Khitanan

Pasal 'Burung Pipit' Itu..

| dilihat 625

catatan Bang Sém

Beberapa hari lalu, menantu saya mengajukan pertanyaan singkat dan sederhana, "Yah.. khitan di bulan Ramadan boleh kan?"

Saya menjawab pertanyaan itu dengan mengangguk, tanda boleh.

Agaknya, pertanyaan itu mengemuka spontan. Pasalnya, cucu saya sudah berusia 11 tahun, kelas lima sekolah dasar di salah satu pesantren modern.

Selama masa pandemi nanomonster Covid-19, hanya sedikit libur. Pertengahan bulan Ramadan, dia akan liburan. Biasanya, beroleh masa selama sebulan untuk liburan.

Merespon ketidakpastian waktu dan kebijakan negara menyikapi dinamika pandemi -- meski sudah mulai bergerak ke kebiasaan baru endemi -- dan masa liburan yang relatif pendek, bulan Ramadan merupakan waktu paling pas untuk melaksanakan khitanan.

Dua pekan silam, sepupu cucu -- cucu kemenakan -- sudah berkhitan.

Sehari sebelum Ramadan 1443 H, seorang nenek bersuka cita, karena dua cucu laki-laki-nya berkhitan di kediamannya.

Khitanan itu mundur dari rencana semula, antara lain, juga karena kebijakan pemerintah ihwal karantina mereka yang baru datang dari luar negeri. Salah satu cucunya, yang akan dikhitan, tinggal di salah satu negara di Eropa Barat.

Uti dan saya menyebut urusan khitan sebagai 'ihwal burung Pipit,' sebagai identitas tubuh laki-laki.  

Khitanan bagi anak laki-laki di kalangan keluarga muslim, adalah bagian dari nilai budaya - tradisi sosial yang terkait langsung dengan urusan kebersihan, bahkan kesucian - sekaligus integritas tubuh.

Khitanan dipersoalkan kalangan penggerak 'anti khitan' di Barat dalam konteks integritas tubuh (urmat aljasad) dalam makna yang sempit, yakni keutuhan tubuh. Mereka mempersoalkan khitan dengan 'hak atas tubuh' dalam pandangan mereka. Sesuatu yang berbeda perspektif dengan prinsip 'hak setiap insan atas tubuhnya,' dalam Islam.

Ghiath al Ahmad ahli bioetika dan teologi Islam dari King Abdullah International Medical Research Center (KAIMRC) dan College of Medicine, King Saud bin  Abdulaziz University for Health Sciences (KSAU-HS),  Riyadh, Saudi Arabia dan Wim Dekker dari Centre of Ethics  Scientific Institute for Quality of Healthcare, Section of Ethics, Philosophy and History of Medicine - Radboud University Nijmegen Medical Center, Netherlands (2012) mengemukakan, khitan dalam Islam dipraktekkan untuk alasan medis-terapeutik, medis-preventif, atau agama.

Di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, khitan dilaksanakan sebagai sosio habitus. Namun di kalangan masyarakat muslim, khitan dilaksanakan karena alasan agama, terutama untuk mengikuti sunnah Rasulullah Muhammad SAW. Tak terkecuali sebagai bagian personal hygiene.

Di balik khitan ada legitimasi ilmiah dan landasan moral. Karena tetesan urine dan smegma yang 'berkumpul' di bawah kulup (bagi mereka yang tak berkhitan) dapat menyebabkan najis pada tubuh.

Tak sedikit ahli fiqh ahli (hukum Islam) yang memandang khitan dalam konteks cara mensucikan tubuh dari urine dan smegma. Ini juga yang menjadi alasan cucu -- seperti dikemukakan menantu -- saya.

Tak layak seseorang menjadi imam salat dalam keadaan belum bersih dari najis.

Ahmad dan Dekker sama memandang, bahwa meski khitan dan integritas tubuh adalah belakangan menjadi satu topik baru yang diangkat oleh beberapa ahli bioetika yang memelopori 'Gerakan Anti Khitan,'  gerakan yang mulai di Barat, itu tidak akan berhasil di kalangan umat muslim. Kalau kemudian terjadi friksi antara mereka yang menentang khitan dengan persyaratan legislatif Islam, adalah keniscayaan.

Bagi umat muslim sendiri, yang utama adalah, memahami, bahwa Islam sangat menghormati ikhtiar dan mengatur cara menjaga - merawat tubuh manusia, sebagai terpandu melalui firman Ilahi dalam Al-Qur’an maupun hadis Nabi. Karenanya, intervensi atas tubuh hanya diperbolehkan menurut aturan hukum tertentu. Khitan dilaksanakan  sebagai prosedur hukum, dan tidak melanggar integritas tubuh.

Islam menatapkan, integritas tubuh sangat penting, mempunyai dimensi moral yang dalam. Islam juga menegaskan keutuhan tubuh baik mayat maupun hewan. Karenanya, keyakinan yang mengakar kuat sebagai sunah Rasulullah terkait dengan perintah ilahiah.

Oleh sebab itu, khitan merupakan bagian penting dari ajaran ad dienul Islam yang sempurna dan cara hidup yang benar. Norma budaya yang menyertai khitan sebagai sosio habitus dan tradisi, sebagaimana halnya tradisi perkawinan (sebagai i'lan atas pernikahan) merupakan ekspresi budaya menarik dalam pertemuan norma budaya - hukum (syari'at) Islam dengan kearifan dan kecerdasan budaya lokal. Sesuatu yang kemudian menjadi ritual budaya yang menarik.

Di lingkungan masyarakat tertentu, termasuk di Indonesia, tradisi khitanan, tidak hanya dipandang sebagai penanda akan tiba masa akil baligh - proses menuju pendewasaan diri dalam tumbuh kembang anak laki-laki.

Kini, khitan banyak ditangani oleh dokter yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman tentang bedah ringan. Dulu di berbagai negara, khasnya di Asia dan Afrika, termasuk Timur Tengah dan beberapa negara Eropa lainnya, dikenal para penyupit tradisional (traditional circumcisioner).

Para penyupit tradisional kita kenal, antara lain, dengan sebutan bengkong, bong supit, mudin, calak kulup, syaman, bomohujung, dan lain-lain tetap ada secara turun temurun, meski praktik yang dilakukan menggunakan peralatan kedokteran mutakhir.

Jauh dari itu, juga dipandang sebagai ajang ekspresi budaya, yang dalam banyak hal bisa dipandang sebagai ekspresi seni pertunjukan tradisional. Ruang ekspresi sukacita. Kendati di lingkungan perkotaan yang kian metropolis, ritual khitanan tak lagi khas. Terutama, sejak berkembang khitanan massal.

Kondisi sosio ekonomi dan bahkan sosio politik mengubah ekspresi budaya khitanan. Bahkan perkembangan rasionalitas anak, bisa menghadirkan pernyataan-pernyataan spontan yang menggelikan dan bisa multi tafsir.

Nenek mengalaminya. Ketika menunjukkan sikap peduli (care) dan sayang kepada cucu, sehingga setiap hari kerap bertanya tentang kondisi sang cucu.

Tanpa pretensi sang nenek bertanya sambil berkelakar, "how are you Pipit's"? Spontan dia menerima jawaban dari cucunya, "Neeek... do you like Pipit.. ya?" "Every day talking about Pipit," cetus cucu lain yang sama baru dikhitan. Ehem.. |

Editor : delanova | Sumber : berbagai sumber
 
Energi & Tambang
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 757
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 911
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 865
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya