Gagasan Alih Sempurna Tanah Kesultanan Deli kepada Kementerian BUMN (TAMAT)

Punya Karya Nyata, Belum Punya Pahlawan Nasional

| dilihat 366

Prof. Dr. OK Saidin, SH., M.Hum

Dalam catatan sejarah, Kesultanan Deli belum punya Pahlawan Nasional, tetapi Kesultanan Deli punya karya nyata di mana hasil karyanya telah ikut mengisi dan mewarnai pembangunan Indonesia pasca kemerdekaan sampai sekarang.

Namun ingatan kita terlalu pendek dan kita kerap kali tak mampu melawan lupa. Mungkin ada sesuatu yang hilang dalam diri kita terutama yang terkait dengan kearifan dalam memaknai sejarah bangsa kita sendiri.

Kondisi yang demikian menyebabkan sebagian kita pun terkesan seperti melupakan, bahwa yang kita nikmati pada saat ini tidak terlepas dari peran dan sumbangsih dari para pendahulu kita yang telah memprakarsai berdirinya perkebunan luas dan usaha-usaha besar lainnya.

Capaian-capaian Kesultanan Deli, dalam membangun negerinya, terhenti seiring dengan kebijakan Nasionalisasi yang dilakukan oleh Pemerintah melalui UU No.86 Tahun 1958, tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda.

Kebijakan Nasionalisasi ini syarat dengan muatan politik, berhubungan dengan perjuangan Indonesia untuk melepaskan Indonesia dari cengkeraman Kolonial Belanda yang belum berakhir di wilayah Indonesia. Salah satunya adalah Wilayah Irian Barat.

Seiring dengan itu, semua aset perusahaan Belanda dinasionalisasi. Nasionalisasi tidak hanya menyangkut aset yang dimiliki oleh Perusahaan Belanda, tetapi juga ikut tanahnya.

Padahal tanah bukanlah aset Perusahaan Berlanda, tanah bukan objek nasionalisasi, karena tanah itu dimiliki oleh Pribumi, milik Kesultanan Deli dan masyarakat adatnya.

Begitupun dalam Pasal 2 dan penjelasan UU No.86 Tahun 1958, dikatakan bahwa dalam proses nasionalisasi kepada pemilik perusahaan akan diberi ganti rugi, begitu juga pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan ganti rugi. Tapi sampai saat ini Kesultanan Deli tak pernah mendapatkan ganti rugi itu.

Pihak perusahaan perkebunan dan perusahaan-perusahaan lain, mungkin sudah mendapatkan ganti rugi, akan tetapi pihak Kesultanan Deli selaku pemilik hak-hak atas tanah tidak pernah mendapat ganti rugi.

Ketentuan Pasal 2 dan Penjelasan UU No. 86 Tahun 1958 mengatakan pihak berkepentingan dapat mengajukan permohonan ganti rugi. Mengapa kemudian pihak Kesultanan Deli tidak mengajukan Ganti Rugi pada masa itu.

Nasionalisasi Awal Penderitaan

Kesultanan Deli pada waktu itu berpendirian, Tanah tidak termasuk sebagai aset perusahaan Belanda, oleh karena itu tak perlu dinasionalisasi, dan karenanya Kesultanan Deli tak perlu juga meminta Ganti Rugi.

Hak-hak Sultan Deli itu dapat diteruskan oleh Perusahaan yang mengambil alih dari perusahaan Belanda itu, yakni perusahaan di bawah naungan Badan Usaha Milik Negara.

Jika hari ini Kesultanan Deli menuntut Ganti Rugi, mungkin tidak pada tempatnya lagi. Oleh karena itu, dalam usulan ini Kesultanan Deli mengusulkan agar pemerintah memberi Kompensasi kepada Kesultanan Deli atas jasa-jasanya yang telah menghadirkan investor dan membangun Negeri Deli pada zamannya dengan memanfaatkan lahan-lahan tanah miliknya, yang kemudian meninggalkan warisan yang saat ini dikelola oleh perusahaan-perusahaan yang berada di bawah naungan Kementerian Badan Usaha Milik Negara.

Dengan acuan ini, maka kedua belah pihak baik Pemerintah maupun pihak Kesultanan Deli, akan terbebas dari tuntutan hukum di kemudian hari.

Bukankah Pihak Perusahaan PT.Perkebunan Nusantara II (Persero), telah banyak melepaskan asetnya yang semula berasal dari lahan Konsesi Kesultanan Deli dan akan disusul dengan kebijakan yang sama untuk mengatasi berbagai kesulitan keuangan yang di hadap oleh Pihak Perkebunan Nusantara II (Persero)?

Dengan kompensasi ini diharapkan Kesultanan Deli dapat merawat kembali peradaban dan budayanya, dapat melestarikan peninggalan budaya warisan nenek moyangnya seperti Mesjid Raya, Istana Maimoon dan lain sebagainya.

Lebih dari itu Sultan Deli dapat mengangkat kembali ekonomi kaum kerabatnya yang kian hari kian terpuruk, dapat merawat kembali adat budaya masyarakatnya, pasca pemerintah menasionalisasikan aset miliknya.

Harapan Besar Kesultanan Deli

Di sisi lain pihak P.T. Perkebunan Nusantara II (Persero) dapat mengoptimalkan fungsi lahannya yang tidak lagi strategis berdasarkan tata guna tanah untuk lahan perkebunan.

Dengan begitu pihak Perkebunan Nusantara II (Persero) dapat menjalin kerja sama dengan para Developer untuk membangun kawasan pemukiman, kawasan Industri dan kawasan Bisnis sebagai Kota Mandiri yang dapat menutupi utang-utang pihak Perkebunan Nusantara II (Persero), tanpa lagi mendapat tuntutan hukum dari Pihak Kesultanan Deli sebagai pemegang alas hak Keperdataan.

Pada saat pemberian Gelar kebangsawanan kepada Presiden Republik Indonesia yang ke-7 dan ke-8, Bapak H. Ir. Joko Widodo, Kesultanan Deli menaruh harapan besar agar Kesultanan Deli dapat memberikan sumbangan yang lebih baik lagi bagi negeri ini, bagi bangsa ini, bagi peradaban dunia modern yang religius dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang puncaknya adalah mewujudkan Masyarakat adil dan makmur dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, di bawah Ideologi Pancasila, landasan yuridis UUD tahun 1945 serta tetap berada dalam kesatuan dan persatuan di bawah semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Kini, satu-satunya cara untuk mewujudkan harapan itu sekaligus menyelamatkan peradaban Melayu Deli dan berbagai warisan budaya yang ditinggalkannya adalah dengan memberi kompensasi dan atau ganti rugi kepada pihak Kesultanan Deli atas pemanfaat lahan-lahannya yang saat ini berada di bawah penguasaan Kementerian Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia.

Oleh karena itu Kementerian BUMN-RI memegang peranan penting dan peranan central dalam percepatan upaya penyelesaian menyeluruh terhadap Hak-Hak Kesultanan Deli di atas lahan-lahan Eks Konsesi yang saat ini berada di bawah naungan Kementerian BUMN.

Penyelesaian Menyeluruh dan Sempurna

Selain penempatan saham pasif dan penempatan para kerabat Kesultanan Deli sebagai Komisaris pada Perusahaan-Perusahaan BUMN yang menggunakan asset yang berasal Kesultanan Deli, alternatif lain yang dapat ditempuh adalah PT Perkebunan Nusantara II (Persero) dapat menyerahkan minimal 10.000 Ha (sepuluh ribu hektare) lahan HGU PTPN II (Persero) yang masih aktif sebagai kompensasi kepada Kesultanan Deli.

Luasan 10.000 Ha (sepuluh ribu hektare) itu haruslah Areal HGU aktif PT Perkebunan Nusantara II (Persero), bukanlah jumlah yang besar, sebab itu hanya 1/14 (atau sekitar 7,14 %) dari jumlah luasan lokasi PT Perkebunan Nusantara II (Persero) sekarang yang masih tersisa sekitar 49.000 Ha dan lahan-lahan Konsesi Kesultanan Deli di Wilayah PT Perkebunan Nusantara III dan IV Persero (yang perkebunan tersebar di Wilayah Wazir Kesultanan Deli dari Wilayah Padang dan Wilayah Bedagai).

Hitungan ini didasarkan pada kewajiban pihak perkebunan yang dulunya setiap masa bra (masa tanah tidak ditanami tembakau) yakni masa rotasi 7 tahun, untuk masa 1 tahun diberikan hak kepada rakyat penunggu untuk bercocok tanam palawija.

Jika hitungan masa 7 tahun itu dijadikan dasar perolehan hak, maka ada 1/7 dari luasan tanah itu menjadi bahagia yang tidak dinikmati oleh pihak perkebunan.  Artinya dari total luas lahan PT Perkebunan Nusantara II (Persero) hari ini yakni 49.000 Ha (empat puluh sembilan ribu hektare), maka jika diberikan 1/7 kepada pihak Kesultanan Deli diberikan 1/7 X 49.000 Ha, maka luasannya adalah 7.000 Ha (tujuh ribu hektare).

Ditambah dengan kompensasi untuk wilayah perkebunan yang ada di Wilayah Padang dan Bedagai seluas 3.000 Ha. Jadi kompensasi terhadap Kesultanan Deli cukup lah diberikan kompensasi setengah dari 10.000 Ha (Sepuluh Ribu Hektare) saja.

Mekanisme penyelesaian yang dapat ditempuh adalah:

Pertama, Kementerian Keuangan sebagai pemegang aset memberikan pengakuan terkait keberadaan hak-hak keperdataan Kesultanan Deli di atas perusahaan-perusahaan yang menggunakan lahan/tanah Kesultanan Deli yang ditempatkan pada Kementerian BUMN.

Kedua, dilahirkan kesepakatan antara Kementerian BUMN dengan Sultan Deli tentang bentuk penyelesaian berupa kompensasi terhadap hak-hak keperdataan Kesultanan Deli di atas perusahaan-perusahaan yang menggunakan lahan/tanah Kesultanan Deli yang ditempatkan pada Kementerian BUMN.

Ketiga, besaran kompensasi yang telah disetujui oleh Kementerian BUMN selaku pemegang saham memberikan persetujuan untuk melepaskan asset tersebut kepada pihak Kesultanan Deli.

Bukan dengan Instrumen Politik

Dasar yuridis kompensasi dengan menggunakan instrumen hukum melalui Putusan Pengadilan dengan Putusan Perdamaian yang dituangkan dalam Akta Perdamaian, karena yang terjadi selama ini adalah proses pengalihan hak hak yang “tidak sempurna” yakni melalui instrumen politik yakni kebijakan Nasionalisasi.

Dasar sosiologis adalah mengingat jasa yang pernah diberikan Sultan Deli kepada unit usaha perkebunan dan usaha-usaha yang lain seperti transportasi Kereta Api dan Telepon dan pembangunan Infra Struktur Air Bersih.

Dasar Filosofis yakni Pancasila dan Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni Pemerintah hendak melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum.

Setelah selesai proses pengakuan dan kompensasi, pihak Kesultanan Deli, kemudian mengatur penggunaan dan pendistribusiannya. Sebagian dari lahan itu dijadikan lokasi pemukiman dan bercocok tanam dan kawasan bisnis untuk Institusi Istana Maimoon, Ahli Waris kerabat Kesultanan Deli yang saat ini bermukim di Istana Maimoon. Lokasi pemukiman itu disediakan seluas 50 Ha lengkap dengan Fasos dan Fasum.

Untuk biaya pembangunan perumahan dan Revitalisasi Istana Maimoon, Kesultanan Deli memanfaatkan lahan 200 Ha lainnya dan mengikat kerja sama dengan developer. Jika lahan 200 Ha itu diuangkan dengan harga Rp. 400.000,- per meter, maka akan diperoleh uang sebesar , untuk tanah 200 Ha = 2.000.000M2 x Rp400.000,- = Rp 800.000.000.000 (delapan ratus miliar rupiah).

Jika dari uang Rp 800 miliar itu digunakan untuk membayar kompensasi Ganti Rugi kepada Ahli Waris, dari lahan seluas 4 Ha X Rp 7 miliar=Rp 280 miliar, maka seluruh lahan Istana Maimoon telah dibebaskan. Masih ada sisa uang sebesar Rp 800miliar -Rp 280miliar =Rp 520 miliar.

Sisa uang itu kemudian digunakan untuk revitalisasi Istana Maimoon sebesar Rp.200 miliar, jadi masih ada sisa dana Rp.320 miliar,-

Sisa Anggaran itu kemudian digunakan untuk membangun perumahan para Kerabat, keluarga Istana Maimoon, Orang-Orang besar bergelar, Mesjid, Duplikat Istana Maimoon, dan berbagai Fasum lainnya.

Selanjutnya kepada Institusi Kesultanan di bawah Manajemen Unit Usaha yang dibentuk Kesultanan diserahkan lagi tanah seluas 150 Ha untuk mendirikan sekolah, Gedung dan Balai Pertemuan, tempat berjualan, Restoran, serta Hotel yang dikerjasamakan dengan pihak ketiga. Hasil-hasil inilah kemudian (yang dapat) digunakan untuk “penghidupan baru” bagi kerabat dan Ahli Waris Kesultanan Deli yang sekarang menghuni Istana Maimoon.

Pengalihan Sempurna

Sisa lahan seluas 9.600 Ha lagi dijadikan asset abadi Kesultanan Deli. Lahan-lahan itu tetap ditanami komoditi tanaman ekspor seperti Kelapa Sawit yang diusahakan sebagai “anak angkat” perusahaan di mana “Bapak Angkat” nya adalah perusahaan Perkebunan BUMN yang saat ini menguasai lahan Kesultanan Deli.

Jika sewaktu-waktu asset itu berdasarkan tata ruang dapat dikembangkan untuk wilayah pemukiman dan bisnis, di atas lahan tersebut dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga.

Dengan demikian Pemerintah telah menggugurkan tuduhan yang selama ini bahwa, Negara tidak peduli dengan Kesultanan Deli. Dengan begitu akan tercipta harmonisasi dalam kehidupan sosial Masyarakat Melayu khususnya Kesultanan Deli dengan Negara.

Jika hari ini aset-aset itu belum dikembalikan dan pengalihannya berlangsung ”tidak sempurna” belum pernah dikembalikan dan bahkan masih berada di bawah penguasaan perusahaan-perusahaan di bawah naungan Kementerian BUMN.

Maka di sinilah, diperlukan kearifan untuk dapat kembali dengan rendah hati mengakui keberadaan Hak Keperdataan Kesultanan Deli, untuk selanjutnya dapat diselesaikan melalui mekanisme pengakuan dan kompensasi.

Segera setelah itu Kesultanan Deli melepaskan seluruh Hak Keperdataannya kepada pihak Kementerian BUMN. Dengan langkah itu sempurnalah menurut hukum kepemilikan aset berbagai perusahaan yang berada di bawah naungan Kementerian BUMN yang sekaligus juga membebaskannya dari tuntutan hukum yang mungkin akan terjadi di kemudian hari. | Tamat

 

Prof. Dr. OK Saidin, SH., M. Hum - Dato Sri Amar Lela Cendikia Kesultanan Deli - Ketua Program Studi Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia (APHKI) 2017-2020 dan 2020-2023.

 

Baca Artikel Bagian II : Jasa Sultan Deli Mendukung Republik

 

Editor : delanova | Sumber : foto foto ilustratif
 
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 259
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 429
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 275
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 531
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1625
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1402
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya