Tarian Imaji Doktor Alfiyanto dalam Ciganitri Kiwari

| dilihat 1101

Catatan Sèm Haèsy

"Ciganitri Kiwari" Memantik Energi Baru Anak Kampung Ciganitri sebagai karya akademik Alfiyanto (selaku kreatornya) di hadapan khalayak (Ahad, 19.03.23) menggedor kesadaran lebih intens tentang seni partisipatori.

Penyajian di kampung Ciganitri yang melibatkan 60 lebih warga sebagai penari, penyaji, dan kru produksi, itu memang dalam konteks ujian terbuka promosi doktor penciptaan seni Pascasarjana ISI (Institut Seni Indonesia) Surakarta di Kampung Ciganitri - Kabupaten Bandung.

Alfiyanto sebagai promovendus mempertahankan disertasinya tentang literasi tubuh, pada puncak ritual akademik di lokasi penelitian dan penciptaan karya kreatifnya, setelah mengikuti ujian tertutup di kampus ISI Surakarta, beberapa waktu sebelumnya, memungkas seluruh proses studinya.

Pensyarah pada Jurusan Seni Tari - Fakultas Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung -- yang sampai dinyatakan lulus dengan pujian (cumlaude) dengan nilai 3,94 (A) - pada hari itu belum beroleh 'izin belajar' dari petinggi kampus ISBI  -- bak pepatah Minang, "Ombak ditantang manuju pulau, laia dikambang manantang angin." Harus mengalami tantangan dan rintangan untuk mencapai suatu tujuan dan cita-cita.

Seperti diungkapkan Prof. Dr. Sri Rochana Widyastutieningrum - promotornya dan Dr.Dr. Eko Supriyanto - co promotornya, saya memandang perangai Alfiyanto sebagai putera kelahiran Minang (Bukit Tinggi) yang belajar di Surakarta, dan mengabdi di Bandung, laksana "Pado pai suruik nan labiah, samuik tapijak indak mati, alu tataruang patah tigo." Tenang tanpa kehilangan integritas, bijak mengolah daya dan ketangkasan, serta pandai memelihara akal budi.

Semua itu tertampak pada saat karyanya dipresentasikan. Mulai dari keberadaan Laboratorium Seni dan Huma Wajiwa yang didirikannya di tengah perkampungan yang sedang mengalami perubahan dari habitus masyarakat rural ke masyarakat sub urban dan urban dengan segala konsekuensinya. Antara lain, akibat dari alih fungsi lahan dan inkonsistensi planologi - perencanaan ruang wilayah, meski kemudian, Kepala Desa Ciganitri menjelaskan, proses RDTR (Recana Detil Tata Ruang) kawasan itu sudah sampai di penghujung. Gambaran Ciganitri masa silam terbayang, ketika penguji Dr. Rachman Saleh mendeskripsikannya.

Tarian sebagai Interaksi Sosial

Ciganitri Kiwari sebagai suatu karya inspiratif yang mengekspresikan dimensi sosiopolitik tari (baca : Daya Tarian), tanpa mesti mempertentangkan batasannya sebagai anasir seni pertunjukan, bagi saya merupakan tarian imaji Alfiyanto yang menangkap multi dimensi tari. Sekaligus membebaskannya dari 'kerangkeng spasial' seni pertunjukan. Termasuk 'menyiangi' basis inspirasinya dari ilusi dan fantasi, sehingga bergerak mencapai imajinasi. Khasnya dalam mengelola realitas pertama kehidupan menjadi realitas kedua (yang bisa dialih-mediakan menjadi pertunjukan panggung, auvi, dan media baru), sekaligus menegaskan tari sebagai medium azalinya. Medium kolaborasi terbuka bagi interaksinya dengan seni teater, musik, sastra, seni rupa, arsitektur, dan bahkan tata ruang.

Meminjam pandangan Praise Zenenga (2011) dari University of Arizona, sebagai tarian imaji, Ciganitri Kiwari, berhasil menghadirkan aspek sosial dari tarian (melibatkan khalayak kampung Ciganitri menari dan berekspresi), mengacu pada fitur-fiturnya yang paling umum dan komprehensif. Alfiyanto berhasil menegaskan prinsip tarian sebagai bentuk interaksi sosial tertentu.

Ketika banyak maestro dan seniman tari secara artifisial memisahkannya dari konteks sosial yang sering dianggap semata-mata dalam fitur fisiknya sebagai sarana ekspresi artistik yang independen, komponen sosialnya tersirat dalam diri penari sebagai individu, Alfiyanto justru menghadirkan individu penari sebagai anggota komunitas sosial-budaya.

Penggal pertama presentari Ciganitri Kiwari, Alfiyanto berhasil menggunakan sesudut kampung sebagai panggung alami dengan warga kampung sebagai artisnya. Baik sebagai penari, pemusik, maupun aktor dan aktris. Melalui fragmentasi warga kampung  dengan segala kekhasannya. Dari perspektif ini, mengacu pada pandangan Giurchescu (1984) struktur tari dapat dipahami sebagai sebuah "program" yang ditentukan oleh budaya di mana faktor sosial, sejarah dan lingkungan saling terkait dengan ciri-ciri fisik, psikologis dan mental individu.

Fragmen awal presentasi karyanya ini, Alfiyanto berhasil membuka ruang yang mengusik pertanyaan dan persepsi khalayak (antara lain terwakili dalam pernyataan co promotor, Dr. Eko Supriyanto dan pertanyaan penguji Prof. Dr. Endang Caturwati terkait relasi ekonomi). Alfiyanto sesuai dengan perspektifnya berpijak pada literasi tubuh dan proses kreatif tari kontemporer sebagai media pendidikan, dengan titik berat pada aspek social paedagogy. Ia menghadirkan fragmen di awal presentasi karyanya (lalu pada babak berikutnya di lokasi Huma Wajiwa) sebagai suatu entitas psikosomatis. Ia memberi aksentuasi non verbal, bahwa penari adalah "jiwa dan raga" dari tarian, bahkan tarian itu sendiri.

Alfiyanto mengelola karya tarian imaji-nya dengan menghadirkan focal concern yang jelas: tari sebagai medium ekspresi imaji berbasis realitas sosial pertama; medium social paedagogy dengan melibatkan penduduk usia balita sampai orang dewasa; medium estetika perlawanan akademis; dan medium sosiopolitika 'khalayak diam.'

Investasi Sosial

Dari perspektif Zenenga, presentasi Ciganitri Kiwari pada babak kedua sampai usai -- yang menurut Endang menghadirkan perbedaan pendekatan atas skena dan struktur performa ketika disajikan di atas panggung -- Alfiyanto berusaha menyatukan tari yang menekankan keterkaitan dan ketidakterpisahan antara teater, tari, dan musik dalam pertunjukan. Ia, dengan gagasan literasi tubuh dan sosial, memberi tawaran autoetnografi sebagai cara kontradiktif tentang kekuatan dan kapasitas tubuh pertunjukan untuk mereproduksi dan mentransformasi dunia.

Alfiyanto berhasil menempatkan tubuh dan gerak berinteraksi dengan realitas sosial, termasuk menjejaskan performa khalayak sebagai kontinum kemungkinan kreatif yang kapasitasnya untuk melawan kecenderungan ambisi kaum bermodal yang selalu memanifestasikan dirinya secara terselubung maupun terang-terangan sebagai pengusaha - penguasa.

Eksplorasi dan eksploitasi estetika berbasis dramatika dan dramaturgi khalayak secara apa-adanya, dengan memasukan anasir-anasir tradisi dan sosio habitus, Alfiyanto menghadapkan focal concern gagasannya dengan berbagai daya dorong: sosio politik, sosio budaya, sosio ekonomi, sosio religi, yang terasa sekali lewat atmosfir pengajian khalayak sekitar lokasi menyambut bulan Ramadan.

Saya melihat tarian imaji Alfiyanto ini, pada bagian kedua sampai akhir menjadi simpul karya kolaboratif, seperti pernah dikemukakan Bojana Kunst, bahwa kolaborasi merupakan isu utama, tidak hanya dalam politik, tetapi juga dalam ekonomi dan budaya kontemporer. Kolaborasi menempatkan orang ke dalam masa kini (waktu); hanya melalui kolaborasi, di atas peta tempat yang terus berubah, orang dapat benar-benar terlihat di masa sekarang, di mana mereka terus-menerus menambah arus kontemporer uang, kapital, dan tanda-tanda (termasuk simbol sosial).

Kolaborasi menyediakan ruang interaksi, pertukaran, jaringan, kecepatan, mobilitas, semuanya telah menjadi atribut praktisi tari (koreografer, penari, akademisi tari). Alfiyanto melakukan social investment untuk mewujudkan implementasi imajinasi sosialnya ke dalam karya kreatif seni yang memberikan tawaran kesetaraan dan keadilan. Di sini, Ciganitri Kiwari saya lihat sebagai produk laboratoria seni yang terintegrasi dengan ekosistem sosialnya. Bahkan, seperti ungkap Endang, mempunyai peluang menjadikan Ciganitri sebagai kampung yang bisa dirancang sebagai destinasi wisata budaya dan perubahan lingkungan.

Ketika pada bagian akhir presentasi karyanya, Alfiyanto menghadirkan sosok bocah dengan ekspresi diam dan pandangan kosong memeluk 'papan kepasrahan' : "Tanah Ini Dijual Harga Nego..." -- sebagai ratapan diam yang dipungkas ekspresi lelaki tua merangkul gadis kecilnya -- yang 'merampas' seluruh ruang dimensi tradisi dan budaya (rajah, kidung, lisung, dolanan, silat, kasidah rebana biang, pesta panen, rawatib, dan lainnya), ia menyampaikan pesan lirih tentang kaum miskin desa berhadapan dengan kaum kapitalis neo liberalisma.   

Daya Tubuh

Seketika terbayang pandangan Marina Gržini tentang teori kepemilikan pribadi sebagai elemen konstitutif kapitalisme terkait dengan penegasan individu dan hak-haknya atas properti (dalam makna luas), yang menghadirkan konsekuensi logis tentang kapitalisme neoliberal, yang melumat individu sebagai pemilik hati nuraninya. Situasi ini juga dialami seniman dalam konteks gerak laju industri budaya.

Tak keliru ketika Alfiyanto berpandangan, bahwa perubahan kampung Ciganitri dari realitas sosial khalayak rural yang sedang bergerak ke sub urban dan khalayak urban secara sosiologis, kelak. Pesan kepasrahan khalayak rural yang mengemuka di penghujung Ciganitri Kiwari, mengusik kesadaran tentang pergeseran nilai sosial, ekonomi, dan budaya. Sekaligus meninggalkan pertanyaan tentang kemungkinan kolaborasi. Akankah kolaborasi dalam proses penciptaan karya kreatifnya ini mampu dikelola sebagai modal sosial kolektif khalayak dalam menghadapi realitas yang kompleks. Khasnya di era post trust yang menghadapkan khalayak pada ketidakpastian, kegamangan, keribetan dan kemenduaan.

Kolaborasi yang belakangan hari didengungkan sebagai cara menghimpun potensi untuk menjawab tantangan, menciptakan peluang, mengenali kelemahan, untuk merumuskan kekuatan yang diperlukan dalam mewujudkan keadilan sosial, adalah komitmen. Alfiyanto telah berhasil menghadirkannya dalam bahasa gerak yang menegaskan kedaulatan tubuh. Termasuk keikhlasan kolektif dalam berkubang pada 'kolam kehidupan yang butek.'

Alfiyanto seolah sedang menghadirkan dalam tari yang mengandalkan daya tubuh yang mendudukkan tari sebagai media komunikasi sosial. Ia seolah sedang mengalih-mediakan fungsi rumpaka Sunda. Akan tiba masa: kawung mabur carulukna (loose generation, generasi yang luruh), gula leungiteun ganduan (karya dan kinerja tidak dinilai berdasarkan parameter yang jelas), samak tingaleun pandanna (perubahan nilai manipulatif, artifisial), ciherang kintun kiruhna (yang jernih tinggal keruhnya), kyai leungiten aji pandita ilang komara (pemuka agama, petinggi negeri, dan intelektual hilang daya dan wibawa), kahuruan kunapsuna (terbakar sikap nafsu ambisiusnya). Sekaligus menyadarkan penyaksi karyanya tentang hakikat Sangkan Paraning Dumadi - awal dan akhir penciptaan dan semesta. Bergerak berputar dari segala arah ke berbagai penjuru untuk mencapai purwadaksi, kesadaran tentang jati diri, untuk akhirnya mencapai kebahagiaan hakiki yang terhindar dari bencana.

Semua itu saya pahami pada berbagai adegan alur keluar masuk para pelaku dan ketika sukacita menebar bulir-bulir gabah di seantero Huma Wajiwa, setting presentasi karyanya. Tanpa kecuali narasi lara perempuan beranjak dewasa menggumamkan lagu lirih nurani warga kampung Ciganitri yang kelak berangsur hilang. Pun adegan kembali ke beeranda huma, ketika seorang bapak merangkul dua gadis kecilnya. Dua gadis kecil lambang optimisme reproduktif, regeneratif.

Ciganitri Kiwari, akhirnya saya nikmati sebagai presentasi pedagogis untuk memahami tari dan tarian dalam  kategori luas ekspresi kreatif yang berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Penciptaan tari dilakukan dengan tubuh fisik sebagai pembawa materi, dan ekspresi fisik manusia adalah simbol linguistik yang abstrak, seperti yang mengemuka dalam pemikiran kolaboratif kreator tari Tiongkok Xinyu Dou, Hanjin Li, dan Lin Jia. Yang pasti, melihat interaksinya dengan lingkungan sosial di kampung Ciganitri, saya ingin mengatakan, Alfiyanto konsisten menerapkan prinsip nilai: "Padang gantiang baranah-ranah, kahilia jalan kapianggu, sasimpang jalan kasikabu, duduak samo randah tagak samo tinggi." Ekuitas, ekualitas, egaliterianisma, hanya dibedakan oleh perangai dan fungsi setiap orang. Cag! |

Editor : delanova | Sumber : berbagai sumber referensi pembanding
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 749
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 903
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 858
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 248
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 344
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya