Surat Terbuka Tan Sri JJ kepada PM Anwar Ibrahim

Seni Budaya di Mana Kau?

| dilihat 725

Tokoh Wartawan Negara yang juga penulis naskah dan mantan dramawan Malaysia, Tan Sri Johan Jaaffar, nampak gundah, ketika Perdana Menteri ke 10 Malaysia, Datuk Seri Anwar Ibrahim mengumumkan kabinetnya, dan tak ada satu pun kementerian yang mengurusi langsung seni dan budaya.

Lewat laman astroawani.com (Rabu, 7 Desember 2022), mantan chairman Media Prima Bhd dan salah seorang pendiri ISWAMI (Ikatan Setia Kawan Wartawan Malaysia Indonesia), itu menuliskan surat terbuka kepada Perdana Menteri.  Berikut surat tersebut:

"Yang Amat Berhormat Datuk Seri Anwar Ibrahim,

"Tidak ada Perdana Menteri negara ini yang saya yakin lebih memahami arti dan peran kebudayaan dan kesenian daripada YAB Datuk Seri sendiri. Saya juga percaya bahwa minat dan kecenderungan Datuk Seri terhadap kebudayaan, kesenian, dan sastra bukanlah kepura-puraan, tetapi jujur??dan tulus.

"Tradisi kebudayaan dan kesenian kita sedang mengalami krisis. Kita bukan kurang budayawan dan seniman. Kita kurang dukungan dari pemerintah dan perlindungan dari kalangan swasta. Para pemimpin politik kita pada umumnya buta budaya dan seni. Birokrat kita bukanlah manajer kebudayaan (cultural managers) sebagaimana mestinya. Sehingga seni budaya tidak cukup terbela.

"Setidaknya sastra dan sastrawan memiliki Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP). Tetapi seni dan budaya tidak beribu dan berbapak. Sebelum ini, setidaknya ada kementerian yang nama resminya mencantumkan "seni budaya" meski ditulis sekaligus dengan kata "pariwisata."

"Karena itu, wujudkanlah sejumlah perhatian yang diberikan kepada apa yang didefinisikan oleh para birokrat sebagai "kebudayaan dan kesenian." Malangnya, bagian yang melibatkan "seni dan budaya" dalam kementerian terpencilkan dengan biaya yang terlalu kecil. Prioritas kementerian tentu melakukan promosi besar-besaran untuk menarik wisatawan yang disebut mendatangkan RM50 miliar setahun.

" Saya pribadi telah memperingatkan berkali-kali bahwa tidak mungkin ada kesesuaian antara "pariwisata" dan "seni budaya." Ini tidak berarti bahwa pariwisata tidak ada hubungannya dengan budaya dan seni. Padahal, kita bisa belajar dari pulau Bali di Indonesia tentang bagaimana pulau itu “menjual” seni dan budaya sebagai daya tarik khas bagi wisatawan, selain menjanjikan keindahan alam sekitarnya.

" Tapi dalam kabinet Datuk Seri entah kenapa "seni dan budaya" itu hilang begitu saja. Yang tersisa hanyalah "pariwisata." Karenanya, para seniman dan budayawan bertanya, "seni dan budaya, di mana sebenarnya?" Apakah fungsinya didistribusikan ke kementerian lain, yang mungkin tak terlihat oleh para analis budaya dan penggiat seni?

" Mereka bahkan bertanya mengapa calitan (noktah) "seni budaya" yang ada di kementerian sebelumnya (bahkan sejauh statusnya sebagai penumpang) terus menghilang dari radar prioritas negara.

" Datuk Seri tentu lebih memahami makna membangun negara bangsa dan upaya membangun peradaban. Kita juga perlu mendukung tradisi seni dan budaya nenek moyang kita.

" Budayawan dan seniman amat paham makna prioritas untuk membangun negara, mengatasi masalah kemiskinan dan meningkatnya biaya hidup serta upaya menarik investasi asing saat ini.

" Tapi jangan abaikan budaya dan seni. Faktanya, selama ini terlalu banyak korban dalam kebudayaan dan kesenian karena alasan agama, politik, keuangan, atau apapun. Seiring waktu, ruang lingkup kesenian dan kebudayaan menyusut dan terkikis.

" Datuk Seri lebih menyadari adanya pemahaman sempit tentang kebudayaan dan kesenian yang telah 'membunuh' begitu banyak tradisi seni dan budaya anak bangsa. Tidak ada gunanya menangisi hilangnya seni pertunjukan makyong, wayang kulit, menorah, juga mulai menghilangnya kuda kepang, ketoprak, wayang wong, wayang geduk dan entah apa lagi.

" Seni dan budaya menjadi korban pertama ketika para politisi menjajakan agama untuk membuktikan keislamannya. Pernyataan seni menjadi bisu, membeku bahkan terkadang mati. Dialog cerdik tentang kesenian juga terkadang ditakuti para waima di menara gading. Seniman merasa dirinya terlalu kecil dan tidak dihargai.

" Kita tahu bahwa kesenian dan kebudayaan merupakan cerminan bangsa. Tradisi artistik adalah barometer kemajuan minda (nalar) bangsa mana pun. Bangsa yang meminggirkan tradisi seni dan budayanya akan terus terpenjara dalam kekerdilan akal dan stagnasi pemahaman. Inilah krisis yang terjadi di masyarakat kita saat ini.

" Dalam situasi politik yang tidak keruan, pun terpecah belah, nampaknya yang menjadi korban nampaknya pemajuan dan pengembangan seni budaya dan sastra.

" Semasa hidupnya, saya bertemu dengan novelis terkenal Indonesia, Pak Prameodya Ananta Toer. Saya minta pendapat jujurnya tentang perbedaan konstruksi identitas bangsa Indonesia dan bangsa Malaysia. Sambil bergurau, katanya, orang Indonesia lambat maju karena setia membawa beban budayanya, sedangkan orang Malaysia maju dengan akar budayanya.

" Hari ini saya percaya pada pandangan itu. Kami maju dengan simbol konstruksi batu, kemajuan ekonomi, dan kemewahan pribadi. Indonesia butuh waktu untuk bersaing dengan kita karena membawa jiwa dan nurani untuk maju.

" Tidak heran mereka menempatkan "pendidikan" dan "kebudayaan" sebagai nama sebuah kementerian. Sudah lama mereka memiliki "Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan" meskipun baru-baru ini ditambahkan menjadi "Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia." (Kemdikbud-Ristek).

" Mereka ingin mempertahankan “nalar publik” (public mindset) yang benar dalam konteks membangun bangsa yang berjiwa patriotik, memahami sejarah, bertutur bahasa yang sama, dan memahami seni budaya. Itu adalah tulang punggung patriotisme mereka. Oleh karena itu, inti dari pembangunan bangsa mereka patut kita cemburui.

" Keterlibatan langsung saya dalam seni dan budaya selama lebih dari 50 tahun telah mengajarkan saya bahwa cakrawala seni dan budaya semakin menyusut. Tidak hanya kecil dalam hal perhatian dan dukungan, tetapi juga kecil dalam otoritas dan wacana. Sangat disayangkan bahwa tidak ada dukungan dari pemerintah seperti yang diharapkan.

" Dan saya tahu kehidupan malang yang dijalani oleh banyak budayawan dan seniman. Juga kekecewaan mereka melihat kontribusi mereka dihargai oleh negara. Bahkan kita sudah lama menghentikan Anugerah Seni Nasional , satu-satunya penghargaan tertinggi bagi budayawan dan seniman kita.

" Teringat keinginan mendiang Kaktijah Awang untuk melakukan makyung secara besar-besaran dan otentik. Saya paham kekecewaan Dalang Dollah Baju Merah yang kehebatannya dalam seni wayang kulitnya hanya sebatas Kelantan. Saya merasakan rintihan mendiang Rahman B, sesepuh teater bangsawan yang ingin menggelar pertunjukan teater bangsawannya sebelum akhir hayatnya. Semua keinginan mereka tidak terpenuhi.

