Catatan Atas Buku Haiku

Menafsir Hening Tak Sampai di Kaki Alif

| dilihat 1210

Bang Sém

Menulis eksordium untuk buku Haiku karya Ustad Yuyun Wahyudin bertajuk Pohon Ma'rifat, bagi saya yang tak berpendidikan khas agama, bukanlah sesuatu yang mudah.

Meskipun, sejak kecil sampai beranjak dewasa, saya selalu berdiskusi dengan allahyarham ayah dan ibu, lawan diskusi ihwal filsafat dan adab Islam, yang menitiskan pemahaman kepada saya tentang esensi aksara dan kalam, saya tak cukup ilmu untuk menafsir makna di balik kata dalam buku puitik yang dalam ini.

Sepanjang hidup saya, dua kali saya mengalami 'pengalaman spiritual' yang berat ketika menulis eksordium dan prolog sebuah buku. Kali pertama adalah ketika menuliskan prolog untuk buku syair balaghah Kyai Haji Baidhawi. Kali kedua, saat menuliskan eksordium buku ini.

Setelah berulangkali membaca dan mendekati setiap pilihan kata dalam keseluruhan konteks haiku, baik struktur maupun dimensinya, saya merasa sedang menafsir hening yang tersembunyi di balik aksara dan kata.

Judul buku ini, saya fahami sebagai as sajarat al ma'rifah, memandu saya untuk mengulang renung tentang pemahaman asasi tentang eksistensi Allah dalam konteks teologi Ilahi.

Ustadz Yuyun sebagai haijin, mengambil jarak dengan mistisisme yang secara empiristik, bisa ditemukan dalam berbagai pembuktian filosofis.

Saya memahami haiku secara personal sebagai hening yang berjarak dengan mistisisme, sebagaimana terhimpun dalam karya Matsuo Baso. Terutama, karena esensi filosofi dalam pilihan kata Ustadz Yuyun selaku haijin, mengalir dalam pilihan kata yang empiristik - terasakan dan teruji dengan realitas pertama kehidupan sehari-hari.

As sajarat al Ma'rifat dalam format dan platform haiku yang dipilih Yuyun, saya bayangkan sebagai pohon yang jelas akarnya, jelas batangnya, jelas rantingnya, jelas daunnya. Termasuk ujung daun pada ranting tertinggi yang menjulang ke langit. Bagian dari pohon yang paling kerap menjadi sasaran angin dengan segala suasana.

Akarnya adalah gnosis yang terhunjam di dalam hati manusia, sebagai masterpiece hasil proses penciptaan Allah, al Khaliq yang sekaligus Rabb (Maha Pencipta yang memelihara ciptaan-Nya).

Eksistensi Allah bukan 'Ilah' yang saya pahami secara definitif sebagai tuhan atau 'sesuatu yang paling amat sangat digandrungi manusia.'

Karenanya, berbagai haiku dalam buku ini, mengingatkan saya pada salah satu puisi saya, bertajuk Ma'rifat:

Dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib

kueja tarbiyah,

Ikhlas hati menyaksi: Laa ilaaha illallaah

buahnya surga.

Langit bumi dan seisinya adalah hujjah

Dengan hati, lisan, dan tangan

aku berlindung kepada Mu: Laa ilaaha illallaah.

Hanya pada-Mu aku berserah diri.

Pokok ad Dien, ma’rifatullaah.

Dengan tashdiq aku ber-ma’rifat.

Dengan tauhid aku ber-tashdiq.

Dengan ikhlas aku ber-tauhid.

Dengan cahaya karamah

Tak henti bibir bergetar:

Allahumma shalli alaa Muhammad

Wa alii Muhammad Wa ashabiih

tumpuan rindu

Menebar cinta kepada-Nya

Mewujud tauhid, Mewujud cinta

Ooo.. kujejak ma’rifat

Memaknai rahmat

Merentang silaturahim tak henti-henti

Laksana bumi mengelilingi matahari

Laksana rembulan mengelilingi bumi

(Selangor, 1998)

Buku Haiku bertajuk Pohon Ma'rifat yang saya fahami sebagai as sajarat al ma'rifat, ini memandu penikmatnya, merayap di rimba aksara dan kata. Memaknai hakikat, di balik nestapa selalu ada sukacita, di balik kesulitan selalu ada inspirasi, sehingga menemukan hakikat permohonan dan doa dengan segala intimasinya untuk kembali ke fitrah hati.

Memahami esensi manusia sebagai budak di tengah realitas gnosis, yang terus bergerak mencapai pemahaman tentang Allah sebagai Yang Mahakuasa dan berkuasa serta dirinya sendiri sebagai yang diliputi oleh Kekuasaan-Nya. Allah Yang Supra-absoluut, sekaligus distinct dan unique.

Simaklah haiku (1) :

senja berawan

cakrawala terbentang

kun fayakun-Mu

Rasakan haiku ini dengan menarik pengalaman membaca penghujung Surah Yaasin (ayat ke 82):

innama amruhu iza aroda syai`an ay yaqila lahu kun fa yakun

Ayat yang menegaskan absoluditas Allah sebagai al Khaliq, Mahakreator - tiada sanding, tiada banding, sebagai puncak pencapaian syahadat, proklamasi diri insani, untuk hanya menggandrungi (tunduk, patuh, dan menyerah sebagai ekspresi cinta) kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala semata. Tidak kepada yang lain. Karena menggandrungi sesuatu melebihi kegandrungan kepada-Nya, adalah syirk. Tindakan berselingkuh yang tak terampuni.

Tak ada ruang selingkuh bagi manusia yang sungguh muslim, mukmin, muttaqin, muhsinin (selamat, beriman, bertaqwa, sesungguh insan). Karenanya, senantiasa mampu memanfaatkan dimensi waktu sangat terbatas (shubuh) yang memberi keselamatan. Sesuatu yang saya pahami, sebagai gambaran lain dari momentum husnul khatimah.

Hal itu tercermin dalam haiku (18) :

ayam bersahut

muadzin masjid memanggil

seruan subuh

Sebagai haijin yang karib dengan bahasa Arab, Ustadz Yuyun menggunakan kosa kata ad daaik, bersahut - dialektika fauna dan an nidaa' sebagai seruan ilahiah melalui muadzin masjid. Haiku ini menggambarkan atmosfir subuh yang menyelamatkan itu, namun sekaligus menjadi metafor bagi manusia untuk menyampaikan seruan ilahiah bagi semesta.

Agar kesesatan malam, tidak membutakan hati manusia, yang sedang dipengaruhi oleh ghibah (rumors), buhtan (hoax) dan fithan (fitnah). Atmosfir shubuh secara metaforik dapat dipahamkan sebagai fenomena sosial di zaman kini, ketika negeri sedang terlunta-lunta di tengah perubahan reformatif yang melelahkan.

Seperti dapat disimak dalam haiku (3) :

bulan terhalang

tersesat di jalanan

hati yang gelap

Secara personal sebagai insan yang lama bergelut dalam dunia literasi, jurnalisma, dan kebudayaan saya malu membaca korelasi haiku (3) dengan haiku (18), karena sekelebat melesat rumpaka: kyai leungiteun aji, pandita ilang komara, kahuruan kunapsuna (agamawan lenyap kearifannya, intelektual dan petinggi hilang wibawanya, terbakar oleh syahwat - kemaruk kuasa dan harta).

Prof. Endang Caturwati (ECW) - Guru Besar Seni Budaya - ISBI (Institut Seni Budaya Indonesia) - Bandung, yang juga membaca buku haiku ini, spontan mengingatkan saya untuk melihat korelasi rangkaian ketiga haiku, yang dikutip di atas dengan QS Ibrahim 1:

Alif Lam Ra. Kitaabun andzalnaahu ilaika litukhrijan naasa minadzdzulumaati ilaannuuri biidzni robbihim ilaa shiraathil 'aziizilhamiid

Saya menyebut ayat ini sebagai 'ayat budaya,' satu di antara beberapa ayat yang mengilhami proses kreatif lagu Kasih Tak Bertepi karya ECW. Ayat yang dibuka dengan Alif (absoludity), Laam (distinct), Raa (love), diberi aksentuasi nilai dengan: Petunjuk (guidence) yang diturunkan kepada manusia (termasuk inspirasi dan imajinasi), untuk memandu manusia keluar dari situasi gelap gulita (jahil, bebal, dungu, pandir, tambeng, koppig, bedegong) ke situasi kehidupan yang cerah (benderang oleh kecerdasan dan kearifan), menuju jalan yang dibentang Allah nan Maha Perkasa lagi Terpuji. Jalan artistik, estetik, dan etik.

Ini merupakan ayat yang terkait dengan QS Yaasin 82 tentang absoluditas Allah.

Dengan rasa malu itu saya membaca rangkaian haiku yang lain di buku ini, saya tersekat pada haiku (78) yang liris.

doa diunggah

gundah gulana tumpah

munajat malam

Haiku ini menjadi terasa sebagai 'hening menyimpan ramai,' ketika disandingkan dengan haiku (26):

di surau kecil

gema bunyi tonggeret

hamba bersujud

Terbayang di benak esensi pesan Imam al Ghazali tentang kualitas khusyuk, sebagai sunyi di tengah keramaian, dan ramai di tengah kesunyian.  Haiku ini memadu-padan ruang (surau kecil), atmosfir (gema bunyi tonggeret), dan hening (yasjudul 'abid). Menegaskan realitas insan sebagai hamba yang sahaja, tiada kuasa dan teramat kecil di hadapan Allah al Khaliq. Laksana haiku di hadapan haijin-nya.

Dari keseluruhan haiku terpumpun dalam buku ini, satu hal yang saya syukuri, saya menemukan realitas, keterbatasan insaniah sebagai makhluk di hadapan Allah al Khaliq. Dalam keterbatasan insaniah, proses kreatif melahirkan haiku, saya pahami sebagai ikhtiar menafsir hening,  sebagai momen memahami eksistensi absolut Allah yang tersimpan dalam "Alif," namun penafsiran itu, tak sampai di kaki alif itu sendiri.

Haiku Pohon Ma'rifat ini, sangat pantas dibaca untuk kita merenung lebih dalam hakikat diri kita sebagai manusia.

Betapa dalam situasi kehidupan duniawiah yang bingar, yang dibuat riuh dan gaduh oleh aneka kepentingan sesat sesaat, sungguh hening merupakan sesuatu yang teramat mahal.

Dalam situasi itu, untuk mengeja huruf atau aksara yang memandu kita mengenali Allah Subhanahu wa Ta'ala, untuk mengeja alif pun kita perlu melalui proses pergulatan batin yang luar biasa.

Ketidakberdayaan manusia itu, simak lebih  dalam, makna di balik haiku  (191) ini :

pagi berduka

pesawat hilang kontak

jatuh di laut

 

Bandung: 03/03/20

Editor : Web Administrator
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 529
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1623
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1401
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 247
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 342
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya