Jawa dalam Identitas dan Ruang

| dilihat 3441

AKARPADINEWS.COM | JAWA tidak hanya dinilai dari aspek demografis dan geografis saja. Jawa dapat dimaknai sebagai identitas, spiritualitas, filsafat, dan laku hidup. Jawa adalah etnis. Dan, Jawa seperti yang diungkapkan Afrizal Malna adalah sebuah teknologi imajinasi.

Penggalian makna tentang Jawa itu yang didiskusikan dalam bincang santai berjuluk, “Apa itu jawa?” pada Sabtu, 13 Februari 2016, di Kaldera Sunda, Bogor, Jawa Barat. Diskusi itu dihadiri seniman, mahasiswa dan akademisi. Mereka membicarakan Jawa dalam dialektika yang secara garis besar mengupas prihal orang Jawa dalam melihat dirinya, dan pandangan orang di luar Jawa dalam menilai Jawa.

Diskusi itu juga menjadi salah satu bagian pengembangan wacana menuju pameran tunggal Hanafi berjuluk, “Pintu Belakang|Derau Jawa” yang akan digelar di Galeri Nasional, Jakarta, 1-15 Maret 2016.

Diskusi yang diselenggarakan di Studio Hanafi itu menampilkan tiga pembicara, antara lain Prapto Yuwono, pengajar Sastra Jawa Universitas Indonesia (UI), Afrizal Malna, penyair dan penulis seni budaya dan Hanafi, pelukis asal Purworejo yang telah 25 tahun berkarya dalam dunia seni rupa. Jawa selalu menjadi kajian menarik. Hampir di setiap literatur ilmu budaya dan sastra, tidak luput mengupas tentang Jawa.

Prapto memaparkan Jawa dalam kajian internal, di mana masyarakat Jawa menilai dirinya sendiri dalam konteks filsafat, spiritualitas, dan laku hidup. Prapto menjelaskan, secara sederhana, Jawa adalah semua orang yang tinggal di Pulau Jawa dan dikelilingi gunung berapi. Mereka yang tinggal di lereng gunung, yang bergantung pada alam dan memiliki kepekaan secara intuitif untuk membaca kondisi alam mikro dan makro kosmos.

Dalam konteks dimensi nilai budaya, Prapto mengurai ada lima kategori orang Jawa. Pertama, hidupnya ditakdirkan oleh Tuhan sehingga pasrah dan sumarah (Urip sak trimo nglakoni). Kedua, setiap perbuatan ada akibatnya (Sinten ingkang nandur ngunduh. Ngunduh wohing pakarti).

Ketiga, hubungan antarmanusia dan alam, di mana harmoni dan selaras demi memelihara keselamatan dunia. Jawa juga menegnal demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) hingga hak asasi ruh sebagai perwujudan “Demokrasi alam semesta” yang melingkupi alam riil dan yang tak kasat mata.

Keempat, konsepsi Jawa dengan waktu. Dijabarkan dalam istilah Sangkan paraning dumadi (Dari mana asalnya, ia akan kembali) , purwa madya wasana dan urip mung mampir ngombe. Dan, kelima, masyarakat Jawa memiliki nilai yang mempererat hubungan manusia terhadap sesamanya seperti Mangan ora mangan kumpul (makan tidak makan, yang penting kumpul), wonten sak kedhik dipun dum kathah (dapat sedikit dibagi sedikit, dapat banyak dibagi banyak). “Melalui pemahaman tersebut, maka hidup sebagai Jawa harus kembali kepada kesuciannya,” jelas Prapto.  

Selain konsep dan nilai hidup, Prapto menghubungkan tata ruang rumah Jawa dalam konteks spiritualitas. Serambi menjadi ruang depan (formal). Wisma berada di belakang, sangat bersifat informal. Dalam hal ini, ruang sangat penting karena fungsinya menyangkut privasi, yang tidak boleh orang lain tahu. Karena, di ruang itu, ada istri sebagai konco wingking (yang menempati area belakang).

Prapto dalam pembahasan tata ruang, mencoba membaca pengembangan karya Hanafi dalam simbolisasi pintu belakang. Posisi ruang atau identitas belakang ini dianalogikan sebagai tokoh Semar yang kesaktiannya tidak terkalahkan (semar artinya maya) ada di tengah karena bukan laki-laki dan bukan perempuan.

“Ketika Semar marah karena suatu hal (diarahkan ke belakang). Makanya, Semar itu kesaktiannya di pantatnya (kentutnya), ini pintu belakang Jawa,” kata Prapto yang mengundang tawa peserta diskusi.

Afrizal Malna, mengamati Jawa dalam posisinya sebagai orang luar. Dia menjelaskan tentang Jawa dengan membocorkan pengalaman hidupnya ketika kecil. Afrizal mengenal Jawa dimulai dari pementasan wayang. Kala itu, dia tinggal di belakang gedung wayang orang Adiluhung, yang sekarang wayang orang Barata, bertempat di kawasan Senen, Jakarta.

Afrizal mengenang Jawa saat menyaksikan pertunjukan wayang, khususnya pada setiap ada adegan raksasa yang membuatnya ketakukan dan bersembunyi di kolong. Hingga suatu hari, ia melihat pakaian raksasa tersebut dijemur di parkiran.   “Semua bisa saya main-mainkan, saya sentuh giginya yang seram. Saya juga pernah membeli gatotkaca saat masa kanak-kanak,” kenangnya.

Saat ini, Afrizal melihat Jawa dalam pandangan yang berbeda. Dia menilainya dari sisi sejarah yang ditunggangi banyak kepentingan serupa dengan kolonialisme hingga pengaruh Islam yang begitu kuat sejak era Mataram Hindu berakhir. Fenomena tersebut bagi Afrizal dapat dijelaskan melalui pembacaan Denys Lombard dengan melihat konsep waktu Jawa.

“Sebuah konsep waktu, yang tidak punya kodeks, yang saya tidak bisa membacanya. Jawa berbicara dalam konteks keyakinan. Melahirkan satu dialog yang panjang. Ini menjadi semakin rumit setelah datangnya Wali Songo. Atau, Javanologi yang dilembagakan oleh Leyden, jatuhnya Mataram Hindu, dan munculnya Mataram Islam.”

Semua nilai itu kemudian ditarik ke internal Jawa. Seperti bawang, Jawa memiliki lapisan-lapisan dan menawarkan pertanyaan dan dialog yang terus-menerus. Misalnya, melihat teritori Jawa bila dilihat dari konsep bawang. Orang Jawa berdiaspora ke berbagai tepat hingga orang-orang Jawa di Suriname tetap memakai Bahasa Jawa, tetapi tidak mengerti Bahasa Indonesia. Fenomena tersebut menarik untuk melihat Jawa hingga ditarik ke peradaban masa kini.

Selanjutnya, Hanafi sebagai perupa kelahiran Purworejo menyikapi Jawa melalui penghayatan tubuhnya. Dia meminta para peserta untuk ke luar ruangan. Hanafi lalu melakukan performance art dengan mengukur lantai dengan tongkat bambu. “Semua harus terukur, harus dihayati dan mawas diri,” ujar Hanafi melakukan pertunjukannya.

Dia seolah ingin menunjukan jika diskusi tidak hanya seputar dialektika wacana dan kata-kata. Namun, mengaplikasikan dari penghayatan dirinya sebagai orang Jawa. Termasuk, pilihan konsep pamerannya dengan menggunakan simbol pintu belakang.  

Kenapa pintu belakang? "Pintu belakang adalah rahasia bagi rumah itu sendiri,” ungkapnya. Si pemilik rumah ketika menerima tamu, dari pintu depan. Semua yang diterima itu disajikan banyak hal yang ‘menipu’.

Membaca Jawa tidak hanya membaca manusia. Jawa adalah kebudayaan yang selalu bertransformasi di mana teritori, spiritualitas, hingga politik, terangkum dalam Jawa. Budaya Jawa terlihat terbuka, namun tertutup. Begitu menariknya Jawa. Dengan membaca dan menghayati Jawa, maka turut pula membaca Indonesia, bahkan dunia.  

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 242
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 412
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 260
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 231
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 330
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya