Radikalisme yang Merugikan Islam

| dilihat 5519

AKARPADINEWS.COM | PAHAM dan perilaku radikal di era modern saat ini, makin meresahkan kehidupan masyarakat dunia. Para pemuja kekerasan yang tumbuh sumbur itu dengan membabi buta melakukan pembunuhan dan menebar teror mengerikan. Selain membunuh orang-orang yang tidak berdosa, ulah jahat mereka juga merugikan umat Islam. 

Pasalnya, aksi-aksi kekerasan yang terjadi belakangan ini, selalu mengatasnamakan perjuangan Islam seperti dilakukan militan-militan Islamic State of Iraq and Al-Sham (ISIS) dan kelompok radikal Islam lainnya, termasuk kelompok ekstrimis Wahabi dan Syi’ah Takfiri. Padahal sejatinya, Islam adalah agama moderat yang bersifat rahmatan lil ‘aalamiin.

Mencermati fenomena tersebut, seorang Muslim tentu harus “berjihad” lewat pendekatan dialogis, dengan memberikan pemahaman bahwa Islam yang benar dan lurus itu sejalan dengan tuntunan Al Qur’an dan Al Hadits, bukan menurut kepentingan, hawa nafsu pribadi maupun golongan tertentu.

Dan, tak lupa untuk memberikan peringatan kepada masyarakat muslim lainnya, khususnya para pelajar atau generasi muda Muslim, agar dapat membentengi diri dari berbagai pengaruh doktrin yang meresahkan dari kelompok Islam radikal lewat provokasi dan memecah-belah Islam yang dalam setiap aksinya selalu membawa simbol keislaman. Meski pada hakikatnya, mereka sangat tidak Islami, bahkan keluar dari nilai-nilai luhur ajaran Islam yang dibawa Rasulullah SAW.

Islam dan ajaran-ajarannya yang tertuang di dalam kitab suci Al Qur’an dan Al Hadits, akhir-akhir ini sering disudutkan dan diidentikkan sebagai agama kekerasan atau agama teroris.

Seorang Muslim sejati, tentu harus menolak tudingan itu dan secara bijak menyikapinya. Sterotif itu pada dasarnya karena adanya sebagian orientalis (cendekiawan Barat yang mengkaji Islam), sejak awal kajiannya terhadap Islam, berniat untuk mendiskreditkan Islam melalui teks-teks ajaran Islam.

Mereka umumnya tertarik mengkaji teks-teks keislaman yang berkaitan dengan jihad, baik yang terdapat dalam ayat-ayat Al Qur’an maupun hadits-hadits Nabi Muhammad SAW. Teks-teks tersebut kemudian diolah sedemikian rupa dengan pemahaman dan penafsiran sesuai kepentingan mereka sendiri, sangat tidak objektif dan menyudutkan Islam. Motif mereka bisa jadi untuk meyakinkan masyarakat dunia bahwa Islam adalah agama yang melegitimasi kekerasan dan peperangan.

Kemudian, adanya pemahaman dan penafsiran dari sebagian kelompok umat Islam itu sendiri, terutama dari kelompok penganut Islam radikal yang sangat dangkal dan tekstual dalam memahami ajaran Islam, tanpa memahami konteks dan inti maksud tujuan syari’atnya (maqashid as-syari’ah) dari masing-masing ajaran Islam.

Dengan kata lain, kelompok umat Islam semacam ini umumnya memahami teks ajaran Islam hanya pada tataran makna permukaan (ma’na dzahir) yang disesuaikan dengan selera dan kepentingan mereka sendiri, namun gagal menggali kedalaman substansi dan spirit ajaran yang terkandung di dalamnya. Akibatnya, pemahaman keagamaan mereka tidak jauh berbeda dengan pemahaman yang dihasilkan sebagian orientalis.

Kelompok Islam demikian, pemahaman keagamaannya sangat kaku, sempit, dan tekstual, lalu mengklaim yang paling benar, bahkan mudah memberi stigma kepada kelompok Islam lainnya sebagai golongan yang sesat, musyrik hingga mengkafirkan muslim yang dianggap tidak sepaham dengan mereka.

Cara berpikir semacam ini sangat keliru dan berbahaya bagi kerukunan hidup umat Islam, terlebih lagi hubungan antar umat beragama dan hubungan masyarakat sebangsa dan setanah air yang penuh dengan kemajemukan. Sejatinya, yang berhak menyatakan seorang muslim telah kafir dan musyrik hanya Allah SWT sebagaimana tertuang dalam surat An-Najm ayat 32 yang berbunyi, “Jangan merasa diri lebih bersih atau suci dari pada orang lain.”

Firman Allah SWT itu menekankan agar dakwah umat Islam harus mengislamkan orang kafir, bukan justru mengkafirkan sesama muslim. Bukan sebaliknya, menebar doktrin atau ajaran yang eksklusif, ekstrim, fanatik, radikal, menolak rasio dalam beragama, apalagi menjurus kepada aksi terorisme. Bukankah fanatik itu adalah sikap mereka yang terlalu berlebih-lebihan dan mubadzir? Dan, orang yang gemar berlebih-lebihan dan mubadzir itu sangat dekat dengan setan.

Di antara doktrin yang paling sering dikemukakan oleh mereka hingga saat ini umumnya adalah konsep khilafah Islamiyah (terbentuknya Negara Islam yang murni) dan konsep jihad dengan pemaknaan yang sangat dangkal dan sempit, hanya sebatas perang fisik dan aksi-aksi kekerasan yang tidak mengenal kompromi.

Padahal, hakikat makna jihad yang benar seperti yang dinyatakan Rasulullah SAW adalah jihad memerangi hawa nafsu dan murka amarah yang bersemayam di dalam diri setiap individu manusia (jihad an-nafs). 

Berangkat dari penjelasan di atas, maka paham radikalisme dan fanatisme justru mereduksi kesucian, kemuliaan, lalu menggerus keharmonisan umat Islam, serta membangun image negatif masyarakat dunia terhadap Islam, yang memandang Islam sebagai agama kekerasan atau agama para teroris. Padahal, di dalam Al Qur’an Allah SWT sangat jelas menyatakan, “Tidaklah Aku mengutus engkau (wahai Muhammad) kecuali untuk menebarkan rahmat (kasih sayang) bagi seluruh semesta.” (QS. Al-Anbiya: 107).

Islam memiliki makna keselamatan dan kedamaian. Karenanya, Islam tidak membenarkan segala bentuk kekerasan dan terorisme, apalagi dengan mengatasnamakan agama demi kepentingan tertentu yang sesungguhnya lebih bernuansa politis, baik dalam lingkup domestik maupun global.

Islam mengajarkan pembentukan pandangan, sikap, dan perilaku umatnya agar lebih bermoral, mengedepankan etika, akhlak budi pekerti dan moderat, santun, toleran, serta kasih sayang terhadap sesama, baik sesama muslim maupun non-muslim, termasuk terhadap makhluk-makhluk Allah lainnya. Bukan justru dengan mengobarkan api kebencian, perselisihan, peperangan, dan permusuhan.

Itulah inti dari ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin, sekaligus perwujudan dari upaya menanamkan nilai-nilai ajaran Islam agar relevan sepanjang ruang dan waktu (shalih li kulli zaman wa makan).  

Karenanya, tugas dan tanggungjawab seorang muslim adalah membekali diri, keluarga, dan masyarakat, terutama anak-anak dan generasi muda, agar tidak mudah terjebak dalam arus kelompok radikalisme Islam, yang selalu membawa simbol keislaman, namun sangat jauh dari substansi dan nilai-nilai luhur ajaran Islam. 

Dalam konteks ini, perlu pengetahuan agama yang lurus dan benar, sekaligus bersikap selektif dan hati-hati dalam memilih guru atau lembaga pendidikan, termasuk memilih kelompok dan organisasi, yang tidak selaras dengan pemahaman Islam yang bersifat rahmatan lil ‘aalamiin.

Radikalisme maupun terorisme dalam ajaran Islam adalah dosa dan tindakan jahat yang tidak manusiawi. Rasulullah SAW bersabda, “Sejahat-jahat manusia dalam pandangan Allah SWT di hari kiamat nanti adalah orang yang dijauhi manusia karena kejahatannya.”

Ibnu Athaillah pernah menyampaikan pesan dalam syairnya, “Di antara tanda matinya hati adalah tidak bersedih atas ketaatan yang terlewatkan dan tidak menyesal atas dosa yang diperbuat.”

Semoga Allah SWT selalu menjaga dan melindungi umat Nabi Muhammad SAW, Amin Yaa Rabbal ‘Aalamiin.

Anwar Rizqi 

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 524
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1616
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1396
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 242
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 412
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 260
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya