Bang Sem
HARMONI keluarga dan kemesraan di tengah kehidupan yang kian berat, boleh jadi merupakan sesuatu yang mahal. Terutama, ketika seluruh aspek kehidupan sudah dilaburi oleh beragam soal konsumerisma. Banyak teman mengeluhkan berbagai hal.
Mulai dari naiknya harga BBM, gas elpiji, sampai naiknya harga-harga sembilan bahan pokok. Apalagi ketika gaji belum juga naik, dan kebutuhan tak berkurang bilangannya. Semua itu, dalam situasi understressed, bahkan bisa menimbulkan friksi (dan bahkan konflik) yang tidak perlu.
Menjalani kehidupan rumah tangga lebih dari dua dasawarsa mengajarkan banyak hal kepada saya, ihwal memaknai harmoni. Dari begitu banyak pelajaran berharga, yang saya dapatkan antara lain adalah harmoni tidak mesti selalu diterjemahkan dengan berbagai persamaan pandangan dan sikap.
Harmoni, justru kita peroleh nilai dan dimensi kedalamannya, justeru karena begitu banyaknya variabel perbedaan antara suami dan istri. Baik psikis maupun non psikis. Apalagi, ketika kita sampai pada pemahaman tentang posisi kualifikasi harmoni sebagai tujuan hidup berumah tangga.
Suami dan isteri adalah dua pribadi, yang masing-masingnya mempunyai kedaulatan personal. Baik karena gen, kondisi psikologis, lingkungan sosial, maupun karena proses interaksi dan aktualisasi sosial sejak masa kanak-kanak. Faktor-faktor inilah yang kemudian menjadi hamparan perbedaan. Belum lagi, perbedaan pilihan sistem kekeluargaan yang dianut oleh masing-masing keluarga dalam membentuk kepribadian anggota keluarganya.
Secara fisik, harmoni bisa terbentuk melalui proses, sebagaimana halnya cinta terbentuk melalui proses, sejak pra nikah maupun pascanikah. Simpul pengikatnya adalah cinta dan kasih sayang, yang tersimpan dalam keseimbangan nalar dan jiwa. Wujud dari cinta dan kasih sayang sebagai simpul harmoni itulah yang sering kita sebut sebagai tanggung jawab. Karenanya, setiap tanggungjawab selalu berbuah pengertian dan pemahaman.
Dengan pengertian dan pemahaman itu, suami tidak bisa memaksakan kehendaknya agar isteri selalu mengikuti jalan pikiran dan gejolak suasana hatinya. Sebaliknya, isteri juga tidak bisa mendominasi suami, sehingga sang suami terjebak keadaan menjadi ‘kuda helaan yang tercancang kakinya’. Pengertian dan pemahaman atas kondisi obyektif masing-masing pribadi suami dan isteri, akan sangat membantu kita dalam mengelola rumah tangga dan keluarga.
Dalam banyak rujukan kehidupan berumah tangga, kita dapatkan rahasia mencapai harmoni. Yaitu, terbangunnya kesadaran untuk menerima masing-masing pasangan apa adanya. Meskipun, misalnya, yang didapat, tidak sesuai dengan kerangka idealistika masing-masing pribadi. Selebihnya adalah hal-hal subtil, yang mungkin nampak bukan sebagai sesuatu yang penting dan utama, namun mempunyai makna yang amat hakiki. Misalnya, sanjungan sederhana tanpa pretensi terhadap masing-masing pasangan.
Harmoni kehidupan rumah tangga dan keluarga, sebenarnya bisa terjalin oleh apa yang disebut resonansi. Bentuknya, bisa sangat sederhana. Antara lain: menyimak dengan tekun saat istri atau suami bicara, dan menyampaikan apa yang ada di dalam pikiran dengan cara yang santun, arif, dan menggunakan kata-kata yang baik. Selebihnya adalah kesadaran bersama untuk menggelar kejujuran pikiran, nurani, perasaan, dan indria.
Harmoni rumah tangga, laksana partitur bagi repertoar musik. Berbeda irama dan nadanya, namun terangkum dalam komposisi yang saling menguatkan dan membuat indah antara yang satu dengan lainnya. Kita, bisa melakukannya.|