Literasi Belum Mentradisi

| dilihat 2175

AKARPADINEWS.COM | 25 April lalu, hari buku internasional diperingati. Momen ini dikenal World Book Day yang diinisiasi UNESCO sejak 23 April 1995. Tujuannya untuk membuka mata dan kesadaran warga dunia akan pentingnya membaca buku, sekaligus meningkatkan apresiasi dunia penerbitan buku.

Tiap tahunnya, UNESCO menunjuk satu kota sebagai World Book Capital untuk mewakilkan spirit literasi dari sebuah negara. Tahun ini, Incheon dipilih UNESCO untuk mengemban misi kebudayaan tersebut. Salah satu kota besar di Korea Selatan ini terpilih karena sektor industri buku, penerbitan, penjualan, dan perpustakaannya yang maju.

Namun, perayaan World Book Day kiranya dimaknai lebih mendalam. Buku adalah sebuah gerbang menuju kecerdasan. Buku mengemas hasil pemikiran yang kaya akan berbagai macam pengetahuan. Tentu, kekayaan intelektual yang tersimpan pada sebuah buku menjadi percuma jika buku tersebut tidak bisa dibaca. Karenanya, ketersediaan bacaan bermutu hingga budaya membaca menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Di Indonesia, minat baca masyarakat tergolong rendah. Pasalnya, ketersediaan buku masih minim. Badan Penelitian dan Pengembangan Perpustakaan Nasional mencatat, dari 64.000 desa yang ada di Indonesia, ternyata hanya ada 22% saja yang mempunyai perpustakaan. Sedangkan, jumlah unit perpustakaan di berbagai departemen dan perusahaan baru sekitar 31%.

Selain itu, hanya terdapat 2.585 perpustakaan yang tersebar di seluruh Indonesia. Angka ini tidak sebanding dengan jumlah populasi penduduk yang mencapai 240 juta jiwa. Jika dihitung secara rasional dengan penduduk Indonesia, idealnya satu perpustakaan umum harus sanggup melayani 85 ribu penduduk.

Jumlah perpustakaan sekolah juga belum merata. Data lain Badan Penelitian dan Pengembangan Perpustakaan Nasional menunjukan, dari 110 ribu sekolah yang ada di Indonesia, hanya 18% yang teridentifikasi mempunyai perpustakaan.

Dari 200 ribu unit Sekolah Dasar di Indonesia, hanya 20 ribu yang memiliki perpustakaan dan memenuhi standar kualitas. Demikian pula dengan SLTP, dari 70 ribu unit SLTP, hanya 36% yang memenuhi standar. Untuk SLTA, hanya 54% yang punya perpustakaan berkualitas standar.

Sementara itu, dari empat ribu perguruan tinggi di Indonesia, hanya 60% yang memenuhi standar minimum perpustakaan sebuah universitas. Sedangkan dari sekitar 1.000 instansi, diperkirakan baru 80-90% yang memiliki perpustakaan dengan standar kualitas layak.

Selain fakta literasi kita yang tidak bagus, kenyataan ini juga diperparah oleh rendahnya minat membaca mayarakat. Menurut data yang dihimpun UNESCO, indeks minat baca Indonesia baru mencapai 0,0001 persen. Jadi, dari 1000 orang di Indonesia, hanya ada satu orang saja yang gemar membaca.

Kenapa bisa terjadi demikian? Data survei Badan Pusat Statisitik (BPS) pada tahun 2012 menunjukan bahwa sumber informasi penduduk Indonesia berusia 10 tahun ke atas diperoleh dari televisi (91,68 %), dan hanya sekitar 17,66 % yang menyukai membaca surat kabar, buku, atau majalah.

Dari kenyataan di atas, kita bisa memahami kembali paradigma umum bahwa kegiatan membaca bukanlah kebutuhan primer bagi masyarakat Indonesia. Sudah tidak didukung literasi yang baik, sumber daya manusia juga tidak mempunyai kebiasaan membaca. Jika sudah begini, dampak perkembangan sebuah ilmu pengetahuan akan tersendat-sendat.

Jika memandang prospek ke depan akan nilai penting dari sebuah buku, kita bisa berharap pada upaya yang lebih serius untuk membentuk kembali budaya membaca pada anak. Semata-mata demi masa depan dalam merancang kualitas sumber daya manusia yang sadar akan membaca.

Stimulus Karya Sastra

Jika sekolah dengan perpustakaannya gagal mencetak siswa yang gemar membaca buku, lantas, apa yang perlu dilakukan untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik? Bagaimanapun, adalah hal paling sulit untuk mengubah kebiasaan seseorang. Tapi, tetap optimistik jika upaya itu bukan hal yang mustahil.

Upaya menanamkan kembali bacaan sastra di sekolah bisa menjadi langkah solutif. Dengan membaca sebuah karya sastra, murid akan mengimbangi bacaan formal yang terkesan monoton dan membosankan. Melalui karya sastra, mereka bisa menyerap pengetahuan menjadi lebih mudah sekaligus menyenangkan untuk dicerna. Karena, teks sastra berisi cerita atau dongeng yang mempunyai unsur hiburan, imajinasi, dan mengandung banyak muatan moral.

Buku ditulis oleh pemikir yang menyalin seluruh pengetahuan dan pemikiran mereka. Kemudian, kita menyerap pengetahuan dari mereka melalui tindakan membaca. Bisa juga dengan berkaca pada Amerika Serikat dan Inggris. Dua negara ini mengadopsi sistem pendidikan yang mengajarkan ketrampilan membaca dan berbahasa pada siswa.

Di negara mereka, siswa telah diperkenalkan secara dini dengan penulis yang mempunyai nama dan reputasi besar. Karya-karya seperti yang ditulis Lindgren, Dickens, Rawlings dan berbagai karya klasik lainnya telah diperkenalkan kepada siswa-siswa Sekolah Dasar melalui buku terjemahan untuk para pembaca pemula.

Bagi para siswa, membaca karya sastra dapat meningkatkan pengetahuan tentang struktur teks, mengamati segala amanat yang terkandung di dalamnya, melatih siswa untuk lebih bisa mengartikan majas dan metafora yang ada di dalamnya, hingga meningkatkan kualitas berbahasa dengan lebih baik.

Dalam pengertian di atas, kita perlu optimis melihat fakta mengenai rendahnya minat membaca buku pada masyarakat. Karena, jika membaca buku formal adalah kegiatan membosankan, maka membaca karya sastra bisa menyelematkan dan menumbuhkan kebiasaan membaca buku yang baru.

Karya sastra merupakan karya kreatif yang lahir dari rahim intelektual penulis. Penyair zaman Romawi kuno, Quintus Horatius Flaccus telah merumuskan dua sifat karya sastra yang dikenal dengan dule et utile. Dalam tulisannya yang berjudul Ars Poetica, ia mengemukakan bahwa sastra berfungsi ganda, yakni menghibur (dulce) sekaligus makna (utile).

Kata menghibur menurut Horatius dapat berarti menyenangkan, membuat pembaca melepaskan diri dari realitas keseharian menuju realitas fiktif yang seru dan menegangkan. Hiburan pada karya sastra dapat terjadi karena bahasa sastra merupakan bahasa kedua (secondary language system) yang indah karena isinya. Selain itu, manfaat (utile) karya sastra dapat berupa nasihat, nilai, makna, dan amanat yang baik secara sadar dan tidak diserap pembaca.

Hal inilah yang dapat menyadarkan kita bahwa karya sastra adalah bacaan yang bersifat konstruktif. Setidaknya, bacaan sastra akan membantu menyegarkan otak yang lelah karena berpikir persoalan-persoalan rumit. Bacaan sastra menjadi penghibur atau penyeimbang dalam kegiatan belajar dan dapat berpengaruh terhadap perilaku keseharian seseorang.

Karena karya sastra juga berfungsi sebagai medium komunikasi. Sebagai dampak komunikasi ini, pembaca mendapat tambahan informasi baru, tambahan wawasan, atau pemahaman yang lebih baik terhadap dunia. Pembaca juga akan mendapat sebuah kesadaran baru, petualangan spiritual, atau penghayatan terhadap nilai-nilai tertentu. Manfaat tersebut tergantung pada jenis karya bermutu yang dibaca.

Kiranya, World Book Day bisa kita pahami sebagai ajang untuk menanamkan kembali budaya membaca yang timbul tenggelam. Namun, rasanya tidak berlebihan jika istilah World Book Day kita transformasi menjadi World Read Day. Karena buku tidak bisa berdiri sendirian. Tranfer pengetahuan akan percuma jika tidak ada upaya untuk membaca. Buku adalah jendela ilmu, maka jendela itu harus kita buka dengan membaca.

Adhimas Faisal

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 944
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1171
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1435
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1583
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 527
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1048
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 270
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 742
Momentum Cinta
Selanjutnya