BUDAYA POLITIK

Inferiomacy dan Selfiture Mementalkan Jatidiri

| dilihat 1784

SEM HAESY

SALAH satu hal buruk dari perilaku keseharian sebagian kita adalah mudah menyalahkan dan mudah berkelit. Mudah sekali menuding orang lain dan berkelit ketika dituding orang lain. Pada saat bersamaan, sejumlah petinggi kita mengidap sindroma kesepian dan gampang lupa.

Kontroversi yang mengemuka dan dipertontonkan oleh para petinggi negeri: Presiden Jokowi, Wakil Presiden, Ketua – Wakil Ketua DPR RI, Ketua MPR RI, Menko, dan Menteri adalah contoh kongkret tentang hal itu. Saya menyebutnya kasus – kasus yang menambah rakyat sebal dan geram, itu merupakan  ekspresi sindroma eksistensialisma diseas.

Penyebab utamanya adalah inferiomacy dan selfiture. Hal itu mengemuka sejak Presiden Jokowi hadir dalam acara Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Tiongkok yang meletupkan harapan semu, bubble hope. Kita katakan demikian, karena faktanya sejak bual-bual sukses diplomasi ekonomi di Tiongkok, itu perekonomian Indonesia spontan bongkok.

Pertumbuhan ekonomi kian melambat, nilai tukar rupiah kian membuat bangsa ini tak bermartabat dalam konteks currency houd. Kesemua itu, sejatinya membuat para petinggi mengalami psiko ambivalensia yang lumayan akut. Keterbelahan sikap yang menunjukkan inkonsistensi, kemudian merugikan tata kelola demokrasi yang menuntut terbangunnya prinsip check and balance dalam mengelola kekuasaan. Wujudnya adalah upaya membangun soliditas dan solidaritas semu.

Pola relasi dan komunikasi politik legislatif – eksekutif yang ditampakkan oleh sikap Ketua DPR – Presiden dan Ketua MPR – Presiden, jelas menunjukkan hal itu. Sangat berbeda dengan relasi Ketua DPD (Dewan Perwakilan Daerah) – Presiden yang lebih independen.

Inferiomacy atau sikap rendah diri dalam melakukan peran sebagai chief of diplomacy di forum internasional, multilateral tidak dapat disembunyikan oleh siapapun, termasuk Presiden dan para petinggi negeri lainnya. Mimik, gestur, pilihan kata, kalimat, aksentuasi, dan ekspresi dalam berkomunikasi menunjukkan keadaan dan kualitas seseorang.

Kesemua itu nampak secara visual, baik still maupun movie. Apalagi ketika para petinggi negeri ini, terkesan sedang mengidap selfiture, sikap memanjakan egosentrisma melalui kebiasaan eksibisi tentang diri sendiri, seolah-olah dia yang paling pas dan sesuai dengan kebiasaan kebanyakan rakyat. Tak terkecuali, kebiasaan masih sibuk merekayasa citra diri (image engineering).

BUKAN ALASAN PEMBENARAN YANG DIHARAPKAN, MIMIK DAN GESTUR ITU EKSPRESI KEDALAMAN BATIN YANG JELMA JADI INFERIOMACY | FOTO ISTIMEWA

Mengundang makan para sopir angkutan umum, pedagang kecil, dan kalangan masyarakat awam ke Istana untuk menunjukkan pesona persona diri sebagai sosok pemimpin yang sederhana dan merakyat, kelak akan menjadi boomerang.

Begitu juga kebiasaan mengundang Pemimpin Redaksi media, Aktivis kampus, Ulama – Agamawan dan lainnya (plus selfistry yang kemudian diwawar melalui media sosial) untuk urusan sekadar kepentingan sedemikian, bakal menimbulkan boomerang.

Terutama, karena yang diperlukan rakyat dan mitra pemerintah bukan hal-hal sedemikian. Melainkan aksi birokrasi dan governansi yang mewujud nyata, memberi nilai lebih dan dampak positif bagi bangsa secara keseluruhan di segala bidang. Faktanya tidak demikian.

Image engineering yang tidak diikuti dengan aksi governansi yang benar dan kongkret justru menimbulkan kekecewaan. Hal itu tampak, misalnya, pada dua proyek investasi yang menghasilkan kekecewaan Tiongkok dan Jepang. Antara lain pembatalan Pelabuhan Cilamaya dan Kereta Api Cepat Jakarta – Bandung. Kita juga kecewa melihat pelecehan Singapura atas Indonesia, ketika mereka protes saat pesawat tempur kita melintas wilayah udara Kepulauan Riau, sementara mereka sesuka hati berlatih di atas udara Indonesia.

Inferiomacy tak bisa disembunyikan. Terutama, karena tipisnya kepekaan para pemimpin negeri ini terhadap realitas politik internasional dan politik domestik negeri lain. Wujud paling kongkretnya adalah apa yang nampak di panggung konferensi pers (dalam konteks kampanye) Donald Trumph (DT) – salah satu kandidat Presiden dari Partai Republik – untuk Pemilihan Presiden Amerika Serikat. Keberadaan, sikap, dan pola relasi antara Ketua DPR RI - Setya Novanto dan rombongan dengan DT adalah wujud paling kongkret inferiomacy. Demikian pula ekspresi selfiture Wakil Ketua DPR RI – Fadli Zon dengan pemandu sorak DT.

Tragisnya, ketika dikritisi Shamsi Ali – imam masjid New York – dan seorang warga negara Indonesia dari New Jersey yang dilakukan bukanlah cara komunikasi yang mendudukkan masalah secara proporsional. Melainkan alasan aneh yang tak relevan. Misalnya investasi DT melalui kerjasama bisnis dengan Harry Tanusoedibjo (MNC Group) di Lido – Jawa Barat dan Bali. Kesemua itu, seolah-olah bisa menghalalkan sikap jumawa DT yang memang sudah lama mengidap sindroma eksistensialismus, sejak imperium bisnis judi dan entertainment-nya di Los Angeles dikagumi para penjudi dan pemabuk.

SETIAP PETINGGI NEGERI HENDAKNYA SADAR DIRI APAPUN YANG DIA LAKUKAN SAAT BERTUGAS MENYANGKUT HARKAT BANGSA DAN NEGARA | FOTO ISTIMEWA

Para petinggi DPR RI dan rombongannya yang sedang berdinas di New York – dalam rangka general assembly International Parliament Union, itu sekonyong-konyong jumpa DT untuk urusan yang bukan urusan negara. Hanya urusan bisnis HT dengan DT yang tak berdampak besar terhadap perbaikan nasib rakyat. Apalagi, saat Presiden Obama ogah merespon tawaran SUN (Surat Utang Negara), tak seperti Presiden Xi Jin Ping.

DT bukanlah sesuatu yang bisa bikin investasi Amerika Serikat meningkat di Indonesia. Dalam konteks politik, dia hanya salah satu calon kandidat Presiden Partai Republik, dan bukan kandidat yang kelak akan bertarung dengan calon Presiden dari Partai Demokrat. Pendek kata, apa yang dilakukan Ketua dan Wakil Ketua DPR RI dan anggota rombongannya, sadar atau tidak sadar, tahu atau tidak tahu, sudah melecehkan martabat bangsa ini. Sama dengan sikap Presiden dan pemerintahannya, termasuk petinggi Bank Indonesia yang tanpa beban membiarkan martabat bangsa ini (di sektor mata uang) kian merosot.

Apa sungguh yang harus dilakukan para petinggi negeri ini, kini? Tidak sulit, bila mau melakukannya, yakni berjalan di atas kelayakan dan kepatutan yang normal seorang pejabat negara. Baik dalam menjalankan seluruh dimensi hukum dan aturan perundang-undang yang memagari otoritasnya, maupun mematuhi standar kepatutan secara etika.

Tentu, untuk melaksanakan hal tersebut, diperlukan keberanian para petinggi politik, khasnya para pemimpin partai menempatkan dirinya sebagai negarawan. Kemudian bersama-sama berkomitmen dan membuktikan kepada rakyat, mereka bukanlah orang-orang yang selalu merendahkan diri dan bangsanya dalam berdiplomasi. Selain itu, mereka juga bukan orang yang gemar mempertontonkan (eksibisionis) kenaifan dan ekspresi ‘underpressed di masa kanak-kanak’ kepada rakyat, dengan perilaku selfiture-nya.

Secara kelembagaan, barangkali perlu pembenahan yang lebih menyeluruh, termasuk dalam ‘ kocok ulang’ pimpinan DPR dan MPR dengan pendekatan yang lebih proporsional, proporsional, dan fungsional. Bagi rakyat, yang utama adalah mereka yang memimpin DPR dan MPR sungguh wakil rakyat, bukan mereka yang menempatkan diri sebagai wali rakyat. Bila tidak, inferiomacy dan selfiture akan mementalkan jati diri bangsa. Lantas, membuat martabat bangsa ini kian terpuruk dan terseok-seok sampai bongkok… | (Panelokan – Bangli, Bali)

Editor : sem haesy | Sumber : BERBAGAI SUMBER
 
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 252
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 424
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 270
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 951
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1175
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1440
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1586
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya