Bangau

| dilihat 2202

KARENA kelakuannya bermain-main dengan boneka ragajelma, Limbuk dan kawan-kawan membuat kegaduhan baru di desa Indrajaya. Cangik menasihati anaknya itu, agar tidak bermain-main dengan sesuatu yang akan berdampak pada kehidupan sosial sehari-hari.

Dinasihati ibunya, Limbuk hanya mesam-mesem saja. Cangik terkejut, ketika puterinya itu mengatakan, apa yang dia lakukan, sebenarnya untuk mengingatkan seluruh warga desa. “Para kawula harus tahu, banyak sekali kejadian yang disebabkan oleh permainan ragajelma yang lebih dahsyat,” ujarnya.

“Maksudmu?”

“Saya hanya menggunakan boneka sebagai media. Tidak tahukah ibu, di desa ini begitu banyak para pemuka kawula yang rela menjadi boneka-boneka dan menjadi media ragajelma kekuasaan besar dari negeri antah berantah,” serunya. “Mereka berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu karena dikendalikan kekuatan-kekuatan yang tak tampak kasad mata,” sambung Limbuk.

Gadis itu, nyerocos terus. “Ibu pura-pura tidak tahu, banyak sahabat-sahabat ibu yang rajin misuh-misuh, ngomel, dan menghasut rakyat, sebenarnya boneka-boneka ragajelma.”

Cangik terdiam. Serius dia memandangi Limbuk. “Ya wis, nduk.. Sekarang, pergilah kamu ke sawah.. Urus apa yang kita punya walaupun hanya sepetak. Syukuri apa yang kita punya, karena sudah terlalu banyak kawula yang tak mampu lagi bersyukur,” jelas Cangik.

“Berangkatlah ke sawah sekarang. Ingat, jangan membuat kegaduhan,” ujarnya.

Limbuk senyam-senyum, sambil memandangi ibunya. “Mbok.. Mbok.. aku koq disangka pembuat gaduh. Wong tuo sing rajin membuat gaduh desa kita,” cetusnya sambil berlalu.

CANGIK segera bergegas ke Kedai Gambuh, mencari Bilung. Mban Pedangan memberitahu, sudah beberapa hari Bilung tak datang ke kedai. “Sebegini hari dia masih kerja. Coba pergi ke pendopo Ki Lurah. Kalo gak ada di pendopo, cari ke Baledesa. Bisa juga dia sedang menemani Dang Arcaya yang baru saja pulang dari negeri Jayakreta.

Cangik segera berlalu, dia mencari Bilung ke tempat-tempat yang ditunjukan Mban Pedangan. Aha! Hatinya gembira tak alang kepalang, ketika menjumpai Bilung di pendapa Ki Lurah Badranaya. Melihat kedatangan Cangik, Bilung pun gembira.

“Pucuk dicinta ulam tiba,” pikirnya. Ia mempersilakan Cangik duduk di amben pendapa, lalu duduk dengan janda idaman hatinya, itu.

“Mas Bilung, tolong aku.. Tolong.”

“Apa yang bisa kubantu?”

“Nasihati Limbuk, supaya menghentikan kebiasaannya bermain ragajelma. Aku sudah menasihatinya, tapi dia tetap tak mau nurut.”

Bilung tersenyum. Cangik terus nyerocos. Bilung serius menyimak. Ia tersentak, ketika Cangik mengatakan, kini banyak sekali pemuka desa yang telah berubah menjadi boneka-boneka ragajelma. “Kata Limbuk, mereka dipermainkan oleh kekuatan dahsyat yang tak nampak kasad mata,” ujar Cangik.

“Ooo.. itu.. Baiklah. Nanti kupanggil dan kunasehati Limbuk. Sekarang, Dik Cangik boleh pulang ke rumah. Buatkan masakan yang lezat untuk Limbuk. Bila berlebih, tolong minta Limbuk mengirimkannya kepadaku,” ujar Bilung, mengamalkan mantra lelaki: “sambil menyelam minum air.”

Sejak Cangik meninggalkan pendapa, Bilung agak terganggu dengan informasi yang baru dia terima dari Cangik. Boleh jadi benar, banyak pemuka desa yang telah berubah menjadi boneka ragajelma.

Bilung ingat, sejak Hephaestus datang berkunjung ke desa untuk mengebor minyak dan gas bumi, juga menggali bukit-bukit berisi bijih besi, nikel, tembaga, dan emas. Pemodal asing yang biasa dipanggil Hepestus, itu memang mengangkangi pertambangan emas di pojok desa.

Boleh jadi benar cerita Limbuk, sebagian pemuka desa lainnya juga menjadi boneka ragajelma dari kekuasaan lain, yang amat berminat mengebor minyak dan gas bumi di seantero desa, termasuk ke lepas-lepas pantai dekat delta Indrajaya.  Terutama kekuasaan dari timur bangsa Ninawa dan Kildan.

Pertarungan kekuasaan modal yang dibawa Hepestus, serta orang-orang Ninawa dan Khildan, itulah agaknya yang membuat desa Indrajaya dari masa ke masa sering mudah terpancing gaduh. Apalagi, ketika para pemuka desa, demi kepentingan ‘kampung tengah’ mereka rela menjadi boneka ragajelma.

CANGIK mengunjungi Bilung lagi. Ia mengantar rantang berisi juada masakannya. Limbuk masih di sawah. Cangik, bersoal tentang kebenaran informasi Limbuk. Bilung mengangguk. Bilung malah menasehati Cangik, kudu berhati – hati dengan para pemuka yang sudah rela menjadikan dirinya boneka ragajelma.

Bilung mengamsalkan, mereka laksana burung bangau, yang hilir mudik ke tempat berair, mencari katak. Jika dapat langsung dimakan, sesuai perangainya. Pakaiannya putih, makanannya kotor.

Kicah-kicih anggung saba wirih, angupaya kodhok, lamun oleh pinangan ing enggen, wus mangkono watak kontul peksi, sandhange putih, panganane rusuh,” ujar Bilung.

Cangik menyimak takdzim. Ia memandang Bilung dengan hatinya yang mulai ditumbuhi kecambah asmara.|

Editor : sem haesy
 
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 526
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1046
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 267
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 740
Momentum Cinta
Selanjutnya
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 522
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1613
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1393
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya