Larangan Berharap Kematian

| dilihat 4934

AKARPADINEWS.COM | HIDUP di dunia adalah kesempatan bagi manusia untuk  menabur dan menanam benih kebaikan, yang kemudian dirawat dan dijaga hingga kelak memberikan kemaslahatan bagi orang lain. Amal kebaikan itu kelak juga menjadi penerang bagi manusia saat menyelusuri ruang-ruang kematian, sekaligus meningkatkan derajatnya di sisi Allah SWT. 

Memang, setiap sesuatu yang bernyawa pasti mati. Namun, meski sebuah keniscayaan, jangan pula menganggap kematian itu hal yang biasa dan alamiah. Mengingat kematian seharusnya mengingatkan pula kesadaran untuk menjadikan hidup lebih bermakna.

Meskipun kematian adalah sunnatullah, Rasulullah SAW melarang umatnya berangan-angan dengan kematian. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim, Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian mengharapkan kematian, apabila ia orang baik, maka masih ada kemungkinan dapat menambah kebaikan, dan apabila ia orang jahat maka mungkin ia akan berhenti dari kejahatannya.”

Mengharapkan kematian adalah perbuatan yang bertentangan dengan prinsip seorang muslim yang dituntut untuk percaya kepada garis ketentuan takdir Allah SWT. Imam Syafi’i dalam syairnya berujar, “Biarkanlah hari-hari berbuat sesukanya, tenangkanlah dirimu bila takdir telah menetapkan, jangan bersedih dengan cobaan dunia, cobaan dunia tiada yang kekal dan tiada yang abadi.” Dengan berperilaku lembut dan bersikap dermawan kepada sesama manusia, maka hidup akan lebih bermakna.

Dengan diberkahi umur yang panjang, seseorang diberikan kesempatan oleh Allah SWT untuk menambah amal kebaikan. Karenanya, anggapan bahwa orang baik atau orang shaleh itu lebih baik meninggal dunia, sangat tidak tepat. Alangkah lebih baik bila seseorang yang memiliki umur panjang, bisa terus menerus menambah amal kebaikannya.

Begitupun dengan orang yang tidak baik atau yang sering melakukan tindakan keburukan dan kejahatan, dengan umur yang panjang, diharapkan ia berhenti dari perbuatannya yang tidak baik. Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang panjang usianya dan baik amal perbuatannya.”

Sabda Rasullah SAW itu menegaskan jika hidup seorang muslim sangat bernilai, baik bernilai bagi orang lain maupun untuk dirinya, baik di dunia maupun di akherat. Dalam sebuah hadits, dikisahkan, ada dua orang sahabat yang suka melakukan kebaikan.

Hingga suatu saat, salah satu dari kedua gugur di medan pertempuran dalam keadaan syahid (orang yang meninggal dalam membela agama Islam). Satu minggu setelah kematian, kawannya meninggal dunia, bukan akibat perang di medan laga. Atas peristiwa itu, para sahabat Nabi SAW memperbandingkan antara dua orang sahabat itu ketika hidup di dunia.

Siapakah yang lebih tinggi kedudukannya di sisi Allah SWT setelah keduanya meninggal dunia? Apakah yang meninggal di medan pertempuran (mati syahid)? Atau yang meninggal seminggu sesudah kawannya itu?

Saat itu, mayoritas sahabat berpendapat, yang mati syahid di medan perang menempatkan posisi yang lebih tinggi kedudukannya di sisi Allah SWT, dibandingkan dengan kawannya yang meninggal bukan di medan pertempuran.

Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Berapa banyak sujud yang telah ia lakukan sepeninggal sahabatnya itu? Berapa banyak kebaikan yang telah ia lakukan selama satu minggu? Sementara sahabatnya telah terlebih dulu meninggal, maka terputuslah amalnya. Sedangkan temannya itu masih hidup selama satu minggu.”

Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW bersabda kepada Tsauban, “Wahai Tsauban, perbanyaklah sujud, karena tidaklah engkau sujud satu kali sujud karena Allah SWT, melainkan satu derajatmu ditinggikan di sisi Allah SWT.”

Dalam hadits Rasulullah SAW yang lain dijelaskan, adanya amalan yang lebih mulia daripada jihad di medan perang. Nabi SAW bersabda, “Tidakkah kalian ingin aku beritahu sesuatu yang lebih mulia daripada jihad di medan perang? Kalian membunuh atau kalian terbunuh. Dan, lebih mulia daripada bersedekah emas dan perak? Lalu sahabat bertanya, amalan apakah itu wahai Rasulullah SAW? Beliau menjawab, “Dzikrullah (mengingat dan menyebut nama Allah SWT).”

Hadits ini dapat dipahami bahwa dengan mengingat Allah SWT, maka otomatis amalan lainnya akan menyertai. Dengan mengingat Allah SWT, maka jihad di medan perang akan terasa mudah dan sedekah pun terasa ringan. Sebab, pangkal perbuatan mulia itu berasal dari dzikrullah.

Di hadits lain, Abu Bakar RA pernah mendengar saat Nabi Muhammad SAW ditanya oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, di antara orang-orang yang melaksanakan shalat, siapakah yang paling mulia? Rasulullah SAW menjawab, orang yang paling banyak dzikirnya.

Sahabat kembali bertanya, ”Di antara orang-orang yang gugur di medan perang, siapakah yang paling mulia? Beliau menjawab, yang paling banyak dzikirnya. Sahabat kembali bertanya, “Di antara orang-orang yang bersedekah siapakah yang paling mulia? Beliau menjawab, yang paling banyak dzikirnya.”

Semua jenis ibadah yang disebutkan itu, Rasulullah mengatakan, yang paling mulia di antara yang melakukan ibadah tersebut adalah yang paling banyak dzikir kepada Allah SWT. Lalu Abu Bakar As-Shiddiq RA berkata, “Orang yang banyak berdzikir telah membawa seluruh pahala kebaikan.”

Penjelasan itu menegaskan jika kehidupan seorang muslim akan bernilai sangat tinggi di sisi Allah SWT, bila dimanfaatkan untuk menambah pahala kebaikannya. Maka dari itu, hendaklah seorang muslim tidak berangan-angan dengan kematian.

Seperti sabda Rasulullah SAW, “Seandainya kalian mengetahui besok hari kiamat, sementara salah seorang di antara kalian sedang memegang biji kurma, bila masih sempat menanamnya sebelum kiamat, hendaklah menanamnya.”

Hadits ini menjadi tuntunan bagi setiap muslim untuk selalu optimistis dalam hidup, memandang jauh ke depan, tidak cepat putus asa, dan mudah menyerah. Hadits ini juga mengajarkan, yang terpenting untuk dilakukan manusia adalah menjalani proses, bukan untuk menentukan hasil.

Karena, hasil adalah takdir yang menjadi urusan Allah SWT. Ibrahim Abdul Fattah Thauqani berkata dalam pujangganya, “Pesimisme terlihat dari perkataanmu dan juga dari sifatmu, seperti burung gagak yang berteriak dan dunia pun mendengar teriakannya.”

Sebagai contoh, ada sebuah kisah yang menceritakan, ada seorang kakek yang sudah cukup usia menanam pohon kurma. Tindakan kakek itu menjadi bahan pertanyaan sebagian orang. Apakah gerangan yang diharapkan kakek itu dari pohon kurma yang baru ditanamnya? Karena pohon kurma itu baru bisa berbuah setelah 10 tahun. Apakah kakek itu bisa menikmati apa yang ia tanam? Sang kakek menjawab, “Apa yang dimakan hari ini adalah apa yang telah ditanamkan oleh orang-orang terdahulu. Maka menanam saat ini agar bisa dinikmati oleh orang yang hidup sesudahnya.”

Pendapat si kakek itu sejalan dengan sabda Rasullullah SAW yang menyatakan, “Setiap yang kita tanam itu bernilai sedekah, yang dimakan burung bernilai sedekah, yang diambil orang tanpa sepengetahuan pemilik bernilai sedekah, dan yang dimakan sendiri dari yang ditanam juga bernilai sedekah.”

Karenanya, tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk berangan-angan tentang kematian. Berharaplah kepada Allah SWT dikarunia usia yang panjang sehingga bisa menghapus dosanya dengan amal kebaikannya. Semoga Allah SWT selalu memberikan hidayah-Nya kepada manusia sehingga dapat menjalani kehidupan dengan optimisme dan penuh kebaikan. Amin Yaa Rabbal ‘Aalamiin.

Anwar Rizqi

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 272
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 440
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 284
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Energi & Tambang