Kita Harus Membuat Pikiran Baru tentang Universitas

| dilihat 1202

CIKINI | Kita harus membuat pikiran baru tentang Universitas yang bukan hanya bersoal tentang kebenaran pikiran, tetapi juga kebenaran tentang pengetahuan yang kita miliki sebagai Indonesia dalam seluruh perjalanannya sebagai sebuah bangsa dan negara.

Risa Permanadeli, pengajar Universitas Indonesia, Pendiri dan Direktur Pusat Representasi Sosial, mengemukakan pandangan tersebut, ketika menyampaikan Kuliah Kenangan Sutan Takdir Alisjahbana (STA) - Akademi Jakarta (AJ), di Teater Kecil - Pusat Kesenian Jakarta - Taman Ismail Marzuki (TIM), Senin petang (24.07.23).

Pandangan tersebut mengemuka, ketika anggota Laboratoire Eropa de la Psyhology Sociale, dari Maison des Sciences de l’ Homme, Paris, tersebut sebelumnya mengulas luas tentang saturasi, keruwetan dan mencari haluan pikiran dalam konteks pemikiran Barat dan Timur yang mengemuka dalam pikiran STA (dekade 1930-an dan memantik Polemik Kebudayaan) dan kini.

Khasnya, ketika bersoal tentang Barat atau Indonesia sebagaimana ketika STA menuliskan pikirannya, kemudian bukan lagi menggaungkan kebutuhan yang sama. Meletakkan Barat dan Indonesia bukan lagi sebuah oposisi untuk menyatakan acuan kekuasaan, Barat atas Timur, materialistik atas spiritual, pikiran atas alam, laki-laki atas perempuan, kota atas desa, pengetahuan atas common-sense, ilmu atas kepercayaan, dan sebagainya.

Seluruh masalah yang dialami Barat sejak awal abad 21 seperti ancaman terrorisme, ketidaksetaraan pada berbagai bidang, rasialisme sebagaimana yang sedang meledak di Perancis, atau bahkan perang berkepanjangan antara Rusia dan Ukraina, menurut Risa, "hanyalah beberapa contoh  --yang seandainya STA masih berada bersama kita, mungkin beliau pun akan mengambil sikap dan cara pandang lain pada tulisannya."

Menurut Risa, "Kalau Barat sepenuhnya sadar atas saturasi tersebut dan mencari alternatif pikiran dari tempat lain, apakah kita juga mampu melihat bahwa seluruh masalah yang kita hadapi dan kita terima sebagai keruwetan adalah sebuah produk representasi dari saturasi atas pikiran kita sendiri tentang bangsa dan kemajuan?"

Lantas, Risa mengemukakan, bangku Pendidikan, konon tetap dipercaya sebagai sumber utama pikiran yang menyemaikan banyak gagasan untuk kemudian ditubuhkan untuk menjadi common-sense. Bersekolah biar pintar, misalnya, adalah common sense universal yang tetap menggerakkan seluruh mimpi orang tua tentang bagaimana mengubah nasib bagi anak-anaknya.

 "Bagaimana dengan common-sense tentang Pendidikan di negeri kita? Bersekolah biar jadi priyayi, adalah gagasan yang menubuh dalam benak semua orang Indonesia. Apalagi orang desa! Bersekolah kemudian artinya tidak lagi bertumpu pada kepandaian, bukan pada kemampuan untuk memahami masalah, apalagi memecahkannya," ungkap Risa.

Dikemukakannya, "Sebelum modernitas di Barat menubuh, maka lembaga pertama yang dianggap akan mengubah pikiran menjadi common-sense adalah Universitas! Kebenaran yang menjadi embrio seluruh pertarungan pikiran, pun bergerak meninggalkan sumber awalnya - dari gereja ke Universitas."

Universitas bukan hanya sekedar otak dari seluruh pikiran modern. "Universitas adalah rahim yang melahirkan masyarakat modern, masyarakat yang berpikir, masyarakat yang menjaga kesadaran bersama sebagai anggota sebuah bangsa," urainya.

Dengan gaya penyampaian yang mengalir dan naratif, Risa lantas mengemukakan, "Berbahagialah kita, karena tak ada pelosok di negeri ini yang tidak memiliki Universitas."

Risa melanjutkan, "Mereka bahkan bukan hanya menawarkan Pendidikan S1. Di pedalaman yang begitu jauh dari hiruk pikuk yang membutuhkan keahlian setingkat doctoral, dengan mudah kita temukan program Pendidikan S3 dengan tawaran program studi yang tidak terhubung sama sekali pada kebutuhan masyarakat sekelilingnya."

Dan untuk mempertahankan status akreditasi yang memberi peluang untuk menjalankan Lembaga Pendidikan tersebut, ungkap Risa, maka semua mahasiswa lulus dengan predikat Cum Laude. "Apa kemudian common-sense yang lahir dari pikiran bersekolah tinggi di atas?" tanya dia.

Dalam konteks pertanyaan inilah, secara aksentuatif, Risa meneggaskan, "Apapun common-sense yang ada, tidak berarti kita harus menutup Universitas yang ada. Sebaliknya kita harus membuat pikiran baru tentang Universitas yang bukan hanya bersoal tentang kebenaran pikiran, tetapi juga kebenaran tentang pengetahuan yang kita miliki sebagai Indonesia dalam seluruh perjalanannya sebagai sebuah bangsa dan negara.

Pada kuliahnya tersebut, Risa mengemukakan, "Beberapa waktu terakhir, kita melihat sebuah kekacauan terjadi di Prancis. Seorang anak muda, warga negara keturunan asing, ditembak oleh seorang polisi. Hilangnya nyawa anak muda tersebut, bukan hanya mengingatkan kebrutalan polisi. Masyarakat Prancis bersuara untuk menuntut negara menjamin kesetaraan, menghilangkan prasangka, dan menegakkan keadilan."

 

Lantas dia mengingatkan ulang, "Setahun yang silam, seorang anak muda di negeri kita juga meregang nyawa. Kematiannya jauh lebih brutal dari anak muda Prancis. Hari ini kita tidak bersoal sedikitpun tentang bagaimana setiap nyawa bisa hilang dan tidak berarti apapun untuk semua orang."

Kematiannya tidak terhubung dengan seluruh nilai-nilai kebangsaan yang layak kita tegakkan. Proses pengadilan menyelesaikannya sebagai sebuah tindakan kriminal, dan bukan tindakan yang mencederai martabat warga negara.

"Setelah membayar mahal sekolah, menikmati seluruh privilege sebagai kelas menengah, kemana suara yang seharusnya kita dengungkan untuk bersoal tentang kematian warga negara? Kemudian apa artinya bangku sekolah dan program Pendidikan selama ini?" tanya Risa.

Pada kuliahnya tersebut, Doktor Piskologi Sosial lulusan École des Hautes en Sciences Sociales, Paris, ini bertanya,  "Kalau Universitas adalah Rahim  sebuah bangsa, kemudian apa yang bisa kita tawarkan pada Universitas untuk memangkas keruwetan dan membuat peta baru perjalanan bersama?"

Ia mengemukakan beberapa pemikiran untuk menjawab pertanyaan tersebut. Antara lain, "Menghubungkan Universitas dengan masalah-masalah yang nyata dari masyarakat, dan menjadikan masalah-masalah tersebut sumber pengetahuan yang hendak dikembangkan bersama seluruh mahluk kampus."

Lantas, "Mengembangkan pengetahuan tentang masalah-masalah pada setiap tempat dan menjadikan pengetahuan tersebut sebagai lokalitas ilmu yang hendaknya terhubung dengan lokalitas-lokalitas ilmu yang lain."

Selain itu, "Mengarusutamakan kerja sama antar lokalitas ilmu dari Universitas-Universitas nasional, seraya, membuat peta lokalitas ilmu pada masyarakat Indonesia untuk mengidentifikasi kemajemukan pengetahuan yang dimiliki Indonesia, sekaligus untuk menghindari penyeragaman pola berpikir."

Selain itu, menurut Risa, "Memupuk keberanian untuk keluar dari fantasi berada pada World Ranking University yang sejujurnya memberikan kriteria yang akan selalu menjauhkan Universitas dari kebutuhan nyata masyarakat kita." 

Setarikan nafas, Risa juga mengemukakan pandangan, kita harus,  menyelamatkan Universitas dan cendekia dari perspektif rabun jauh karena selalu gagal melihat apa yang ada di depan mata. Seraya, "Menyediakan Pendidikan tinggi tanpa bayar untuk menjamin bahwa berpikir dan berpengetahuan adalah sebuah kemerdekaan yang dijamin oleh negara."

Kuliah Kenangan STA - AJ kali ini diawali dengan pameran dan diskusi tentang Daya Ubah Seni yang dipandu anggota AJ Tisna Sanjaya, dan dihadiri sejumlah figur prominen, seperti Ninik L. Karim - aktris intelektual dan sejumlah aktivis perempuan, akademisi, seniman dan budayawan.

Ketua AJ, Seni Gumira Ajidarma dalam pengantar dua program paralel AJ bertajuk "TEROBOS: Daya Ubah Seni dan Kemandirian Pikiran,"  tersebut mengemukakan,  "Berbeda dengan pandangan tentang seni yang sering keliru, seni itu tidaklah mesti eksklusif, mahal, elitis, sulit dimengerti, dan apalagi terasing dari masyarakatnya sendiri."

Kesan seperti ini, menurut Seno, terlalu mudah mengundang pemikiran, betapa dana besar yang digelontorkan atas nama kebudayaan adalah sesuatu yang mubazir.

Seno mengemukakan, AJ menghadirkan Komunitas eks-Bioskop Dian, Ruang Reda, Sanggar Olah Seni Babakan Siliwangi, dan Imah Budaya Cigondewah ini, yang memperkenalkan pendekatan seni yang terjelma langsung dari kehidupan sehari-hari.

Empat komunitas tersebut berbasis di Bandung. Sebagian mereka merupakan warga kota, ibu rumah tangga, dan anak-anak. Mereka menggunakan seni sebagai media utama untuk menerjemahkan persoalan-persoalan yang mereka hadapi, mengarsipkan ingatan, sebagai proses healing, saling belajar, maupun sebagai pengikat untuk kesadaran kebersamaan.

"Itulah seni yang murah sekaligus vital bagaikan udara," ungkap Seno. Seni yang menerjemahkan persoalan di depan mata, seperti wilayah domestik; memanfaatkan ruang mangkrak, sehingga yang terlantar menjadi gelanggang kebudayaan; mengarsipkan ingatan, agar masa lalu sungguh menjadi pelajaran; dan memberdayakan seni sampai mengubah, karena krisis lingkungan hidup tak layak direlakan menjadi kehancuran.

Diskusi terkait dengan pameran tersebut, menghadirkan para nara sumber, masing-masing Wahyu Dian (Komunitas Bekas Bioskop Dian); Ami Juandi Husin dan Ima Rochmawati (Komunitas Ruang Jeda); Meita Meilita (Komunitas Imah Budaya Cigondewah); Susentono Tono dan Deden Sambas (Komunitas Olah Seni Babakan Siliwangi). Anggota AJ, Tisna Sanjaya, memandu diskusi ini sebagai moderator. Pameran dan diskusi berlangsung pada pukul 10.00 sampai pukul 14.00, dilanjutkan Kuliah Kenangan STA | delanova

 

Editor : delanova
 
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 538
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1062
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 291
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 756
Momentum Cinta
Selanjutnya
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 749
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 903
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 858
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya