Payung, Aksesoris dan Simbol Status

| dilihat 3544

AKARPADINEWS.COM | PAYUNG yang sering difungsikan sebagai alat pelindung dari hujan dan sinar matahari yang terik, ternyata mengandung dimensi simbolik yang bermakna. Selain sebagai aksesoris, payung menjadi simbol status seseorang.

Dari beberapa karya seni dan artefak kuno, yang ditemukan di Mesir, Suriah, dan China, payung sudah diciptakan manusia sejak 3.500-4.000 tahun lalu. Payung (umbrella) berasal dari bahasa latin yaitu umbra yang berarti bayang-bayang.

Fungsinya sebagai penahan air, pertama kali dikembangkan di China. Sejarah mencatat, orang pertama yang membuat payung bernama Lu Ban. Ia dikenal sebagai orang pintar, terampil, dan cekatan dalam menciptakan alat.

Ketika membuat payung, ia terinspirasi dari sekumpulan anak yang berjalan di antara hujan. Agar tidak kebasahan, mereka menggunakan daun bunga teratai untuk melindungi diri. Lu Ban terinspirasi dengan pemandangan itu dan membuat rangka fleksibel yang dilindungi kertas.

Setelah itu, Lu Ban melapisi permukaan kertas dengan lilin agar mempu menahan air. Lu Ban lalu menamakan alat yang dibuatnya itu, sC n yang berarti bayangan. Tidak hanya payung, Lu Ban juga membuat pesawat layang-layang kayu hingga gergaji.

Di jaman Dinasti Wei di China, payung menjadi simbol kekuasaan dan status sosial seseorang di dalam lingkungan istana yang disebut Payung Luo. Penggunaan payung pun meluas ke masyarakat. Payung digunakan untuk upacara pernikahan, seni pertunjukan tari, dan lainnya. Meningkatnya pertukaran budaya antarnegara, turut memperluas penyebaran payung.

Jepang misalnya, pernah mengirim 19 utusannya ke Dinasti Tang untuk mempelajari kebudayaan Tiongkok. Teknik pembuatan payung pun diperkenalkan di Jepang. Pada pertengahan abad ke-18, pengusaha Inggris membawa payung ke negaranya setelah datang dari Tiongkok, yang membangkitkan pengaruh besar di Inggris Raya. Sampai pertengahan abad ke-19, payung seakan menjadi bagian dari gaya hidup orang–orang Inggris.

Di kawasan negara-negara Eropa, khususnya bagian utara, payung sebenarnya sudah populer di awal abad ke-16. Payung dimanfaatkan masyarakat ketika musim hujan. Awalnya, payung digunakan sebagai aksesoris untuk perempuan.

Seorang pengembara dan penulis asal Persia, Jonas Hanway (1712-1786), menggunakan payung di depan masyarakat Inggris, Hanway lalu memperkenalkan payung pada kalangan laki-laki. Hingga saat ini, para laki-laki Inggris menyebut payung dengan Hanway. 

Payung di Eropa awalnya dibuat dari alpaca atau kavas berminyak di sekitar tahun 1852. Sedangkan pegangan lengkungnya dibuat dari kayu eboni. Lalu, Samuel Fox menyebarkan penemuan desain payung dengan kerangka baja. Payung pun mulai diproduksi secara massal di pabrik sejak tahun 1928, di Baltimore, Maryland.

Dalam konteks kebudayaan di Nusantara, payung menjadi simbol presise status dan asal usul seseorang. Payung memiliki akar sejarah panjang di tanah Jawa. Payung yang awalnya menjadi alat peneduh dari panas dan mengantisipasi guyuran hujan, lalu bertransformasi menjadi simbol-simbol kebangsawanan.

Di masyarakat tradisional Jawa, payung menjadi penentuan jabatan seseorang dalam struktur pemerintahan. Payung menjadi asesoris berbusana yang menunjukan status sosial seseorang. Lantaran identik dengan asesoris para priyayi dan kebangsawanan, penggunaan payung pun hanya orang-orang tertentu. Payung dianggap pula sebagai harta pusaka yang digunakan dalam berbagai acara upacara yang dilaksanakan oleh kraton. 

Payung juga identik sebagai alat yang melengkapi penampilan gadis cantik. Banyak lukisan atau di fim-film yang mengidentikan payung dengan para noni-noni di masa lalu hingga kembang desa. Misalnya, Tasikmalaya yang dikenal sebagai produsen payung kertas dengan payung geulis (cantik).

Memasuki abad ke-20, pada zaman penjajahan Belanda, payung geulis menjadi aksesori bagi para pejabat daerah, noni-noni Belanda, hingga para mojang Tasikmalaya. Payung lalu menjadi salah satu produk industri kreatif sejak 1930-an.

Berdasarkan catatan Encyclopaedie van Netherlandsch-Indie (1939), warga di wilayah tengah Tasikmalaya, menyandarkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dari industri kreatif seperti batik dan payung. Payung Tasikmalaya lalu diekspor ke kota-kota di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Kisah yang terhampar itu menunjukan jika ada makna di balik kesederhanaan sebuah payung. 

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 752
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 908
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 862
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 252
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 480
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 470
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 442
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya