Bedah Buku Karya Prof. Dr. Endang Caturwati

Memetik Isyarat Seni dan Ketahanan Budaya

| dilihat 728

Catatan N. Syamsuddin Ch. Haesy

Prof. Dr. Endang Caturwati yang tak pernah berhenti berkreasi dan menjalankan tugas - tanggungjawabnya sebagai pendidik, kembali menghadirkan karyanya dalam bentuk buku bertajuk "Seni dan Ketahanan Budaya."  

Buku yang mengteksplorasi hasil penelitian dan pengalaman sejumlah seniman tersebut, Sabtu (10/12/22) di Bale Rumawat - Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung, dibedah tiga ahli di bidangnya masing-masing, yakni Setiawan Sabana (guru besar emiritus Seni Rupa - ITB), Arthur S. Nalan (guru besar sosiologi seni - ISBI Bandung), dan Miranda Risang Ayu (pakar HAKI - hak atas kekayaan intelektual, dari UNPAD) yang pernah menjadi penari.

Kehadiran buku tersebut di lingkungan institusi pendidikan dan masyarakat menjadi penting, ketika kini, kita sedang berada di persimpangan zaman dengan perkembangan sains dan teknologi yang sangat cepat. Perkembangan yang membawa kita bergerak dalam proses transformasi lanjut dari era agraris, industri, dan informasi ke ara konseptual berbasis digital.

Sebagai guru besar seni pertunjukan, Endang tak hanya menempatkan acara bedah buku yang menghubungkan seni dengan ketahanan budaya tersebut sebagai gunemcatur para akademisi. Budi Dalton yang memimpin kegiatan akademik tersebut, menghadirkannya sebagai suatu peristiwa budaya dengan core seni pertunjukan yang sangat relevan.

Bukan kebetulan, saya mengetahui proses kreatif Endang dalam menulis buku yang sesungguhnya sudah kelar penghujung tahun 2021 dan disempurnakan di awal tahun 2022, ini. Sekali sekala, bahkan kami melakukan long distance discussion (longdis), tentang perubahan minda (mindset changes) yang terkait perubahan dramatik (transformasi) nilai. Khasnya dalam konteks dimensi budaya bangsa ini dengan realitas hidup yang terus bergerak ke masa depan. Termasuk tantangan abad 21 yang diisyaratkan James Martin - guru besar dan tokoh revolusioner pemikiran imagineering - futurisma di Oxford University.

Dalam konteks Indonesia, Endang yang juga alumni Lemhannas (Lembaga Pertahanan dan Keamanan Nasional) - 2012, mendudukkan dengan apik posisi seni terkait Panca Gatra (dari Asta Gatra) ketahanan nasional, yang terkorelasi langsung dengan ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan hankam. Sekaligus bersentuhan, bahkan beririsan dengan Tri Gatra (geografi, demografi, dan sumber daya alam). Baik terbabit dengan reorientasi geo politik - geo ekonomi dari Amerika - Eropa ke Asia - Pasifik, yang tak dapat dipisahkan dengan orientasi pembangunan global SDG's (sustainable development goals).

Buku dengan gaya penulisan prismatik - khas akademisi, ini menghadirkan berbagai pandangan dan ekspresi empirik menarik, mulai dari pandangan Setiawan Sabana yang merespon dialektika tentang peradaban kertas (antara pengakhiran dan pengabadian). Pula, ihwal perubahan sosiologis yang dengan pendekatan antropologis menghadapkan realitas kehidupan pertama dan kedua (bahkan mungkin ketiga) akan harus dialami, sebagaimana sering dikemukakan Arthur S. Nalan. Pun, ihwal kompleksitas persoalan terkait dengan intellectual right (dalam skala personal - individual, komunal - sosial, public - peoples) yang getun didalami oleh Miranda.

Endang mengambil perspektif menarik dalam proses penulisan buku ini, dengan konsep logika dimensional yang tidak linear, sehingga menghadapkan kita untuk berfikir tentang posisi seni dalam keseluruhan konteks arus utama budaya dan sosial (bermuara pada nation dignity dan peoples identity yang sering diselewengkan menjadi politik identitas).

Juga tentang posisi seni dalam keseluruhan konteks kebijakan tata kelola pemerintahan dan negara dari pendekatan aksesibilitas dan aksisibilitas. Khasnya, ketika penyelenggara negara dan pemerintahan masih berkutat dengan idiom ekonomi kreatif dan belum menyentuh pemahaman asasi ihwal ekonomi budaya dengan segala kompleksitas interaksi dan interkoneksinya. Terutama, karena proses transformasi yang bergerak cepat, bukan hanya mendorong kita masuk ke dalam garba baru internet on think dan artificial intelligent.

Jauh dari itu, juga menghadapkan para kreator seni mesti melakukan perubahan besar dari pola berfikir intuitive reason ke cultural way, dimana seni menjadi integrator penting kesadaran artistik, estetik, dan etik. Khasnya, ketika liberal arts yang hadir bersamaan dengan media baru (berbasis holographic dan hologramic) bersentuhan langsung dengan  singularitas dan transhumanitas, yang merupakan tantangan besar. Termasuk hubungannya dengan perubahan cara mengelola planet, merawat bumi, membalik kemiskinan, menyeimbangkan skill - kecerdasan dengan kearifan, merespon globalisasi (Roland Roebrtson) dengan glokalisasi (Philip Kotler), dan perancangan peradaban baru.

Melihat kontekstualitas dan koneksi seni dengan ketahanan budaya adalah keniscayaan dan mesti menjadi kesadaran aktual, kini. Terutama, ketika di dunia sedang berkembang dengan sangat massif pemikiran dan aksi tentang globalisasi yang dipahamkan mengikuti pemahaman George Soros (yang bertumpu pada aksi perniagaan dan industri keuangan) sebagai fenomena ekonomi dan keuangan. Meskipun mencakup bidang yang jauh lebih luas dari sekadar aliran barang, jasa, atau modal, dan goyah dihajar nanomonster pandemi global Covid 19.

Buku "Seni dan Ketahanan Budaya" yang merupakan produk awal pemikiran Endang tentang konstelasi seni dalam konteks globalisasi budaya yang mengacu pada interpenetrasi budaya. Pemikiran awal yang relevan, ketika sosialisme mondial yang membawa serta orientasi seni secara populis modes,  menghadapkan  negara - bangsa yang mengadopsi prinsip tradisi dan kepercayaan -- yang sering dipahami sebagai kearifan lokal semata, tanpa kecerdasan lokal, mesti mengembangkan eksistensinya, tanpa harus kehilangan budaya unik mereka, walaupun boleh menjadi budaya supra global yang khas.

Meski terkesan belum memasukkan pemikiran dan pandangan-pandangan khasnya tentang proses pembentukan dan pengembangan ekosistem seni yang bertalian dengan pandangan budaya tentang kesadaran ekologis, dalam "Seni dan Ketahanan Budaya" yang ditulis dan disuntingnya, Endang memberikan berbagai celah masuk bagi pemikiran dan pengalaman baru. Khasnya, pengalaman berkreasi seni selama jeda pandemi, seperti karya kolaboratif Munajat untuk Bumi (yang diinisasi Alfiyanto Wajiwa), Parisukma, Purbasari Purbararang, yang merupakan transisi dari Kelangan dan Astungkara ke karya-karya barunya mendatang.

Dalam karya-karyanya tersebut, Endang menjentikkan kesadaran (awarness) bagi siapa saja untuk secara antusias merawat, mengembangkan, dan menghidupkan terus simpati, empati, apresiasi, respek, dan cinta tanah air - negara - bangsa yang menjadi penampang makna kedalaman dari ketahanan budaya.

Dari pengalaman kreatif selama masa pandemi, boleh diharap, pemikirannya dan pumpunan pengalaman seniman para koleganya di hari kemarin dapat menjadi referensi untuk melihat seni (termasuk seni tradisi) sebagai energi kontemporer dalam melayari transhumanisma, tak terkecuali dalam membentuk karakter kebangsaan yang menjembatani aksi narrow nationalism menjadi global nationalism.

Buku bertajuk "Seni dan Ketahanan Budaya" ini boleh jadi akan menjadi trilogi menarik terkait dengan apa yang pernah dirancang Endang dengan penulisan buku "Seni Ekspresi Kehidupan Manusia," dan "Seni dan Kreativitas Tanpa Batas." Trilogi yang sesungguhnya memberikan referensi apik dan dalam tentang wawasan seni.

Penerbitan buku-buku tersebut, akan memperkaya basis wawasan mahasiswa dan akademisi seni budaya, ketika mereka bersentuhan dengan berbagai buku dan referensi seni global. Dalam konteks arah transformasi institusi pendidikan seni, seperti ISBI (Institut Seni Budaya Indonesia), ISI (Institut Seni Indonesia), Institut Kesenian dan sejenisnya, buku semacam ini menjadi relevan untuk mengembangkan pemahaman tentang crossculture, social intimacy, open mind visioneering.

Saya melihat, proses kreatif tanpa henti - termasuk menulis buku, yang dilakukan Endang, sebagai suatu kesadaran rasional memberikan kontribusi bagi proses pendidikan yang selain bertumpu pada aspek didaktis - pedagogis juga untuk membentuk karakter pribadi peserta didik yang berintegritas, mampu berkolaborasi dan bersinergi, mampu beradaptasi dengan perubahan cepat, bernas, dan inklusif. |

Editor : delanova | Sumber : foto berbagai sumber
 
Energi & Tambang
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 753
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 909
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 863
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya