Daya Tarian

| dilihat 851

Sèm Haèsy

Akankah peristiwa politik pemilihan umum diharapkan mampu memberi dampak besar perubahan bagi suatu bangsa? Khasnya, memberikan nilai tambah bagi perkembangan peradaban?

Kalau jawabannya "ya!" dan memang sungguh hendak dicapai, maka setiap partai politik dan individu yang hendak menjadi politisi berjiwa negarawan, kudu mulai belajar tari. Paling tidak, lebih kerap menonton seni pertunjukan, khasnya tari. Boleh tari tradisi, boleh juga tari kontemporer, yang sering disebut sebagai modern dance.

Sepanjang manusia masih mampu bergerak dan menggerakkan tubuhnya, sesungguhnya dia tak terpisahkan oleh tari. Karena tari merupakan gerak dan gerakan yang menyeimbangkan dimensi ragawi dan sukmawi, jasmani - ruhani, nalar - naluri - rasa dan dria yang menunjukkan manusia itu hidup.

Rebekah J. Kowal, Randy Martin, and Gerald Siegmund berkolaborasi menulis buku The Oxford Hand Book of Dance and Politic (2017) yang berisi 9 langkah menuju teori Artikulasi Choreo-Politic. Dana Mills dari Manchester Univeristy, pada tahun yang sama, menerbitkan Dance & Politic Moving Beyond Boundaries. Beberapa pakar ilmu politik dan seni lainnya, juga banyak menulis relasi (dan bahkan pengaruh) tari dengan aktivitas politik.

Adalah Steven Mithen (2006) dalam jurnal genetika untuk Public Library of Science (2006) yang menyebut, tari dan tarian sudah ada sejak manusia mulai dikenal sebagai homo socius sekaligus homo economicus, yang berargumen bahwa evolusi tarian (beserta musik) memiliki dampak signifikan terhadap perkembangan bahasa dan kemampuan komunikasi kita. Tari dan tarian merupakan elemen penting bagi kelangsungan hidup kita karena tarian menawarkan cara untuk menjalin ikatan dan berkomunikasi, terutama pada masa-masa sulit.

Kowal, Martin, Siegmund, dan Mills sama meyakini, para lmuwan percaya bahwa (bahkan) manusia purba memiliki koordinasi dan ritme yang memberikan keuntungan evolusioner.

Refleksi Kebangsaan

Peradaban Barat dan Timur -- yang ditopang oleh peradaban Persia, Mesopotamia, Aria, Tiongkok, Arab, dan lain-lain -- saya yakini, memberikan suatu kesadaran asasi, bahwa tari (dalam konteks gerak tubuh alami) dan tarian (gerak tubuh yang terencana dan terstruktur) sangat bervariasi. Mulai dari gerakan tangan yang sederhana hingga balet yang rumit, hingga kerumunan orang yang bergoyang mengikuti irama di konser rock (termasuk dangdut), ritual keagamaan sampai pada gerakan-gerakan alam bawah sadar saat trance.

Sejak manusia mengenal (dan kemudian hidup dalam dunia kata) retorica yang bersumber dari bahasa dan sastra, bahasa tubuh dalam gerak tari dan tarian tak lagi dijadikan sebagai alat komunikasi utama. Karena manusia lebih mudah dan nyaman melakukan komunikasi verbal dan literal. Pada masa ini juga, dalam keluarga seni pertunjukan, musik dan teater lebih dipilih sebagai medium artikulasi yang tepat dan cepat guna dalam melakukan artikulasi politik. Meski kemudian, retorika kian mengikis dimensi estetika dan artistika dalam proses komunikasi politik.

Di Indonesia, sampai abad ke 18 - 19 tari dan tarian masih menjadi medium komunikasi politik budaya dan budaya politik yang dipergunakan oleh para raja dan sultan. Bahkan, para raja dan sultan, serta kaum bangsawan lainnya, secara khas menciptakan beragam jenis tari. Antara lain, tari Bedhaya Kethawang, tari Topeng Kelana - Panji, tari Golek Menak dan lain-lain. Termasuk tari fragmentaris dan sendra tari yang artikulatif tentang watak dan kepribadian.

Pada abad ke 20 dari Kraton dan kemudian masyarakat luas berkembang beragam jenis tari yang memainkan peran dalam aktivitas politik, seperti diplomasi budaya dan diplomasi khalayak. Tanpa terkecuali, tari pergaulan. Tokoh Guru Bangsa pemimpin Sarekat Islam - pelopor dan penggerak kebangsaan Indonesia, Haji Oemar Said Tjokroaminoto, misalnya, piawai menari beksa  dan kerap memilih tokoh Hanoman dalam fragmen tari. HOS Tjokroaminoto belajar tari, ketika bersekolah di OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaaren) Magelang. Lewat fragmen tari yang dimainkannya, HOS Tjokroaminoto menyampaikan pesan kebangsaan dan perlawanan rakyat terhadap pemerintah Hindia Belanda.

Abad ke 20, juga upaya menghadirkan kembali tari sebagai medium artikulasi politik kebangsaan. Para koreografer Amerika menciptakan tarian yang merefleksikan spektrum ekspresi budaya yang sangat beragam. Kita mengenal sejumlah koreografer yang memusatkan perhatian tentang hal ini, seperti Ted Shawn, Lester Horton, Martha Graham, dan Alvin Ailey. Mereka, yang (sekaligus) merayakan musik tradisional Amerika, menggali lebih dalam tentang multikulturalitas dari praktik-praktik masyarakat dan imigran, serta ritual-ritual penduduk asli Amerika.

Mereka menjadikan tarian sebagai medium ekspresi komunikasi politik untuk mengartikulasikan sikap politis, memprotes ketidakadilan atau mendukung proses perubahan. Pada tahun 1927, misalnya, Isadora Duncan mendeklarasikan "I See America Dancing" - merujuk pada puisi Walt Whitman "I Hear America Singing." Duncan melakukan rekacita dan rekacipta tarian sebagai medium yang ampuh untuk mengekspresikan budaya. Para koreografe tersebut, juga melakukan suatu proses visioneering tarian sebagai etalase utama budaya Amerika, semasa antara Perang Dunia I hingga Perang Dingin. Menyuarakan egaliterianisma, demokrasi, inklusivisma, ekuitas dan ekualitas dalam konteks meningkatkan kesadaran sosial.

Tari adalah DNA

Isadora Duncan, Jane Dudley, dan Sophie Maslow melakukan kajian khas dan 'menciptakan' tarian yang merespon berbagai ideologi yang digencarkan Uni Soviet setelah Revolusi Rusia pada 1917. Koreografer Charles Weidman, Erick Hawkins, Daniel Nagrin, dan anggota Kelompok New Dance, selama dekade 1930-an dan 1940-an, menegaskan artikulasi pemikiran mereka, menentang kebangkitan fasisme, eksploitasi pekerja, tunawisma, kelaparan yang meluas, pengangguran, dan rasisme, dan beragam tema lainnya yang bertentangan dengan keadilan, kemanusiaan, dan keberadaban.

Pada masa itulah, dalam konteks diplomasi budaya melawan arus besar paham dan ideologi komunis, pasca-Perang Dunia II, Era Perang Dingin, pemerintah Amerika Serikat mengirimkan banyak kelompok tari ke seluruh dunia. Mereka menjalankan misi utama dalam melawan sentimen anti-Amerika. Aksi dan operasi diplomasi budaya via tari tersebut, antara lain mempopulerkan American Ballet Theatre, Martha Graham Dance Company, Alvin Ailey American Dance Theater, dan José Limón Company, sampai runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991.

Relasi dan korelasi tari  dengan politik ditujukan dalam kancah akademik, juga menarik perhatian, tidak hanya para ahli teori dan ilmu politik serta para mahasiswa,  sarjana, akademisi seni tari (dan seni pertunjukan pada umumnya). Bahkan, menarik perhatian kalangan pemikir yang melihat politik, ekonomi, hukum, dan sosial menjadi bagian dari budaya atau kebudayaan. Tak terbatas hanya untuk memperluas pemikiran mereka tentang politik secara teoritis, melainkan perwujudan, dan aktivisme politik praktis itu sendiri.

Para ilmuwan dan kalangan politisi yang matang dan dewasa, serta berjiwa negarawan dan para pelaku tari - seni pertunjukan yang mempunyai kesadaran dan wawasan politik kebangsaan, melihat tarian sebagai bentuk aktivisme politik -- terutama dalam konteks komunikasi politik -- dipandang efektif. Tema dan pesan yang dikemukakan melalui tarian dapat memantik respon emosional khalayak.

Pertunjukan tari sendiri sebagai suatu produk budaya merupakan simpul yang terhubung dengan ekonomi. Karenanya dalam skala global, tarian merupakan produk seni pertunjukan yang relevan dalam kegiatan menggalang potensi dana untuk menciptakan aktivisme politik, terutama dalam konteks perubahan positif.  Di sisi lain, dalam pandangan Abigail Basset (2020), tarian memiliki kemampuan untuk memahami emosi khalayaknya, yang sangat penting dalam kampanye politik

Dalam dimensi kekinian, ketika pertimbangan demografis dan psikografis menjadi pertimbangan dalam politik praktis dan aktivisme politik, pandangan Robert Battle - Direktur Artistik di Teater Tari Amerika Alvin Ailey yang terkenal di New York, kerap menjadi rujukan. Battle menyatakan, selama berabad-abad, tarian terus menawarkan cara bagi manusia untuk saling terhubung, dan hingga kini merupakan bagian dari DNA manusia.

Bukan Hanya Hiburan

Battle menyatakan, "Saya pikir bukan suatu kebetulan bahwa semua budaya memiliki bentuk tarian yang diwariskan - suatu bentuk gerakan yang berasal dari tarian yang memiliki fungsi dalam masyarakat, bukan hanya hiburan. Saya pikir ada sesuatu di dalamnya yang merupakan bagian dari diri kita, bagian dari sejarah dan tata keindahan kita."  Battle meyakini, tari dan tarian merupakan deoxyribonucleic acid. Materi keturunan pada manusia dan hampir semua organisme lainnya.

Pandangan Battle dalam catatan Basset, digemakan oleh Celia Fushille, Direktur Artistik di Smuin Contemporary Ballet di San Francisco, dan menegaskan, bahwa selama ribuan tahun, tarian telah menjadi bentuk komunikasi dan ekspresi non-verbal. Suatu bentuk gerakan yang menggunakan gerakan simbolis, ekspresi yang alami. Karenanya, Prof. Endang Caturwati - Guru Besar Ilmu Seni Pertunjukan - ISBI (Institut Seni Budaya Indonesia) Bandung, melihat korelasi tarian dengan seni rupa. Endang menyatakan, "Seni tari merupakan seni rupa yang bergerak."  Kendati tarian juga dihidupkan dengan bunyi, daya musikal, yang menghubungkan gerak tubuh dengan ritme dan melodi, serta resonansinya pada gerak ragawi dan sukmawi.

Dalam suatu diskusi zoom (2021) tentang tarian dalam konteks diplomasi, dua m,aestro tari (Endang Caturwati dan Nungki Kusumastuti - Ketua Senat Institut Kesenian Jakarta) sama memandang, bahwa tarian menjadi daya inti soft power dalam interaksi politik antara bangsa dan negara. Pandangan keduanya, relevan dengan pandangan Kowall, Martin, Seagmund, dan Mills, bahwa diplomasi tari menawarkan alternatif damai untuk relasi politik yang terkesan keras. Sekaligus  membantu pemerintah membentuk hubungan yang erat dengan khalayak di berbagai wilaya. Maknanya, tarian dapat membantu negara memajukan tujuan kebijakan luar negeri mereka dan membentuk citra global, sambil menjaga perdamaian dan keamanan internasional.

Berbagai pandangan, pemikiran, dan sikap para ilmuwan dan praktisi tari seperti disebutkan di bagian lain tulisan ini, sampai pada pemahaman yang khas berdimensi universal tentang relasi dan koneksi tari dengan khalayak. Yakni, khalayak menikmati tarian dengan berbagai cara dan untuk berbagai alasan. Kendati kebanyakan orang mengenal tarian sebagai seni pertunjukan di atas panggung, layar kaca, dan media. Namun, menari juga dapat merupakan kegiatan sosial, bentuk kebugaran fisik, atau sarana utama untuk mengekspresikan warisan budaya dan identitas.

Tarian merupakan penampang jelas ekspresi manusia dan komunikasi insaniah -- yang nampak dan yang dirasakan -- paling kuat. Melalui gerakan tubuh manusia, tarian menyampaikan berbagai macam emosi manusia, bercerita, memperkuat, mendisiplinkan, dan menyegarkan manusia seutuhnya. Bagi banyak orang di dunia, tarian (melalui dance therapy) juga memiliki daya penyembuhan dan pemulihan, sekaligus memberikan keselamatan bagi manusia yang menderita.

Selaras dengan pandangan berbagai pemikir, ilmuwan, akademisi, maestro dan praktisi yang tersebut dalam tulisan ini, mengacu pada pandangan Mills dan Mithen, daya tari dalam konteks kehidupan manusia yang lebih luas -- temasuk ideologi, politik, sosial, ekonomi, dan pertahanan -- adalah pentingnya memahami dua elemen utama yang membuat tarian memiliki daya unik. Yaitu, penggunaan penuh dari seseorang dan kemampuannya untuk melayani masyarakat dengan cara yang penting. Setiap definisi tari harus memasukkan fungsi fisik dan fungsi fungsi sosial budayanya. Dalam konteks ini, tari sebagai seni partisipatori menemukan maknanya. Di Indonesia, antara lain, terlihat dan terasakan pada karya Alfiyanto yang punya daya ekspressi sosial dalam menghubungkan simpati, empati, aspresiasi dan respek dalam 'Ciganitri - Kampung yang Hilang.' |

Editor : Sem Haesy | Sumber : berbagai sumber
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1201
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 753
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 909
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 863
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya