Membaca Visi - Misi Jokowi JK

| dilihat 2334

PELAJARAN pertama merumuskan visi dalam ilmu imagineering adalah menuliskan visi itu sendiri. Visi berbeda dengan tujuan dan misi, karenanya visi lebih merupakan ‘as a’ suatu positioning pencapaian dalam suatu kurun waktu tertentu (dalam konteks Capres-Cawapres, lima tahun: 2-14 – 2019). Di dalamnya terdapat basic focal concern khalayak, dan mempertimbangkan fundamental driving forces.

Jadi, dalam konteks menuliskan visi, yang tepat adalah menggunakan kata ‘sebagai’ dan dikunci dengan time line.  Akan halnya menuliskan tujuan, menggunakan awalan ‘ter,’ dan menuliskan misi, menggunakan awalan ‘me’ yang menunjukkan kata kerja aktif.

Pasangan Capres-Cawapres menggunakan awal ‘ter,’ menjadi   “Terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong.”  Esensi dari apa yang dimaksudkan Jokowi-JK sebagai visi, ini pernah dirumuskan Bung Karno dan dikenal sebagai Triçakti.  Suatu rumusan tujuan jangka panjang perjuangan lintas batas dan waktu. Dalam konteks ‘time line’ yang hanya 5 (lima) tahun, saya kuatir, kita akan terjebak pada fantacy trap, alias jebakan fantasi. Indikator pencapaiannya dubieus, dan tidak menyentuh esensi persoalan rakyat yang utama saat ini.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam konteks Visi Indonesia 2045, merumuskan Indonesia sebagai Bangsa yang Mandiri, Berdaya-saing, dan Unggul dalam Peradaban. Rumusan visi 2045 ini berpijak pada lingkungan strategis dan realitas perkembangan peradaban yang bergerak sangat cepat ke era konseptual, setelah melewati era peradaban informasi.

Kembali ke Visi Jokowi – JK, yang saya bayangkan sebagai visi akselerasi pencapaian tujuan kemerdekaan Republik Indonesia (Pancasila), pada tahun 2014 – 2019, semestinya menempatkan posisi Indonesia di tengah percaturan global. Rakyat Malaysia, misalnya, merumuskan Visi 2020 : Malaysia sebagai Negara Industri Termaju dan Terdepan di Asia. Jelas, posisi apa yang hendak diwujudkan dengan visi itu.  Tidak dubieus, dan bukan pula fantasi.

Karena Visi-nya sedemikian membubung ke alam fantasi, 7 misi pemerintahan yang akan diemban Jokowi dan JK pun lebih banyak mengulang apa yang pernah dirumuskan di masa lampau. Yaitu:  Mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah, menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumber daya maritim, dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan; Mewujudkan masyarakat maju, berkeseimbangan dan demokratis berlandaskan negara hukum; Mewujudkan politik luar negeri bebas-aktif dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim; Mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju, dan sejahtera; Mewujudkan bangsa yang berdaya saing; Mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional; dan, Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan.

Bila menang, masa pemerintahan Jokowi – JK menghadapi pergerakan nilai-nilai global berbasis sains, teknologi, dan universalisme di satu sisi, dan ambivalensianisme nilai di dalam negeri yang sedang berproses melakukan konsolidasi demokrasi. Secara proporsional ketujuh visi itu menjadikan Indonesia sebagai negara maritim sebagai basis. Antara lain dengan mengubah paradigma dari orientasi pembangunan yang ‘membelakangi’ laut menjadi pembangunan yang ‘menghadap’ ke laut. Padahal, dalam keseluruhan konteks Indonesia, hal mendesak lima tahun ke depan, selain orientasi kemaritiman, juga orientasi kontinen (dengan segala sumberdayanya).

Dari ketujuh misi yang dikedepankan dan resmi disampaikan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), kesan saya, persoalan-persoalan asasi dalam konteks orientasi kontinen bukan menjadi prioritas utama. Umpamanya renegosiasi atas kontrak karya pertambangan yang dikuasai asing selama ini (seperti Freeport, Vale, Newmont, dan lain-lain). Padahal potensi sumberdaya kontinen ini, masih menyimpan deposit untuk masa lebih seratus tahun, katimbang potensi sumberdaya maritim (khasnya minyak bumi dengan deposit terbatas).

JK memang pernah bertegas-tegas terhadap potensi migas di wilayah laut Indonesia, tapi setegas apa Jokowi menghadapi Freeport, Vale, Newmont, dan penguasa tembang raksasa di Indonesia. Seberapa berani Jokowi bertindak untuk melaksanakan amanah divestasi saham sampai 51 persen di Freeport? Pertemuan Jokowi dengan Dubes AS, Dubes Inggris, Dubes Vatikan, dan lain-lain di kediaman pengusaha Jacob Sutoyo dan tidak masuknya penyelamatan sumberdaya kontinen ke dalam misi Jokowi, menjadi tanda tanya di benak saya.

Hal lain, dari aspek perikanan samudera potensi maritim Indonesia terbatas. Sebagian besar lautan Indonesia hanya ‘alur lintas’ ikan, sedang ikan laut dalam sangat terbatas sesuai penyebaran terumbu karang yang masih alami. Boleh jadi, Jokowi akan memusatkan perhatian pada transportasi dan perhubungan laut, karena Indonesia mempunyai 3 (tiga) alur laut kepulauan Indonesia. Pemusatan ini akan menyedot belanja negara yang luar biasa. Untuk mengimbanginya, Jokowi – JK harus menjadikan pelabuhan-pelabuhan utama Indonesia sebagai international strategic hub. Mengambil peran Singapura. Apa mau? |

Editor : Web Administrator
 
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 949
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1175
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1438
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1584
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 233
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 332
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya