14 Tahun Partai Demokrat

Jangan Lelah Menggerakkan Transformasi

| dilihat 1719

Bang Sem

POLITIK adalah siyasah untuk kemaslahatan, karena kekuasaan adalah alat untuk mewujudkan masyarakat negara dan bangsa yang berdaulat, berdaya saing, dan berperadaban unggul.

Kekuasaan yang berpijak pada nilai dasar religiusitas, kemanusiaan, persatuan (pluralisme dan multikulturalisme), demokrasi untuk mencapai harmoni kebangsaan, untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat adalah tujuan pencapaian politik semacam itu. Jadi, tujuannya bukan kekuasaan. Karenanya, politik praktis harus bertolak dari gagasan-gagasan segar, pintar, dan benar.

Pemikiran ini berkembang 14 tahun lalu, ketika Partai Demokrat (PD) digagas dan akhirnya dideklarasikan pada 9 September 2001. Bahkan, ketika berlangsung perumusan akta notaris pendirian partai ini di sebuah kantor di Jalan Haryono MT – dan disaksikan sejumlah orang dari 99 pendiri, diskusi yang berkembang adalah hal itu.

Gagasan dasar pendirian PD segera menarik perhatian, karena berpijak pada kesadaran menggerakkan praktik politik dengan pola fikir, sikap, dan tindakan berbasis akhlak – etika, nalar dan bukan akal-akalan, kecerdasan dan kearifan untuk melihat konteksnya secara keseluruhan. Hal tersebut sejalan dengan gagasan pendirian Republik Indonesia, sejak berkembangnya pemikiran dasar tentang nasionalisme yang dikembangkan dan diajarkan oleh HOS Tjokroaminoto kepada sejumlah anak muda, seperti Bung Karno – yang kemudian memungkas perumusan Pancasila dan bersama Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.

Beranjak dari sudut pandang ini dan pengalaman perjuangan panjang di masa-masa sebelumnya, partai politik di Indonesia bangkit dan berdiri. Kemudian mempraktikan demokrasi sejak proses Pemilihan Umum 1955 untuk memilih anggota konstituante.

Sejak masa itu, proses demokrasi di Indonesia tak pernah henti mencari dan (berusaha) menemukan formatnya yang paling pas. Mulai dari demokrasi liberal yang di awal kemerdekaan, kemudian demokrasi terpimpin sebagai koreksi demokrasi liberal, demokrasi Pancasila untuk mengoreksi demokrasi terpimpin yang cenderung menempatkan politik sebagai panglima. Kemudian, demokrasi berbasis masyarakat warga (civil society) yang mengemuka, ketika bergulir Reformasi 1998.

PRESIDEN JOKOWI SAAT PEMBUKAAN KONGRES IV PARTAI DEMOKRAT DI SURABAYA | FOTO: ISTIMEWA

Sejak berlangsung Amandemen Undang Undang Dasar 1945 selama empat kali, muncul kembali berbagai pemikiran untuk melakukan amandemen kelima, karena kenyataannya praktik politik cenderung mengubah reformasi menjadi deformasi.

Ketika seluruh tatanan dasar penyelenggaraan negara menjadi rumit, lantaran kesalahan memahami prinsip civil society itu sendiri. Termasuk perubahan format kekuasaan yang menyebabkan terjadinya ‘perang tanding’ peran penyelenggara negara. Khasnya lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Menarik dicatat, PD sebagai partai kecil kala itu, bersama Partai Bulan Bintang (PBB) pimpinan Yusril Ihza Mahendra dan Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) pimpinan almarhum Edi Sudrajat, berhasil mengantarkan pasangan Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. H. M. Jusuf Kalla (JK) sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI 2004-2009. Pada masa inilah proses konsolidasi demokrasi dilaksanakan.

Kemenangan itu mengejutkan, karena kala itu parlemen dikuasai oleh partai pemenang, seperti Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Pada Pemilihan Umum 2009, bahkan PD berhasil tampil sebagai partai yang memperoleh kepercayaan rakyat terbesar. Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Prof. Dr. Budiono pun terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2009-2014.

Masa itu, SBY memulai tradisi baru, meski sebagai pendiri dan Ketua Dewan Pembina, lebih fokus menjalankan fungsinya sebagai Presiden Republik Indonesia. Urusan partai, sepenuhnya diserahkan kepada para kader partai. SBY, concern memekarkan demokrasi, dengan melakukan transformasi demokrasi. Termasuk memberikan ruang kiprah bagi insan muda untuk menyiapkan diri sebagai negarawan. Suatu transformasi yang diharapkan akan menempatkan Indonesia, pada tahun 2045 kelak, sebagai bangsa yang sungguh merdeka dan berdaulat: mandiri, berdaya saing, dan berperadaban unggul.

Tapi, tidak semua komponen dan elemen bangsa mempunyai pemahaman yang sama tentang prinsip dan hakekat transformasi demokrasi yang mewadahi gagasan-gagasan baru dan visioner itu. Bahkan di dalam PD sendiri. Proses menggerakkan PD sebagai partai modern yang terbuka, membuka celah masuknya orang muda yang terburu ‘kebelet’ menjadi penguasa.

Mereka menjadi selilit di tubuh PD dengan pola fikir, sikap, dan tindakan politik yang semata-mata power oriented. Termasuk menerapkan pemikiran demokrasi liberal dan politik transaksional. PD yang seharusnya mengambil peran sebagai praercursor untuk menjadi lokomotif partai omnibus, tanpa disadari (atau terlambat disadari) akhirnya terhantam storm und drang politiek. Sejumlah petinggi partai diciduk penegak hukum karena kasus korupsi.

SBY, Ibu Hj Ani Bambang Yudhoyono dan para kader PD | FOTO : ISTIMEWA

Citra PD pun babak belur. Selama berbulan-bulan PD menjadi bulan-bulanan pemberitaan media yang seolah-olah sengaja digerakkan sebagai gelombang besar yang menghempas. Ironisnya, dalam situasi demikian, kalangan internal PD juga ikut bergaduh. Penyelesaian persoalan internal partai dibebankan sepenuhnya kepada SBY yang sedang menjalankan amanat rakyat sebagai Presiden. Akhirnya, pada Pemilu 2014, PD merosot dari partai pemenang pertama, menjadi partai 4 (empat) besar, dan harus mengambil cara lain.

Kongres Luar Biasa (KLB) di Sanur – Bali (2013) akhirnya mendesak SBY untuk memimpin langsung PD. Bahkan Kongres IV PD di Surabaya (2015) para kader masih menggantungkan harapan kepada figur SBY untuk memimpin lima tahun ke depan.

Sebagai partai tengah yang berada di luar pemerintahan dan independen (berkolaborasi tanpa berkoalisi) sesuai dengan prinsip wasatha (non block), PD kini memiliki oportunitas politik yang besar. Posisi politik demikian di sisi lain, akan membuat PD menjadi bulan-bulanan intrik politik. Terutama, karena baik terbuka atau tertutup pasti ada gerakan yang bakal menghambat PD untuk menjadi pemenang pada Pemilu 2019. Apalagi, belakangan tampak berkembang rima-rima politik yang terus menghendaki PD tenggelam.

Beranjak dari kondisi demikian, tak bisa tidak, seluruh kader dan pengurus PD sampai ke lapisan bawah, terutama para kadernya di parlemen dan pemerintahan, musti bergerak cerdas. Tidak mudah terjebak oleh isu-isu elementer, meski menjadi konsumsi media. Terutama, saat rakyat dengan kecerdasannya melihat lemahnya pemerintahan, karena terlalu membuka ruang akomodasi besar untuk pencitraan diri.

Langkah cerdas yang harus dilakukan oleh para kader adalah menyeleksi bakal kader dengan sangat ketat. Setarikan nafas, menggerakkan kembali seluruh elemen dan potensi kader. Paling tidak, memanifestasikan rencana program pro rakyat, yang mampu menjamin kader mempunyai integritas. Selebihnya, hindari friksi dan konflik internal, hanya karena persoalan kepentingan sesaat. Tentu, dengan memperkuat dan mempertegas loyalitas dan dedikasi seluruh kader. Tidak mudah, memang. Tapi, bisa dicapai.

Kuncinya, jangan berhenti dan jangan lelah menggerakkan transformasi politik. | 

Editor : Web Administrator
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 527
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1621
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1400
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 244
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 340
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya