Integritas Cendekiawan di Tengah Tren Profesor Cendawan

| dilihat 721

Catatan Bang Sèm

Suara yang mengekspresikan sikap dan integritas insan cendekia mengemuka di kampus Universitas Airlangga Surabaya (Rabu: 10/5/23).

Integritas cendekiawan itu terasa resonansinya, ketika Rektor Universitas Airlangga, Prof. Dr. Mohammad Nasih menyampaikan pidato saat memimpin upacara pengukuhan tiga dari enam guru besar (profesor) baru yang saya hadiri. Yakni: Prof. Dr. Noorlailie Soewarno SE., M.B.A., Ak., Prof. Dr. Wasiaturrahma SE., M.Si., dan Prof. Rossanto Dwi Handoyo SE., M.Si., PhD.

Secara terbuka, Prof. Nasih menjelaskan realitas global dan universal eksistensi, tugas, dan fungsi guru besar secara internasional. Sekaligus realitasnya di Indonesia sebagai jabatan akademik tertinggi dengan proses pencapaian yang tidak mudah.

Tak terkecuali beban tugas dan tanggung jawab seorang profesor di Indonesia yang tak hanya harus melaksanakan  tugas, kewajiban, dan fungsi substantifnya terkait pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Melainkan juga beban-beban administratif yang menyertai.

Prof. Nasih benar. Sependek pengamatan saya di lingkungan kampus terkemuka (di dalam dan luar negeri), 'punggung' profesor di Indonesia menanggung berbagai beban administratif. Beban administratif kadang 'meampas waktu'-nya tersendiri.

Apresiasi sosial budaya dari masyarakat memang relatif besar, namun apresiasi yang mampu menunjang intensitas kreatif dan inovasi di bidang keahlian dan keilmuannya, relatif belum memadai.

Tak kurang dari 15 (lima belas) guru besar yang sehari-hari berintreraksi dengan saya harus berfikir keras dan bekerja lebih cerdas untuk terus melakukan tugas penelitian dan pengabdiannya kepada masyarakat. Tak terkecuali dalam membangun relasi visi dan missionship dalam melakukan motivasi dan inovasi, apalagi invensi di bidang keilmuannya.

Eksistensi dan Fungsi Guru Besar

Pidato Prof. Nasih yang menghantarkan spirit dan mengalirkan kesadaran merawat dan mengembangkan keahlian dan keilmuan kepada para guru besar (khasnya yang baru) menjentik akal budi kita.

Khasnya, ketika ia mengingatkan konstelasi, peran dan fungsi para guru besar dalam menghadirkan perguruan tinggi yang komprehensip. Yakni, perguruan tinggi yang tidak hanya bagus dan execellence di bidang pembelajaran, tetapi juga bagus di bidang riset dan pengembangan ilmu pengetahuan serta inovasi.

Terutama dilihat korelasinya dengan besar amanah akademik dan keilmuan yang diembannya dalam konteks pengembangan komunitas pendidikan di berbagai lini. Khasnya dalam menciptakan kondisi paling kondusif dalam membentuk insan akademis kreatif, inovatif, amanah, dan bertanggung jawab secara sosial kemasyarakatan, kenegaraan, dan kebangsaan.

Apalagi, Prof. Nasih mengingatkan, bahwa jabatan guru besar kerap dianggap sebagai insan terdidik yang mampu menjadi sumber rujukan bagi kajian ilmu tertentu. Termasuk dalam konteks kewenangan-kewenangan khas yang melekat pada jabatan guru besar. Seperti melakukan riset, bimbingan dan pengujian terhadap calon-calon akademisi - ilmuwan. Tanpa kecuali menjadi fasilitator dan katalisator bagi hadirnya cendekiawan dan guru besar baru yang lebih fresh dan sesuai dengan perkembangan zaman.

Karenanya, relevan, ketika Akbar Faisal, cendekiawan - politisi yang juga komunikator publik memberi respon positif atas pandangan Prof. Nasih.

Doktor yang sedang giat menebar pemikiran baru melalui podcast itu, lugas mengingatkan agar perguruan tinggi tidak terseret pada 'jebakan fantasi akademik' politisi dan petinggi negeri yang menyuburkan 'profesor cendawan.' Para penyandang jabatan profesor tanpa kompetensi dan kapasitas keilmuan, dan tak pula menjalankan tri dharma perguruan tinggi (pengajaran, penelitian, pengabdian masyarakat sesuai bidang keilmuan).

Dua Mata Pisau

Saya memberi catatan khas pandangan Prof. Nasih  ihwal pengembangan teknologi di dunia yang sejalan dengan perkembangan dunia pendidikan. Tak hanya karena pendidik memiliki kontribusi besar dan linear dengan perkembangan dunia.

Jauh dari itu, relevan dengan realitas dan tantangan zaman tentang singularitas, transhumanisma, dan keberanian berbasis ilmu pengetahuan dan keahlian menaklukan berbagai tantangan. Termasuk dalam merancang peradaban baru.

Prof. Nasih memberi clue menarik, bahwa ilmu pengetahuan dapat menjadi dua mata pisau (positif dan negatif) yang kudu diperhatikan. Lantaran tidak jarang pengetahuan justru didesain hanya untuk memenuhi kepentingan pemilik modal. Karena, banyak fenomena yang dibicarakan dengan tendensi positif, padahal pada realitas kehidupan nyata, justru sebaliknya.

Teramat sering, ilmu pengetahuan malah kerap dijadikan sebagai alat manipulasi. Karenanya, sangat relevan kala Prof. Nasih mewanti-wanti agar ide dan gagasan guru besar dapat terealisasi, sehingga mampu memberikan kebermanfaatan nyata kepada masyarakat.

Prof. Nasih berharap, kontribusi guru besar baru dapat memberikan alternatif bagaimana agar tata dunia baru ini bisa lebih adil, proporsional, dan ini harus dilakukan dengan banyak penelitian.

Tapi, dalam pandangan saya, harapan tersebut juga harus ditopang oleh kebijakan penyelenggara negara, untuk mengembalikan eksistensi dan fungsi perguruan tinggi sebagai produsen utama modal insan - kreator, inovator, inventor utama kemajuan bangsa.

Filosofi Ilmuan Etruskan

Perguruan tinggi jangan dilihat sebagai produsen sumberdaya manusia semata (dengan segala kepintaran), melainkan menjadi kawah candradimuka bagi terciptanya modal insan yang mempunyai keseimbangan akal budi, kecedasan dan kearifan, sekaligus pemimpin pemberi solusi atas masalah bangsa. Bukan bagian dari masalah bangsa.

Merujuk pada pemikiran HOS Tjokroaminoto dan Ki Hajar Dewantara, perguruan tinggi dengan para profesor dan akademisinya mesti kembali ke garis azimut cita-cita kebangsaan mencedaskan bangsa. Menjadi ajang lahirnya 'future leader' yang sungguh mampu mencerdaskan bangsa.

Membentuk manusia berakal budi dengan intensitas dan kematangan spiritual, ketinggian ilmu pengetahuan, dan formula keahlian yang bersih. Manusia berkeadaban yang humanis, inklusif, demokratis, kosmopolit, menerima realitas kebangsaan yang majemuk, dan konsisten berjuang menegakkan keadilan.

Bangsa ini memerlukan para guru besar yang dalam mengemban amanahnya, sesuai dengan (minimal) nilai yang dianut UNAIR, yang disebut BEST (Best on Morality; Excellence, Strong Academic Culture, Target oriented -- by realized the process). Berbasis kejujuran, ikhtiar dan penyempurnaan tanpa henti, kesadaran mutu insaniah, akseleratif, dan kuat karena terpercaya. Khasnya di tengah zaman yang gamang, tanpa kepastian, ribet, dan mendua.

Saya bersyukur menyaksikan pengukuhan para guru besar baru dalam suasana penuh gairah dan ghirah integritas kaum cendekiawan, ketika arus tren false and artificial glory : profesor cendawan sedang mengalir di sungai kebangsaan.

Ketika Rektor memindahkan kuncir di toga para guru besar baru tersebut, seketika terbayang filosofi para ilmuwan Etruskan yang pertama kali menemukan dan mengenakan toga kepada para ilmuwan dan cendekiawan. Yakni, kesadaran transformatif mengamalkan kemuliaan ilmu dan pengetahuan pada kemanfaatannya di tengah hidup masyarakat, negara, bangsa sehari-hari. Mengubah dunia 'gelap' menjadi terang benderang dengan dian ilmu penebar cahaya peradaban. |

 

Informasi terkait : Ciptakan Inklusi Keuangan Digital Merata untuk Kebangkitan UMKM Nasional

Editor : delanova | Sumber : foto-foto dokumentasi UNAIR
 
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 249
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 344
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 538
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1062
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 291
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 756
Momentum Cinta
Selanjutnya