sedang memainkan peran fungsional utuh sebagai Gubernur.

Pertama, Anies fokus pada bagaimana mengelola pemerintahan (dengan menegaskan esensi governance - sesuai prinsip good governance) berbasis layanan, cukup dengan senyuman - sentuhan batin - kalimat dalam surat keputusan yang tegas, dan tanda-tangan. Nafasnya adalah menggerakkan seluruh anasir pemerintahan secara struktural menjalankan civil servant dan civic mission;

Kedua, Anies fokus menyelenggarakan pembangunan, dimulai dengan membenahi bengkalai-bengkalai proyek yang ditinggalkan pendahulunya, sekaligus mengimbanginya dengan orientasi pembangunan yang mengacu kepada pencapaian keadilan. Anies membuka matahati warga Jakarta, ketika para pembulinya masih berdiam di masa lalu dan sibuk menjadi bagian dari problem generator dan senang menjadi masalah. Anies turun ke lapangan bersama slagorde pemerintahannya menjadi solusi, pemecah masalah. Terakhir, dia mengajak general manager PLN membenahi kabel-kabel melintas yang semrawut - yang dapat mengganggu prinsip smartcity - sekaligus mengganggu artistika dan estetika kota;

Ketiga, Anies fokus menganggit ekuitas dan ekualitas warga dengan membuka ruang luas bagi berprosesnya egaliterianisma, kosmopolitanisma, dan demokrasi. Langkahnya menarik. Mulai dari membangun kesadaran (awareness), semangat (enthusiasme), simpati, empati, apresiasi, respek dan akhirnya menghidupkan cinta seluruh elemen warga dan aparatus (baik yang bersifat ke dalam diri maupun ke luar diri) berfikir - bersikap dan bertindak positif. Anies tak menggunakan retorika yang tak perlu, dia cukup berhemat dengan kata bermakna, misalnya: "warga Jakarta lebih memerlukan air bersih dan sehat, katimbang bir" saat dikritik soal saham di pabrik bir.

Dalam konteks politik, berbagai pernyataan Anies, lebih banyak menjadi katarsis bagi letupan-letupan emosi dan kebencian, karena di Jakarta belum tersedia semacam hydepark, bagi siapa saja yang mengalami understressed dan underpressed untuk meluahkan situasi gamang di dalam dirinya.

Pun begitu ketika dia harus menghadapi politisi formal, yang sebagian boleh dikata merupakan politisi konservatif yang sedang setengah hidup meyakinkan banyak orang, bahwa mereka adalah modernisator.

Dalam konteks ini, terlihat dengan transparan, ketika diserang di sisi-sisi emperan dan tidak substantif, Anies mengklarifikasi kesalahpahaman yang mungkin akan mempengaruhi kaum warga pada umumnya.

Melihat aksi Anies Baswedan memborong semua yang dijual para pembulinya, saya teringat pandangan Konstantin Simonov (2006) kala menyaksikan geliat pandir politisi konservatif menyerang Vladimir Putin. Simonov menyatakan,"... kaum konservatif merupakan kaum reaksioner yang melawan perubahan sekecil apa pun dan (selalu) mimpi membekukan masyarakat."  

Terutama, ketika mereka merasa melakukan modernisasi dengan retorika "demi perubahan,"tetapi, sesungguhnya menghambat efektivitas manifestasi aksi politik, sosial, dan ekonomi" yang bermuara kepada perwujudan sesanti: "maju kotanya, bahagia warganya." (baca: Belajar dari Kiprah Gubernur Pancasilais)

Para pembuli Anies tak pandai mengeritik Anies, karena kemampuannya baru sampai memaki. Baru sampai tahap geremengan dan tak paham cara 'menyengat.'

Ketika Anies memilih jalan budaya sebagai cara membangun ibukota, nampak dengan jelas dan terang benderang, betapa pilihan alasan dan teknik menyerang justru sama sekali tak berbudaya. Akhirnya, warga melihat separasi yang jelas untuk membedakan, siapa sungguh yang sedang berjuang melayani rakyat, siapa pula yang tidak.

KETIKA silaturahmi lebaran, saya berbincang dengan beberapa intelektual (filosof, antropolog, dan budayawan) -- sebagian terbesar dari Universitas Indonesia. Mereka bukan pendukung (dan tak berususan dengan dukung mendukung) Anies. Mereka adalah intelektual kritis yang melihat Anies dari beragam sudut pandang dan obyektif.

Dari perbincangan itu mengemuka beberapa pendapat.

Pertama, Anies memang harus bekerja lebih efisien dan efektif dalam memanifestasikan prinsip-prinsip kepemimpinannya yang berorientasi pada pembangunan kota berkeadilan. Sangat melelahkan, karena Anies tidak memasukkan para penyerang dan pembulinya sebagai musuh, melainkan lawan yang harus dilayani hak-haknya dan difasilitasi peningkatan kualitas hidupnya;

Kedua, Anies perlu sangat teliti memilih para stafnya (khasnya Aparatur Sipil Negara) berdasarkan matriks kompetensi sekaligus subyektivitas berorientasi proses kinerja dan hasil. Ini juga tidak melelahkan, karena Anies sangat memahami esensi pluralisme, multikulturalisme, dan sikap: melayani tanpa harus kehilangan integritas. Realitas ini juga tak mudah dipahami oleh partai politik pendukung dan penentangnya, dan akan membuat proses asesmen untuk wakil-nya menjadi tidak mudah;

Ketiga, Anies kudu tangkas memilih dan memilah institusi-institusi kemasyarakatan, termasuk organisasi kemasyarakatan berbasis etnis dan budaya, dengan keluar dari cara intuitive reason yang menjadi kebiasaan birokrasi, berbasis fungsi dan proporsinya. Terutama, karena kontaminasi pikiran politik yang sarat kepentingan sudah sedemikian menjalar ke mana-mana;

Keempat, Anies perlu fokus pada standar-standar pembangunan internasional, terkait dengan proses membangun lingkungan masyarakat sehat, masyarakat cerdas, masyarakat mampu (secara ekonomi), dan gaya hidup lestari. Muaranya adalah meningkatkan human development index (HDI). Sebagai intelektual dan berlatar akademik yang sesuai dengan sebagian besar tugas pokok dan fungsinya sebagai gubernur, Anies mampu melakukannya;

Kelima, Anies perlu agresif dalam menawarkan gagasan benar dan tepat tentang prtinsip megapolitanism, yang tak hanya mengacu pada orientasi kewilayahan terbatas yang keliru selama ini (jabedetabog + cianjur). Karena esensi megapolitan Jakarta adalah terbangunnya metropolitanisma mulai dari Serang, Bandung, Semarang, Surabaya. Dengan titik berat pada penguatan metropolitanitas Tangerang Raya, Bogor Raya, Sikarta (Bekasi - Karawang Purwakarta). Terutama karena wilayah-wilayah Jabedetabog merupakan daerah atau kota otonom.

Anies tak perlu menanggapi para pembuli dan pemaki (kecuali untuk hal-hal substantif), karena warga kota sendiri yang akan menghadapinya. Artinya, bila warga kota merasa kepemimpinannya berdampak langsung terhadap keadilan dan kesejahteraan mereka, tanpa diminta, rakyat yang akan menghalau pembuli dan pemaki.

Beli semua yang mereka jual dengan aksi kebijakan pemerintahan, pembangunan dan pemajuan daya warga. Tentu dengan melibatkan institusi dan instansi terkait yang senang bila warga bahagia, dan susah bila warga menderita.

"Ke Cibinong naèk kerèta / Bawa bèsèk dalemnyè candil / Terus majuin kota Jakarta / Jangan pikirin pemaki kerdil|

Editor : Web Administrator | Sumber : foto-foto: khas
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1096
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 168
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 340
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 365
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 335
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya