MANUSIA harus membebaskan diri dari hanya menggunakan satu sudut pandang tertentu saja, dalam mencermati hubungan Tuhan, Manusia, dan Alam. Dan karenanya, aneka persepsi dan perspektif, boleh digunakan.
Dengan cara demikian, seluruh persepsi akan sampai pada satu titik pemahaman yang sama. Apalagi, ketika kita menyadari, bahwa setiap manusia merupakan subyek yang boleh menggunakan sudut pandang dan cara masing-masing dalam memandang setiap hal di atas mukabumi.
Meski demikian, apa yang tersusun di dalam rangkaian tulisan ini, memusatkan perhatian pada pencermatan atas kearifan dalam mengelola alam. Dalam konteks itulah, dilakukan berbagai pendekatan tentang sentra kepedulian (focal concern) manusia atas alam.
Selanjutnya, mencermati realitas, bahwa Tuhan memberikan kekuatan ‘pendorong’ kepada manusia dalam melakukan pengelolaan alam itu.
Dalam konteks itulah mengelola sumber daya alam secara arif merupakan keniscayaan. Tentu sesuai dengan tingkat perkembangan peradaban masyarakat itu sendiri.
Pada ketika tingkat peradaban masyarakat dan bangsa masih dalam tahap komunal, di mana puak dan suku menjadi sangat penting, manusia mengelola sumber daya alam untuk kepentingan kedigjayaan puak dan sukunya. Mereka mengelola sumberdaya alam sekadar hanya untuk memenuhi kebutuhan primer puak dan sukunya.
Ketika peradaban dan kebutuhan asasinya berkembang, manusia mengenal eksplorasi dan eksploitasi dengan cara yang tidak lagi sederhana. Dalam konteks itu, manusia menggunakan sains dan teknologi. Sumber daya alam yang pada mulanya hanya dikuasai oleh kekuasaan tradisional, kemudian dikuasai oleh negara, diselenggarakan oleh pemerintah, dan kemudian dilaksanakan perusahaan yang diberikan kewenangan oleh pemerintah.
KEARIFAN MENGELOLA ALAM BUKAN DENGAN CARA MEMUJANYA DENGAN MENINGGALKAN LOGIKA - PANTAI PELABUHAN RATU | FOTO BANG SEM
Dalam konteks inilah terjadi kompetisi berbasis modal, pengetahuan dan teknologi. Karena mengelola sumber daya alam, khususnya potensi pertambangan suatu bangsa, selain memerlukan modal yang sangat besar, pengetahuan yang luas, dan teknologi yang maju dan lebih efisien, juga memerlukan waktu. Karena tidak seluruh potensi sumber daya alam dapat diolah begitu saja dan dimanfaatkan secara langsung oleh manusia.
Tuhan sendiri perlu mengutus para nabi dan rasul-Nya untuk mengelola sumber daya alam yang diciptakan-Nya, dan ditebarkan-Nya di seluruh permukaan bumi. Tidak hanya sebatas bagaimana melakukan eksplorasi dan eksploitasi, melainkan bagaimana mengatur pemanfaatan sumberdaya alam itu melalui hukum yang berlaku dan mengikat semua manusia.
Sumber daya alam yang diciptakan Allah SWT, tak dapat ditakar kekayaannya oleh manusia, sebagaimana manusia tak bisa menakar kebaikan-Nya. Apalagi, Dia memastikan, semua yang Dia ciptakan tidaklah sia-sia, dan manusia wajib bersyukur apa yang telah diciptakan-Nya, sebagai nikmat itu. Karenanya, dengan tegas, Dia mengatakan, bahwa mengingkari realitas kekayaan dan kebaikan sumber daya alam yang diciptakan-Nya, akan mengakibatkan murka yang besar: azab yang pedih. Azab yang mewujud dalam kausalitas bencana alam dengan ulah manusia.
Secara eksplisit Allah menyatakan, bukti cinta-Nya kepada umat manusia, ia mengajarkan firman-Nya (al Qur’an), agar manusia mengenali dengan seksama hakekat eksistensi-Nya sebagai Maha Pencipta, sumber segala sumber kasih sayang dan cinta, yang amat berkuasa.
Allah menciptakan manusia, lalu mengajarkan manusia berbicara untuk mempu menjangkau kefasihan dalam menyampaikan realitas alam semesta, sains, dan teknologi. Dia memberikan keunggulan fikir, agar manusia menerima realitas tentang matahari dan bulan yang beredar menurut perhitungan yang pasti. Juga tentang aneka tanaman dan pepohonan, yang tunduk kepada hukum-Nya.
Dia memberi ruang fikir kepada manusia untuk memahami realitas dan hakikat langit yang ditinggikan-Nya, dan kemudian Dia menciptakan keseimbangan antara langit dan bumi. Juga antar seluruh komponen yang terdapat di langit dan di bumi, agar manusia tidak merusak keseimbangan itu. Karena tugas manusia, justru menegakkan keseimbangan dan harmonitas, itu.
Itulah sebabnya Allah menciptakan bumi untuk seluruh makhluk-Nya, terutama manusia yang satu dengan lainnya saling bersinergi saling memberi manfaat. Di dalam bumi, Allah hidupkan flora dan fauna, yang terus tumbuh silih berganti. Di dalamnya, Allah menciptakan aneka kekayaan untuk kehidupan dan penghidupan manusia, dari fosil, lapisan tanah, maupun bebatuan. Juga ikan dan terumbuh karang di lautan. Kesemuanya diciptakan, agar manusia mampu bertahan hidup.
Adalah sangat wajar, bila Allah mengajukan pertanyaan: Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
MATANO, SALAH SATU DANAU ALAM TERDALAM DI DUNIA MILIK KITA YANG MEEMANGGIL MANUSIA UNTUK ARIF MENGELOLANYA |
Nikmat yang diberikan Tuhan, juga mewujud dalam proses kejadian manusia, yang diciptakan-Nya dari tanah kering seolah tembikar. Padahal, Ia menciptakan jin dari nyala api tanpa asap. Kemudian Allah senantiasa menciptakan, menghidupkan, mematikan,, memelihara, dan memberi rezeki, sebagai pelajaran bagi manusia untuk mengelola sumber daya alam, yang kelak akan Ia minta pertanggung jawabannya.
Di hamparan bumi, Ia menciptakan dua hamparan samudera raya yang saling bertemu, yang keduanya tidak saling melampaui satu dengan lainnya, karena berporos pada dua kutub yang berjauhan satu dengan lainnya, dengan titik beku yang sama. Kemudian di atas samudera raya itu, ia menjamin jutaan kapal yang dikreasikan dan diproduksi oleh kecerdasan dan teknologi manusia, untuk berlayar membuktikan realitas luasnya hamparan bumi. Meskipun, semua yang Ia ciptakan di bumi, kelak akan binasa, karena yang kekal selamanya hanyalah Dia. Kesemuanya diciptakan-Nya, sebagai bukti kasih sayang-Nya kepada manusia.
Tak hanya itu. Allah juga memberikan kemampuan kepada manusia dan jin untuk menembus langit dan bumi berdasarkan kekuatan-Nya. Di antara keseluruhan ciptaan-Nya, Dia memberi ruang amat luas kepada manusia untuk melaksanakan kebajikan, dan seluruh kebajikan itu memperoleh imbalan yang tak pernah bisa diduga oleh manusia, yakni: surga.
Kerangka idealistika manusia tentang puncak-puncak kebaikan, keindahan, dan kesejahteraan yang tak bisa diukur secara empirik. Sebaliknya Dia akan memberikan imbalan keburukan berupa neraka kepada manusia yang mengingkari seluruh nikmat yang telah diberikannya. Black world, yang dapat dirasakan sebagai penderitaan di dunia dan di akhirat.
Beranjak dari semua itulah, manusia wajib dan harus menjawab pertanyaan asasi: Bagaimana merumuskan dan mewujudkan visi kolektif pengelolaan sumber daya alam. Merumuskan dan mewujudkan misi kehidupan sebagai pengelola sumber daya alam, sebagai stages untuk mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan di akhirat, bebas dari malapetaka. Karena pada dasarnya, manusia sejak awal proses penciptaannya, telah dipandang sebagai perusak.
Oleh karena itulah, dalam konteks hubungannya dengan sumber daya alam, pertanyaan asasi bagi manusia adalah: bagaimana menjadi khalifah (representative Allah) di atas muka bumi, yang mampu mengelola sumber daya alam dengan sebaik-baiknya. Karena itulah, manusia dalam menjalankan misinya sebagai pengelola sumber daya alam, wajib dan tak boleh berhenti mengembangkan sains, teknologi, dan manajemen pengelolaan sumber daya alam yang tidak merusak. |