Pemaknaan Hari Ibu yang Ahistoris

| dilihat 1880

AKARPADINEWSI.COM | MEMAKNAI Hari Ibu Nasional yang diperingati setiap tanggal 22 Desember tidak hanya dengan beragam ungkapan kasih sayang anak kepada ibu. Namun, perlu pula diketahui jika peringatan hari ibu itu tidak terlepas dari penghormatan terhadap perjuangan perempuan dalam pergerakan politik untuk menuju masa depan bangsa yang lebih baik.

Ibu adalah pendidik utama. Mereka tidak hanya ditakdirkan untuk menjadi perantara lahirnya anaknya. Namun juga bertanggungjawab merawat, memelihara, dan mendidik anaknya agar sehat secara jasmani dan rohani, menjadi generasi baru mumpuni untuk bangsa. 

Dalam konteks yang lebih luas, ibu, para perempuan tangguh, terlibat dalam proses perjalanan bangsa ini. Salah satunya lewat penyelenggaraan Kongres Perempuan I pada tanggal 22 Desember tahun 1928. Presiden Soekarno, dalam acara peringatan Kongres Perempuan ke-25 tanggal 22 Desember 1953, menetapkan tanggal tersebut sebagai Hari Ibu Nasional karena menganggap pentingnya pelaksanaan kongres tersebut sebagai momentum kebangkitan pergerakan perempuan.

Terbentuknya organisasi perempuan Indonesia pertama tahun 1912 dan terselenggaranya Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober tahun 1928, menginspirasi para tokoh perempuan dari kelompok guru muda Jong Java yang telah membentuk cabang Poetri Indonesia di Yogyakarta, untuk membentuk Panitia Kongres Perempuan yang diketuai oleh RA Soekonto dengan Nyi Hajar Dewantara sebagai wakilnya, dan Soejatien, Ketua Poetri Indonesia Cabang Yogyakarta sebagai sekretaris.

Ketiga tokoh perempuan itu tidak asing dalam aktivitas pergerakan bangsa dan memiliki hubungan dengan tokoh pergerakan nasionalis Indonesia lainnya. RA Soekonto adalah kakak dari Ali Sastroamidjojo, Nyi Hajar Dewantara adalah isteri dari Ki Hajar Dewantara. Sedangkan Soejatien adalah murid Soekarno dan Ki Hajar Dewantara.

Kongres Perempuan pertama yang dilaksanakan 22 Desember 1928 itu dihadiri sebanyak 1000 orang dari tokoh-tokoh organisasi perempuan dan laki-laki. Tepatnya 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera.

Kongres ini diadakan di kota pendidikan Yogyakarta, di sebuah pendopo Dalem Jayadipuran, milik seorang bangsawan RT Joyodipoero. Saat ini, gedung bersejarah  yang terdapat di Jalan Brigjen Katamso itu digunakan sebagai kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional.   

Dalam buku Kongres Perempuan Indonesia, Tinjauan Ulang, Susan Blackburn (2007), dijelaskan, para tokoh perempuan tersebut menggaungkan pemikiran kritis dan kepeduliannya terhadap kaum perempuan. Ny RA Soedirman dari Organisasi Poetri Boedi Sedjati melontarkan pidato berjudul Pergerakan Kaoem Isteri, Perkawinan dan Pertjeraian. Ny Siti Moendjijah (Aisjijah Djokjakarta) menjelaskan tentang Deradjat Perempoean. Putri Indonesia pertama bernama Saudari Moegaroemah memaparkan pidato berjudul Perkawinan Anak-Anak

Pidato Kewadjiban dan Tjita-Tjita Poeteri Indonesia, oleh Saudari Sitti Soendari. Bagaimanakah Djalan Kaoem Perempoean Waktoe Ini dan Bagaimanakah Kelak, oleh Tien Sastrowirjo. Kewadjiban Perempoean di Dalam Roemah Tangga, oleh RA. Soekonto (Wanita Oetomo). Hal Keadaan Isteri di Europah, oleh Ny Ali Sastroamidjojo dan Keadaban Isteri oleh Nyi Hajar Dewantoro.

Kongres tersebut berlangsung lancar. Sejumlah tokoh organisasi pergerakan menghadiri kongres itu, di antaranya Boedi Oetomo, PNI, Pemuda Indonesia, PSI, Walfadjri, Jong Java, Jong Madoera, Mohammadijah, dan Jong Islamieten Bond. Lalu, sejumlah tokoh penting pun hadir di antaranya Mr Singgih dan Dr Soepomo dari Boedi Oetomo, Mr Soejoedi dari PNI, Dr Soekiman dari PSI), dan AD Haani (Walfadjri). Selain resepsi sebagai ruang para perempuan berbicara, ada pula tiga pertemuan terbuka berikutnya selama berlangsungnya kongres.

Pers pun mengabarkan berita yang simpatik terkait penyelenggaraan kongres tersebut. Misalnya, surat kabar local Jawa, di mana Sedijo Tomo tidak hanya menyatakan kekagumannya atas hasil kongres. Namun, dia mengingatkan agar gerakan perempuan yang meski terpengaruh Barat jangan sampai kehilangan ciri-ciri timurnya.

Rangkajo Chairoel Sjamsoe Datoek Toemenggoeng, seorang Minang pemimpin gerakan perempuan yang sedang naik daun kala itu, menulis laporan jika sekitar 600 perempuan hadir di kongres itu, mewakili generasi tua dan muda, berpendidikan dan tidak berpendidikan. Kongres itu terbuka untuk semua kaum perempuan Indonesia.

Sayang, penyelenggaraan kongres itu kurang menunjukan keterwakilan organisasi-organisasi gerakan di daerah-daerah. Catatan kongres menunjukkan, ada 30 organisasi yang mengirimkan utusan, tapi sebagian merupakan cabang dari organisasi yang sama. Sejumlah organisasi di Sumatera mengirimkan telegram berisi dukungannya. Mereka tidak bisa hadir karena masalah jarak dan keterbatasan transportasi.

Kongres Pertama ini memang didominasi organisasi dari Jawa dan acara dibuka dengan lagu penyambutan dalam bahasa Jawa yang diciptakan Soekaptinah. Namun demikian, selama kongres, hanya satu perwakilan organisasi yang berpidato menggunakan bahasa Jawa. Selebihnya berbahasa Melayu (sebutan untuk bahasa Indonesia jaman Hindia-Belanda). Mengenai bahasa Melayu ini sejak Mei 1928 sudah dijadikan materi dalam kursus yang diselenggarakan oleh Poetri Indonesia Cabang Yogyakarta. Organisasi itu awalnya sayap perempuan dari Pemoeda Indonesia, yang kemudian menjadi sayap perempuan PNI.

Sejak hari bersejarah itulah peran perempuan Indonesia mulai diperhitungkan dalam memperjuangkan hak-haknya, tidak hanya menjalankan kewajiban semata.

Pidato para tokoh perempuan tentang emansipasi dan perbaikan nasib perempuan di kongres tersebut lalu dituangkan ke Majalah Istri edisi khusus, yang mengawali perjuangan pergerakan emansipasi.

Dari kongres ini, mereka sepakat untuk membuat sebuah organisasi bernama Perikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia (PPPI). Pada tahun 1929, organisasi itu berubah nama menjadi Perikatan Perkoempoelan Istri Indonesia (PPII).

Selanjutnya, Kongres Perempuan Indonesia II yang dilaksanakan di Jakarta pada tahun 1935, berhasil membentuk Badan Kongres Perempuan Indonesia dan menetapkan fungsi perempuan Indonesia sebagai Ibu Bangsa. Pada tahun 1938, Kongres Perempuan Indonesia III dilaksanakan di Bandung, Jawa Barat, dan menyatakan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu.

Begitulah sejarah singkat tentang peran perempuan dalam pergerakan bangsa, yang patut dikenang generasi saat ini. Peringatan Hari Ibu Nasional setiap tanggal 22 Desember merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap perjuangan perempuan dalam menentukan arah perjalanan bangsa ini menjadi lebih baik.

Sayang, saat ini terdapat pergeseran dalam memaknai hari ibu dari cita-cita luhur pergerakan kaum perempuan. Sedikit yang tahu jika perempuan juga memiliki andil besar dalam memerdekakan bangsa ini dari penjajahan. Sedikit yang mengenal tokoh-tokoh perempuan dalam memperjuangkan emasipasi perempuan.

Memaknai hari ibu saat ini sekedar kasih sayang ibu dan anak. Seharusnya juga ditindaklanjuti dengan upaya memperjuangkan hak-hak perempuan yang hingga kini masih terbelengu persoalan domestik dan terpasung oleh dominasi patriakis. Namun, perempuan pun harus sadar akan kodratnya untuk melahirkan dan bertanggungjawab dalam mendidik anak-anaknya guna menjadi generasi berkualitas.

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia | Sumber : Berbagai sumber
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 752
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 908
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 862
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 271
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 437
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 282
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya