Komunitas Wong Kebumen

Ora Ngapak Ora Kepenak

| dilihat 3393

AKARPADINEWS.COM | PULUHAN orang berkumpul di kawasan Monas, Jakarta, Minggu (8/11) lalu. Mereka begitu akrab. Berinteraksi tanpa sekat layaknya keluarga besar.

Mereka berbincang-bincang, baik sekadar ingin tahu kabar satu sama lainnya, maupun membicarakan tentang rencana ke depan. Mereka juga tampil kompak. Berpakaian berwarna biru dengan tulisan "Komunitas Wong Kebumen".

Mereka adalah para perantau asal Kebumen, Jawa Tengah. Di Monas, mereka rupanya menggelar lapak arisan, kegiatan rutin yang biasa digelar. Mereka juga membicarakan rencana kegiatan komunitas. Dalam percakapan antar mereka, terdengar logat khasnya: Ngapak. 

Di tanah rantau, mereka tetap menggunakan bahasa leluhurnya. "Karenanya, ada slogan, ora Ngapak, ora kepenak (Tidak berbahasa Ngapak, tidak enak)," kata Amar Putra Djaja, Ketua Umum Komunitas Wong Kebumen.

Tinggal di kota-kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya, tidak membuat mereka malu berbahasa Ngapak yang dianggap sebagian kalangan, bahasa kampung yang bernada lucu.

Memang, saat berinteraksi dengan orang lain yang bukan dari kampungnya, mereka menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi, logat Ngapak masih terdengar. Kesan lucu tak bisa dihindarkan. Apalagi, bahasa Ngapak banyak dipopulerkan ke khalayak oleh beberapa pelawak di televisi seperti Parto Patrio, Cici Tegal, Cholik, Indro Warkop, Kartika Putri, dan sebagainya. Makanya, ada yang merasa malu berbahasa Ngapak karena khawatir disangka pelawak. Dan, ada juga yang menganggap bahasa Ngapak kuno, tidak keren.

Meski stigma yang terkesan merendahkan, mereka tetap bangga berbahasa Ngapak. "Saat jalan berdua atau bertiga ke mall, kita enjoy berbahasa Ngapak," ucap Amar. Dengan kebanggaan tersebut, dia menyakini, pengaruh modernisasi di Jakarta, tidak membuat orang Kebumen, Bayumas, Tegal, Cilacap, Brebes, Purbalingga, Banjarnegara, sebagian di Wonosobo, Pemalang, dan Pekalongan, yang berbahasa Ngapak, akan melupakan bahasa leluhurnya. "Bahasa Ngapak harus tetap kita lestarikan."

Memang logat Ngapak terkesan lucu. Apalagi, mereka yang berasal dari Tegal. "Walau dihaluskan, tetap kelihatan cengkoknya, tetap saja Ngapak," ucap pria yang berkerja sebagai pengelola gedung tersebut. "Enjoy saja berbahasa Ngapak. Kadang, kalau kita ngomong Ngapak, kita juga bertemu temen baru, apalagi yang dari kampung. Yang tadinya tidak kenal jadi kenal," katanya. 

Amar sadar jika bahasa Ngapak adalah identitas dan budaya yang harus dipertahankan. Dia tak ingin, generasi yang akan datang dari kampungnya, tidak bangga berbahasa Ngapak. Amar menyesalkan jika ada orang yang tadinya berbahasa Ngapak, setelah lama bekerja di Jakarta, lalu pulang kampung, enggan berbahasa Ngapak. "Kalau balik ke kampung, bahasanya elu gue. Kita harus meluruskannya. Kita punya identitas. Kita kembali ke Ngapak."

Bahasa Ngapak atau dikenal Bahasa Banyumasan merupakan bahasa ibu yang digunakan masyarakat Jawa Tengah bagian barat. Ngapak juga diyakini merupakan bahasa asli masyarakat Jawa yang disebut Jawadwipa. Sementara bahasa Jawa baku, awalnya digunakan sebagai alat komunikasi para priyayi yang mengabdi di Kraton, yang kemudian menyebar ke komunitas. Wajar jika ada yang menyebut Ngapak sebagai bahasa yang lebih merakyat.

Budiono Herusatoto dalam buku, Banyumas. Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak (2008) menjelaskan, Ngapak adalah bahasa Jawa asli. Karakter Ngapak diketahui dari pengucapan vokal a dan o konsonan b, d, k, g, h, y, k, l dan w, yang sangat mantap (luged), tegas, lugas, tidak mengambang (ampang) atau setengah-setengah seperti dalam bahasa Jawa baku, yang dipengarui zaman Pujangga Baru abad ke-18.

 

Kebersamaan dan Kepedulian Sosial

Menurut Amar, salah satu upaya untuk mempertahankan eksistensi bahasa Ngapak, khususnya di tanah rantau adalah dengan membentuk Komunitas Wong Kebumen. Komunitas itu dibentuk oleh Ken Setiawan, Awink Az Lah, Yadi Susanto, dan Martujan, pada 1 Agustus 2010 lalu. Keberadaannya menyebar di sejumlah daerah seperti Jakarta, Bandung, Serang, Bekasi, Tangerang, Karawang, dan sebagainya.

Menurut Amar, di seluruh Indonesia, ada sekitar 20 ribu orang yang bergabung dalam komunitasnya. Namun, karena bentuknya komunitas, tidak semua anggotanya aktif karena kesibukan masing-masing anggota. Di Jakarta saja, dia menjelaskan, hanya ada sekitar 600 orang yang aktif di komunitas. Meski demikian, ikatan sosial di antara mereka sangat kuat.

Mereka memanfaatkan jejaring sosial untuk berkomunikasi dan berbagi informasi. Mereka juga rutin menggelar kopi darat (Kopdar) yang dilaksanakan di setiap wilayah. Meski komunitas itu mengatasnamakan Kebumen, Amar menegaskan, warga lain, bukan dari Kebumen, dapat bergabung. "Kita mengembangkan silaturahim tanpa batas. Siapa saja boleh bergabung." ujarnya. Selain kongkow biasa, beragam kegiatan juga mereka gelar seperti kegiatan sosial, olahraga, hiburan, keagamaan, dan sebagainya.

Pada tahun 2012 lalu, tatkala banjir melanda Jakarta, anggota Komunitas Wong Kebumen turut membantu meringankan derita korban. Mereka turun ke kawasan banjir untuk membagikan bantuan kebutuhan pokok, indomie, beras, dan sebagainya. Kegiatan sosial itu atas inisiatif mereka. Dananya juga bersumber dari sumbangan sukarela anggotanya. Setiap tiga bulan sekali, komunitas pun menggelar kegiatan donor darah.

Mereka juga dengan suka rela mengumpulkan buku-buku bekas, lalu disalurkan ke Kebumen untuk mendukung kegiatan belajar anak-anak sekolah di kampungnya. Belum lama ini, Komunitas Wong Kebumen menyumbangkan 250 buku ke Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabumen untuk disalurkan ke desa-desa.

Menurut Amar, mereka berinsiatif mengumpulkan buku bekas karena di kampung ada seseorang yang ingin menyediakan taman bacaan untuk anak-anak. Tak hanya itu, Komunitas Wong Kebumen juga rela mengeluarkan uang untuk membeli buku, khusus untuk siswa difabel. "Kita beli, karena untuk siswa difabel, bukunya khusus yang dananya dari sumbangan teman-teman," kata Amar.

Di komunitas itu juga dibahas seputar Kebumen. Misalnya, tentang sejarah, budaya, objek wisata, dan sebagainya. "Kita sering sharing budaya, informasi seputar wisata Kebumen, kita angkat di komunitas. Kita ulas sejarah Kabumen. Kan setiap desa punya sejarah," kata Amar. Dengan begitu, anggota komunitas paham asal usul dan sejarah leluhurnya. Mereka juga menggelar kegiatan rutin pengajian secara bergilir, dari satu rumah ke rumah lain.

Masyarakat Kebumen di perantauan juga memiliki jiwa kebersamaan dan kekompakan yang kuat. Misalnya, saat ada salah satu warga Kebumen yang sakit, akan muncul insiatif untuk membantu. Begitu pula saat ada yang hajatan. "Yang saya alami, misal hajatan. Temen-temen kompak, membentuk panitia hajatan sampai 50 orang yang terlibat. Kebersamaan sangat kuat," ucap Singojoyo Hadi, warga asal Kebumen yang juga merantau di Jakarta. "Di kampung, budaya sambatan (kerja bakti) tanpa pamrih, suka rela membantu, masih kuat. Di Jakarta juga kita lakukan seperti itu," imbuhnya.

Komunitas itu juga rutin mengelar silaturahmi akbar yang dihadiri dari berbagai wilayah. Biasanya digelar saat masih dalam suasana Idul Fitri. Meski merantau di Jakarta, orang Kebumen ingat kampung halamannya. Mereka pulang kampung karena ingin merayakan Lebaran bersama sanak saudara. "Kalau mudik lebaran, orang Kebumen paling banyak," ucap Amar sambil tertawa ringan. Lebaran tahun depan, Singojoyo menambahkan, rencananya akan digelar Kopdar akbar di Gedung Haji, Kebumen.  

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 284
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 451
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 294
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Energi & Tambang