" Saya juga paham betapa sulitnya para penggiat seni budaya di kampung dan desa di seluruh tanah air saat ini untuk melanjutkan tradisi keseniannya.

" Dan saya lebih memahami persoalan teater, musik dan seniman lain yang harus menghadapi badai kelupaan dan ketidakpedulian para birokrat di samping minimnya dukungan dan pendanaan swasta untuk mendukung kegiatan mereka. Seniman sedang marah-marah dan frustrasi.

" Kita semua tahu kemampuan seniman kita, mulai dari mereka yang berada di jalanan (termasuk pengamen) dan kelompok teater. Mereka bisa! Tapi kami juga tahu bagaimana panggung seni utama kami tidak mungkin diisi. Panggung perhelatan di Taman Botani Perdana menjadi gajah putih yang terlantar. Istana Budaya hanyalah bangunan megah yang digunakan sekali atau beberapa kali dalam setahun.

" Tanyakan sudah berapa kali dan berapa banyak mereka menggunakan panggung utama yang kita miliki di Kuala Lumpur, dari Pusat Kebudayaan Tun Syed Nasir, Auditorium DBP dan Stor Teater DBP. Banyak juga panggung dan ruang yang disediakan Balai Kota Kuala Lumpur (Dewan Bandaraya Kuala Lumpur - DBKL), selain panggung percobaan di menara gading.

" Kapan Kuala Lumpur benar-benar menjadi kota seni dan budaya?

" Saya paham jawaban birokrasinya, ada seksi dan departemen yang memberikan dukungan, dana dan pendampingan kepada seniman. Namun para penggiat seni tahu bahwa bantuan tidak datang dengan mudah. Dana disembunyikan di antara begitu banyak departemen dan lembaga dan dana simpanan yang tidak hanya sulit dilacak, tetapi juka sikap para birokrat yang kurang membantu.

" Lebih buruk lagi terjadi tumpang tindih kewenangan antar kementerian yang terlibat, misalnya antara Kementerian Komunikasi dan Mutimedia (sekarang Kementerian Komunikasi Digital) dengan Kementerian Sains, Teknologi dan Inovasi (sekarang Kementerian Sains dan Teknologi) dan juga Kementerian Pelancongan, Seni dan Budaya (sekarang Kementerian Pelancongan). Ini adalah masalah warisan yang belum terselesaikan.

" Saya juga yakin Datuk Seri memahami pentingnya dan besarnya industri konten kreatif di dunia saat ini. Ini adalah industri multi-miliar ringgit. Ini melambungkan banyak negara ke tahap ekonomi baru seperti yang terjadi di Korea Selatan. Teknologi dan inovasi membentuk lanskap seni dan budaya saat ini. Dunia hiburan berubah dengan dinamika baru yang dimungkinkan oleh inovasi dalam industri konten kreatif.

" Semua itu terjadi karena strategi pemerintah yang tepat, ekosistem yang kondusif dan dukungan dana yang wajar. Ini membutuhkan perencanaan strategis jangka panjang oleh negara. Industri konten kreatif adalah industri masa depan yang harus kita utamakan.

" Terakhir, ingatlah bahasa jiwa bangsa. Seni budaya adalah akar dari identitas nasional. Jangan lupakan perlunya kita membangun citra bangsa demi persatuan dan pemahaman akan banyaknya kekayaan budaya di negeri ini. Keanekaragaman budaya merupakan kekuatan di negara majemuk seperti kita. Akal sehat dan kearifan suatu bangsa berawal dari tradisi seni dan budaya yang subur dan lengkap.

"Perdana Menteri Datuk Seri tentu lebih paham tentang itu." |

Editor : delanova | Sumber : sumber: astroawani
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 753
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 909
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 863
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 254
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 481
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 471
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 443
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya