Tantangan Re-Industrialisasi

| dilihat 445

Bang Sém

Indonesia 2024 - 2014 perlu belajar keras dan bekerja cerdas untuk mewujudkan mimpinya sebagai negara berkemajuan dan mempunyai kedauloatan ekonomi, sebagaimana dicita-citakan para pendiri Republik Indonesia sejak 1905.

Meski penting, hilirisasi kurang membawa manfaat luas bagi rakyat, bila proses deindustrialisasi dibiarkan terus tergelincir, yang ditandai dengan kontribusi industri manufaktur dan industri substantif terhadap PDB (pendapatan domestik bruto) hanya 18,2 persen.

Apalagi produktivitas makin menurun, seperti dikemukakan Amalia Adininggar Widyasanti - Deputi Bidang Ekonomi Bappenas (Selasa, 8/8/23) pada Seminar Nasional Kajian Tengah Tahun Indef di Jakarta.

Belum lagi, sektor jasa tak menghasilkan barang, kecenderungan impor meningkat, dan perdagangan barang konsumsi dasar mengalami guncangan, seperti yang nampak dan terasa di pasar regional Tanah Abang dan lain-lain.

Kita belum harus bangga dengan pernyataan 'politik gula-gula' berbagai lembaga internasional yang menyebut Indonesia sudah masuk ke dalam jajaran negara berpendapatan menengah ke atas. Khasnya, ketika keadilan ekonomi belum sungguh terasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.

Pernyataan Amalia, bahwa "Pemerintah harus mampu meningkatkan pendapatan per kapita  dengan menyediakan lapangan kerja yang lebih berkualitas,"  sudah sejak lama disuarakan, bahkan dalam percakapan kedai kopi. Bukan solusi kongkret, kala pemerintah dan penyelenggara negara lainnya tak sungguh sadar, untuk bertegas-tegas merumuskan manifestasi politik ekonomi sebagaimana diamanatkan konstitusi.

Zelfbestuur

Para pendiri republik ini sudah bertegas-tegas menyatakan, dalam konteks ekonomi berbasis sumberdaya alam, negara tak boleh begitu saja mengkapitalisasi melalui penanaman modal asing.

Ketika menyampaikan pidato zelfbestuur (berpemerintahan sendiri) di Societat Concorde (kemudian dikenal sebagai Gedung Merdeka) Bandung - 17 Juni 1916, di hadapan ribuan rakyat yang menyemarakkan Kongres Nasional I (NATICO) Sarekat Islam, HOS Tjokroaminoto sudah mewanti-wanti soal ini.

Tegas HOS Tjokroaminoto menyatakan, "Semakin terasa bahwa Hindia tidak lagi pantas diatur oleh Belanda sebagaimana seorang tuan tanah mengatur lahannya. Tidaklah pantas menganggap Hindia sebagai sapi perah, yang hanya mendapatkan makanan demi susunya; tidak pantas menganggap negeri ini sebagai tempat di mana orang hanya pergi untuk mencari keuntungan, dan sekarang tidak pantas lagi, bahwa penduduknya, terutama."

Makna pernyataan HOS Tjokroaminoto tersebut memberi isyarat terang benderang, bahwa tak boleh terjadi, investasi asing menguatkan kuku penjajah di tanah air kita sendiri.  Investasi asing harus berdampak nyata dan kongkret bagi terwujudkan kesejahteraan berkeadilan atau kondisi adil makmur bagi rakyat.

Dalam bahasa lain dapat dikatakan, bahwa dengan pemerintahan sendiri yang berkedaulatan penuh, kendali industrial dan niaga, termasuk industri di perdesaan sebagai bagian dari hilirisasi mesti di atur oleh penyelenggara negara.

Investasi Asing

Ketika pidato Zelfbestuur itu disampaikan, kita baru memiliki ghirah dan gairah sebagai bangsa yang kudu merdeka. Komitmen kebangsaan, terintegrasikan pada Sumpah Pemuda (28.10.28), dan Proklamasi Kemerdekaan diluahkan pada 17 Agustus 1945. Lantas selama hampir delapan dasawarsa, kita belum sungguh mampu mewujudkan cita-cita tentang kekuatan, kemenangan, kekuasaan dan kedaulatan bangsa ini sesungguhnya.

Akibatnya, kita di tengah perkembangan era (agraris, industri, pra elektronik, elektronik, informasi, konseptual - digital), kita belum sepenuhnya mampu menunjukkan eksistensi sebagai pemilik republik.

Bangsa ini terperangkap oleh jebakan utang pemerintah Hindia Belanda yang dipergunakan untuk memusuhi dan memerangi rakyat sebagai utang republik. Kita terlambat dan memerlukan waktu dua dasawarsa untuk berpikir tentang industrialisasi, dan disibukkan oleh pertentangan ideologi dan retorika politik (nasakom: nasional - agama - komunis) yang memabukkan. Sambil merasa puas dengan hilirisasi atas nasionalisasi korporasi pemerintah Hindia Belanda dan asing dalam menguras kekayaan sumberdaya alam.

Satu dasawarsa kemudian, pemerintah memulai langkah transisi ekonomi, mengawali industrialisasi dengan spirit transfer of knowledge and technology dan menyelenggarakan pemerintahan berbasis teknokrasi.

Penanaman modal atau investasi asing - khasnya Jepang dan Amerika -- telah memperkenalkan dan mengaitkan kita dengan industrialisasi berbasis sumberdaya alam. Sekaligus memberi ruang bagi tumbuhnya konglomerasi (dan kemudian oligarki - bersamaan dengan berkembangnya politik filantropi George Soros yang mengusung kapitalisme global) dekade 80-90-an, berujung krisis moneter yang parah (1986-1989).

Bagaimanapun juga sepanjang dekade 1970-1990-an, proses industrialisasi yang ditandai dengan pengembangan industri manufaktur dan industri substantif (termasuk industri strategis : pesawat terbang, kapal laut) telah memacu semangat penguasaan sains dan teknologi. Kendati kemanfaatannya belum sungguh membuka luas kesempatan bisnis, melainkan baru sampai tahap memperluas kesempatan kerja.

Memiting Demokrasi

Pada dekade 2004 - 2014 industrialisasi menemukan kembali momentumnya yang berorientasi pada akselerasi pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, serta penguatan akses rakyat terhadap pendidikan, kesehatan, dan pemampuan usaha (selaras dengan parameter indeks pembangunan manusia). Memulihkan penurunan produktivitas industrial, disertai dengan pemampuan membayar utang luar negeri. Lantas terjadi deindustrialisasi dini sepanjang hampir satu dasawarsa terakhir.

Di tengah tsunami teknologi informasi yang membawa serta kegamangan, ketidakpastian, keribetan dan kemenduaan, serta berbagai gangguan nilai budaya dan peradaban (termasuk arus deras penghancuran nalar khalayak, penurunan daya dukung ekologi, guncangan ekosistem sosial - politik - budaya yang ditandai dengan pertentangan kaum, krisis kesehatan), mempercepat terjadinya deindustrialisasi dan penurunan teknokrasi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.

Kesemua itu menguatkan oligarki dan membuka ruang bagi konglomerasi membekuk dan memiting demokrasi melalui partai politik yang dibekap oleh kejahatan korporasi dan korupsi.

Kini, ketika kesadaran tentang re-industrialisasi mengemuka, tantangan pertama di depan mata adalah menggerakkan kebangkitan sektor manufaktur, dan menghidupkan arbitrase tenaga kerja. Tentu, dengan sendirinya, juga restrukturisasi yang mesti dikelola secara terintegrasi, kolaboratif, dan agresif. Hal ini diperlukan untuk meningkatkan kembali produktivitas pekerja dan rakyat secara signifikan di tengah stagnasi pertumbuhan upah riil.

Perkembangan era konseptual - digital yang sangat cepat sekaligus membuka ruang konsumerisma, migrasi currency ke mata uang digital, jejaring interaksi dan transaksi bisnis digital (via blockchain),  kompetisi tenaga kerja manusia dengan robot dan artificial intelligent, harus memperluas makna investasi. Tak lagi sekadar investasi ekonomi - bisnis, melainkan lebih dalam lagi, yakni investasi manusia (human investment).

"Re-industrialisasi" berbarengan waktu dengan perubahan geo politik dan geo ekonomi dari Amerika - Eropa ke Asia Pasifik, mesti dibaca dan dipahami dengan jernih. Termasuk jernih dalam menghitung dan menguasai rantai pasokan dan jangkauan pasar produk industri yang lebih cepat, efisien, dan efektif.

Penguatan Akses Rakyat

Dalam konteks ini, penguatan akses rakyat terhadap modal, jaminan sosial, dan informasi mesti membuat dan mengembangkan Indonesia sebagai destinasi investasi di berbagai sektor yang lebih menarik. Tentu tidak dengan kitsch trading data-style.  Perlu kebijakan asasi dengan policy design yang dirumuskan bersama dengan sentra-sentra keunggulan (lembaga pendidikan tinggi) berintegritas.

Kebijakan-kebijakan re-industrialisasi dengan tata kelola - governansi berbasis teknokrasi, disertai dengan budaya kreatif berbasis sains dan teknologi, serta orientasi visioneering, mesti membuka ruang bagi pemeranan generasi baru. Tentu dengan asumsi, bangsa ini sungguh serius mengelola dan mendulang bonus demografi dan mencegah terjadinya petaka demografi.

Selaras dengan dinamika zaman semacam inilah, re-industrialisasi mesti dilandasi oleh pemahaman baru tentang praktik demokrasi sebagai cara mencapai harmoni kebangsaan, keadilan, dan kemakmuran. Demokrasi berkeadaban.

Oleh sebab itulah, diperlukan pemimpin yang lebih fresh, berkeseimbangan dalam keterampilan dengan kearifan, paham paradigma perubahan zaman, sekaligus fokus dan jernih dalam memandang generasi baru dan budaya digital (visioner, berfikir kritis, nasionalis global - bukan narrow nasionalist, non secular ideologist,  egaliter, kosmopolit, berani berpikir - bersikap dan bertindak, serta kolaboratif).

Pandangan-pandangan yang dikemukakan Anies Rasyid Baswedan dalam berbagai kesempatan sejak beberapa bulan terakhir memantik kesadaran kita, bahwa re-industrialisasi mesti dilihat secara dimensional. Termasuk kaitannya konsepsi dasar pendidikan yang tidak mencetak sekadar manusia berkualitas homo faber. Melainkan manusia berkualitas insan mulia.

Perubahan (transformatif) yang terjadi di Tiongkok, Amerika Serikat, Timur Tengah, Jepang, Eropa dan Afrika perlu dipelajari dengan sesama untuk menemukan model khas Indonesia. |

 

Sumur, 1.10.23

Editor : Web Administrator
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 531
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1625
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1402
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 538
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1062
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 291
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 756
Momentum Cinta
Selanjutnya