Menanti Aksi Aliansi Asia-Afrika

Menggugat Ketidakadilan Global

| dilihat 1616

AKARPADINEWS.COM | MENGGUGAT ketidakadilan global menjadi pesan utama yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat berpidato di hadapan para pemimpin negara Asia-Afrika saat pembukaan Konferensi Asia Afrika (KAA), di Jakarta, Rabu (22/4).

Dalam pidatonya, Jokowi mengkritik ketidakadilan global dengan memaparkan dominasi negara-negara kaya dengan jumlah penduduk 20 persen dari total penduduk dunia, yang dapat mengonsumsi sekitar 70 persen kekayaan dunia. Sementara 1,2 miliar penghuni yang menetap di wilayah selatan atau negara berkembang, hidup dalam kemiskinan dengan penghasilan kurang dari dua dolar per hari.

Realitas paradoks itu didesain negara-negara kaya yang selalu mengklaim bisa mengubah dunia dengan caranya. Sementara organisasi dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak mampu memecahkan masalah ketidakseimbangan global. Jokowi juga menolak anggapan jika persoalan ekonomi dunia hanya dapat diselesaikan oleh Bank Dunia, IMF, dan ADB. Pandangan itu dianggapnya sudah usang dan perlu dibuang. Karenanya, Jokowi mendesak perlu segera dilakukan reformasi PBB dan mereformasi arsitektur keuangan global.

Pidato bernada melawan terhadap ketidakadilan global itu sejatinya tidak sekadar menggema di hadapan para pemimpin Asia-Afrika beserta delegasinya. Namun, harus benar-benar direalisasikan. Tidak hanya oleh Jokowi. Namun juga direalisasikan semua pemimpin bangsa-bangsa Asia Afrika.

Aksi kolektif yang nyata harus dilakukan. Pasalnya, ketidakadilan global menjadi masalah klasik yang mengukuhkan distorsi pembangunan di negara-negara miskin dan berkembang di kawasan Asia-Afrika. Ketimpangan struktural yang menjadi akar masalah hingga kini tak juga disentuh.

Ketimpangan struktur global itu diperlihatkan dengan dominasi negara-negara kaya. Sementara instrumen global yang seharusnya memecahkan masalah-masalah global, mengalami disfungsi. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak mampu menjadi organisasi internasional yang adil. Bank Dunia, IMF, dan ADB sebagai instrumen perekonomian global juga gagal mendistribusikan kesejahteraan.

Karenanya, saat ini yang dibutuhkan adalah aksi kolektif. Bukan sekadar retorika, deklarasi, dan komitmen semata. 60 tahun lalu, tatkala KAA digelar kali pertama di Bandung, Jawa Barat, para pemimpin Asia-Afrika telah meletakan semangat kebersamaan untuk melawan ketidakadilan global. Kesamaan nasib sebagai bangsa yang tertindas melandasi kebangkitan Asia-Afrika. Para pemimpin Asia-Afrika menggalang kekuatan menghadang dominasi dua kubu kekuatan dunia: Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet. Mereka menebar spirit Dasasila Bandung agar bangsa-bangsa Asia-Afrika, bangkit dan melawan ketidakadilan.

Namun, realitas menunjukan, bangsa-bangsa Asia-Afrika masih berkutat pada persoalannya masing-masing yang jauh lebih kompleks seperti kemiskinan, peperangan, pelanggaran hak asasi manusia, kelaparan, penyebaran penyakit, krisis energi dan pangan, dampak perubahan iklim, ancaman terorisme, dan sebagainya. Realitas itu menunjukan spirit Dasasila Bandung 1955 belum membumi.

Karenanya, KAA yang digelar di Bandung, tanggal 9-25 April 2015, tidak sekadar menghasilkan komitmen baru di atas kertas. Namun, harus mampu "memaksa" negara-negara maju untuk mendistribusikan keadilan dan kesejahteraan global, dengan mendorong percepatan reformasi sistem global agar lebih adil, berimbang, dan berkelanjutan.

Mampukah para pemimpin Asia-Afrika bersama-sama membangun kekuataan nyata sebagai alat posisi tawar (bargaining position) di hadapan negara-negara maju? Bisa saja. Bangsa-bangsa Asia-Afrika memiliki posisi tawar yang sangat diperhitungan. Dari sisi geografisnya saja, Asia-Afrika yang kaya akan sumberdaya mineral, luasnya mencapai separuh wilayah dunia dengan total penduduk mencapai tiga per empat dari total populasi dunia. Masalahnya, mengaktualisasikan tujuan kolektif yang hingga kini masih tertatih-tatih.

Soliditas dan kerjasama yang didengungkan para pemimpin bangsa Asia-Afrika saat kali pertama digelar KAA di Bandung, Jawa Barat, 19-25 April 1955 lalu, belum maksimal ditindaklanjuti dengan langkah nyata yang menguntungkan bagi semua bangsa Asia-Afrika.

Aliansi Asia Afrika harusnya mampu keluar dari dominasi negara-negara maju, dengan mengurangi ketergantungan. Di era globalisasi dewasa ini, interdependensi memang sulit dihindari. Namun, tidak serta merta mengukuhkan subordinasi, mengontrol negara-negara yang dikuasai dengan kekuatan kapital maupun lewat instrumen global yang berpihak kepada negara-negara maju.

Beragam kemitraan strategis antar negara-negara Asia-Afrika, memang telah terlaksana. Namun, kerjasama internasional, baik bilateral maupun multilateral harus dilandasi kepentingan bersama, baik dalam konteks mengukuhkan persatuan politik, meningkatkan kerjasama ekonomi, maupun terkait pengembangan interaksi sosial dan kebudayaan antarnegara sesama Asia Afrika. Aktualisasi itu tidak sekadar pemerintah dengan pemerintah. Namun juga melibatkan kekuatan organisasi regional dan masyarakat.

Kekuatan Asia-Afrika akan terbangun bila para pemimpinnya tidak sekadar fokus pada masalah-masalah domestik, namun masalah secara keseluruhan dengan dilandasi sikap saling menghormati eksistensi kedaulatan negara.

Di era globalisasi dewasa ini, interdependensi tidak dapat terelakan. Globalisasi yang ditopang kekuatan finansial, teknologi, media dan informasi telah memperlancar penetrasi beragam kepentingan antarnegara. Namun, interpendensi itu mengarahkan pada tendensi global yang bertujuan membangun struktur tunggal, baik dalam urusan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Intensifnya transformasi globalisasi pada akhirnya menggiring bangsa-bangsa di dunia menuju sistem ekonomi yang terintegrasi.

Namun, proses globalisasi berlangsung sejak Abad 19 lalu itu didesain untuk mengukuhkan ketergantungan. Negara-negara barat terus menggerakan kekuatan modal yang begitu besar dengan jangkauan yang luas. Dengan motif kapitalisme yang menguasai, kekuatan modal menjadi senjata bagi negara-negara maju untuk mereduksi otoritas negara. Akibatnya, sistem global yang didesain mengukuhkan suborganisasi, bukan keseteraan antarnegara.

Di sejumlah negara miskin dan berkembang, jebakan globalisasi makin mengukuhkan kemiskinan. Negara-negara dengan lebih dari setengah penduduknya hidup miskin antara lain di Guatemala, Kenya, Lesotho, Madagaskar, Nepal, Nigeria, Senegal, Zambia, dan sebagainya. Pertumbuhan ekonomi di negara-negara itu bergerak lambat.

Di negara-negara bekas Uni Soviet pun demikian. Menurut Joseph Stiglitz (2006), di negara-negara bekas Uni Soviet, transisi komunisme menuju ekonomi pasar yang didorong negara-negara maju, justru mengakibatkan jatuhnya pendapatan dan standar hidup hingga 79 persen. Mekanisme pasar yang menjadi ideologi globalisasi gagal mendorong pemerataan kemakmuran dan menekan masalah-masalah sosial. Di negara-negara negara berkembang, kemiskinan telah meningkat sepanjang dua dekade terakhir. Sekitar 40 persen dari 6,5 miliar penduduk dunia hidup dalam kemiskinan, yang 877 juta jiwanya hidup dalam kemiskinan absolut.

Saat memegang jabatan di Bank Dunia, Stiglizt pernah menerbitkan sebuah studi berjudul: Suara Masyarakat Miskin (Voices of the Poor). Hasilnya, masalah saat ini tidak hanya berkurangnya penghasilan. Tetapi, perasaan tidak nyaman karena khawatir kehilangan pekerjaan dan turunnya pendapatan akibat krisis global yang mengancam negaranya.

Krisis global saat ini memang rentan menghantam negara-negara di dunia. Krisis keuangan di sebuah negara, seperti Amerika Serikat, berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi domestik sebuah negara yang berimbas tumbuhnya persepsi ketidakamanan ekonomi. Akibatnya, negara yang terkena imbas kerap menempuh jalan singkat yakni meningkatkan hutang untuk membiayai defisit anggaran dan memotong belanja publik, termasuk untuk sektor program-program sosial.

Masalah dalam sistem global adalah ketidakseimbangan kewenangan antara negara-negara maju dengan negara miskin atau berkembang. Perbedaan kepentingan antar negara berujung pada upaya saling mengalahkan satu sama lain guna memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Negara miskin dan berkembang, dipastikan akan kalah dalam menghadapi pertarungan global.

Karenanya, sistem global harus menjamin dan memastikan keadilan yang merata. Jika sistem global tidak juga mengakomodir kepentingan negara-negara miskin dan berkembang, maka perlu memperkuat aliansi. Salah satunya adalah aliansi Asia Afrika. Aliansi Asia-Afrika harus mendorong keseriusan negara-negara di dunia mereformasi PBB.

Selama ini, PBB belum mengakomodasi kepentingan semua negara-negara anggotanya. Krisis kepercayaan itu sebagian besar datang dari negara miskin dan berkembang, yang menganggap PBB sebatas instrumen bagi negara-negara barat daripada berorientasi skala dunia.

Keberadaan IMF tak lagi sekadar menjaga stabilisasi keuangan dan peredaran mata uang untuk memperlancar perdagangan dunia. Namun, lembaga penyalur kredit kepada negara-negara anggotanya itu lebih berperan sebagai pengawas kebijakan suatu negara di bidang ekonomi. Pinjaman dari IMF akan diberikan kepada negara-negara yang memerlukan jika negara tersebut bersedia melakukan reformasi guna mengurangi kesulitan-kesulitan atau kendala ekonomi.

Demikian pula Bank Dunia yang selama ini menjadi representasi kepentingan negara-negara kaya: Prancis, Jerman, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat. Instrumen perekonomian global itu belum mampu mengintegrasi seluruh harapan.

M. Yamin Panca Setia 

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 236
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 333
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 525
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1619
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1398
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya