Memenangkan Optimisme

| dilihat 1866

N. Syamsuddin Ch. HAESY

KERUMITAN terbesar manusia, terjadi pada saat mereka sedang dilanda krisis. Sebagian terbesar manusia menyikapi krisis dengan kepanikan dan ketidak-berdayaan. Sebagian kecil lainnya, bersikap tenang dan tak pernah henti berfikir keras, besikap lugas, dan bertindak tegas dalam menentukan jalan perubahan yang harus ditempuh.

Krisis ekonomi yang sering bermula dari krisis keuangan global, pada umumnya terjadi karena sedemikian kuatnya konspirasi ekonomi sejumlah pengusaha raksasa dengan penguasa. Sejak Amerika bangkrut pada tahun 1929, konspirasi pengusaha – penguasa, menemukan momentum untuk menguasai berbagai sumberdaya ekonomi. Mulai dari domestik Amerika Serikat, dan kemudian merambah ke seantero dunia. Termasuk melakukan kontrol ketat atas tata kelola keuangan dunia.

Bagi mereka yang pesimistik, dan terjebak di kubangan fantacy trap sistem ekonomi liberal yang sangat kapitalistik, krisis keuangan dunia, akan selalu ditafsir sebagai gelombang ombak samudera yang dihempas badai. Lalu, mereka melahirkan berbagai darkdream, dan akhirnya membayangkan krisis yang ditimbulkan oleh konsumerisme, itu menjelma menjadi gelombang tsunami. Akibatnya, mereka lupa, bahwa dalam situasi terburukpun pasti ada solusi.

Bukankah selain menciptakan palung yang dalam, Tuhan juga menciptakan gunung yang tinggi puncaknya?

Bukankah di setiap tantangan selalu tersedia peluang?

Karenanya, tidak ada alasan untuk pesimistis, apalagi apatis dalam menghadapi krisis keuangan yang sedang berlangsung saat ini.

Sejumlah bangsa, tak terkecuali di jiran kita, melihat realitas demikian. Kebijakan yang mereka tempuh, seperti mempermainkan harga BBM di tengah masyarakat, mengikuti fluktuasi harga minyak mentah dunia.

Solusi ini menjadi arus balik yang memperlambat gerak laju gelombang krisis yang dihempas oleh badai krisis keuangan di Amerika. Solusi yang mereka tempuh adalah memperketat kebijakan bank sentral The Fed yang berdampak buruk bagi perekonomi Indonesia. Terutama fluktuasi nilai rupiah atas US Dollar.

Mereka memilih jalan, itu untuk menurunkan subsidi sebagai jalan mengurangi beban ekonomi masyarakat. Kemudian mendorong tumbuhnya daya dukung bangkitnya sektor riil. 

Sejarah perkembangan peradaban manusia mengisyaratkan, hanya mereka yang berlindung di balik alang-alang dan akan selamat pada saat badai datang. Karena sesungguhnya, alang-alang sangat fleksibel, dibandingkan dengan pepohonan besar yang berdiri tegak di atas sawah. Usaha kecil dan menengah selalu punya cara adaptasi di tengah perubahan, katimbang usaha raksasa yang riskan terhadap badai.

Pada kalangan ini, optimisme menjadi pilihan hidup sehari-hari, yang dijalani denga cara paling enjoy. Maka, begitu banyak argumentasi bisa dirumuskan untuk berpihak kepada mereka. Bukankah dalam situasi krisis ekonomi – paling parah sekalipun – yang akan menyelamatkan kita hanya optimisme. 

Maka, menangkanlah optimisme itu dengan cara yang cerdas dan bijak. | 

 

Editor : Web Administrator
 
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 526
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1047
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 268
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 741
Momentum Cinta
Selanjutnya
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 738
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 897
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 847
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya