Sektor Pendidikan Tinggi dalam Menjemput Satu Abad Indonesia Merdeka

| dilihat 488

Bang Sèm

Imajinasi Satu Abad Indonesia merdeka (sejak Proklamasi 17 Agustus 1945) boleh jadi masih samar. Tiga pasangan kandidat dalam kontestasi Pemilihan Presiden - Wakil Presiden 2024, merumuskan gagasan yang mereka sebut Visi dengan pernyataan yang mudah dikenali, mana yang sungguh visi dan mana pula yang merupakan jebakan fantasi.

Dilihat dari kaidah perumusan dan pernyataan Visi, hanya pasangan AMIN (Anies - Muhaimin) yang tepat dan jelas dalam mengaktualisasi ideologi dasar (Pancasila - 18 Agustus 1945),  dengan nilai dasar (historis dan budaya khas Indonesia: kerja keras berbasis kecerdasan dan kearifan - memiliki kematangan secara emosional, intelektual, dan spiritual) dan cita-cita dasar kemerdekaan Indonesia: mewujudkan negara yang maju, merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Pasangan ini merumuskannya dengan pernyataan visi : Indonesia Adil Makmur untuk Semua.

Imajinasi dan perhatian utama (focal concern) pasangan ini jelas tegas: keadilan, kemakmuran, pemerataan, inklusif, egaliter, kosmopolit, dan egaliter. Visi ini kian jelas, ketika dihadapkan dengan daya dorong akselerasi pencapaian visi (tantangan, peluang, kelemahan yang dimiliki dan kekuatan yang harus dibangun - dimiliki), mulai dari demokrasi politik, sosial, ekonomi, pengembangan budaya, manajemen pemerintahan, sampai financial viability (kemampuan mengelola keuangan - budjet secara efektif dan efisien). Konsep penyelenggaraan pemerintahannya jelas: konsisten pada konstitusi - menegakkan negara hukum bukan negara kekuasaan, pembangunan sebagai gerakan peradaban - masyarakat madani, orientasinya penguatan kedaulatan - kemandirian dan keunggulan Indonesia sebagai bangsa. Sesantinya: perubahan untuk mencapai posisi Indonesia sebagai yang terdepan dan unggul dalam percaturan global.

Koalisi Indonesia Maju (Prabowo Soebijanto dan pasangannya) merumuskan visi dengan pernyataan: "Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045." Imajinasi dan perhatian utamanya pada ajakan bekerjasama kalangan putra putri terbaik bangsa, melanjutkan pembangunan yang sudah berlangsung selama satu dekade terakhir, untuk mencapai tujuan Indonesia sebagai negara yang setara dengan bangsa lain. Sesantinya: keberlanjutan untuk mencapai Indonesia Emas 2045 atau lebih cepat.

Akan halnya pasangan Ganjar dan Mahfud merumuskan visi dengan pernyataan, "Menuju Indonesia Unggul:Gerak Cepat Mewujudkan Negara Maritim yang Adil dan Lestari." Fondasinya: ketersediaan anggaran, pemberantasan korupsi, digitalisasi biorkrasi. Focal concern pasangan ini merujuk pada Pidato Soekarno (17 Agustus 1953) : Kembali menjadi bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya, sebagai cakrawati samudra. "Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri.” Dihadapkan dengan daya dorong pencapaian pernyataan visi-nya, pasangan ini merujuk pada konsep Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana.

Kata kunci yang ditawarkan pasangan ini adalah : keadilan sebagai prasyarat pertumbuhan yang tinggi, membalik paradigma pembangunan dari yang memunggungi lautan dan membelakangi sungai menjadi lebih beroeintasi pada negeri bahari dalam poros maritim dunia.

Merancang Keseimbangan Kecerdasan dengan Kearifan

Merujuk pada Visi - Misi tiga pasangan Capres-Cawapres sebagai kontestan dalam bagaimana sektor pendidikan tinggi harus merespon ikhtiar menjemput dan menciptakan kondisi satu abad Indonesia Merdeka yang sungguh mampu membawa kebahagiaan bagi rakyat. Menegaskan Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, mandiri (dalam pengertian adil makmur - sejahtera lahir batin), dan unggul dalam peradaban baru.

Warga khasnya cendekiawan (bukan sekadar sebagai akademisi) dan lembaga pendidikan tinggi mesti memainkan peran strategis dalam merumuskan aksi pada lini masa pencapaian akselerasi visi kolektif kebangsaan berbasis sains dan teknologi. Paling tidak mengambil peran dalam perumusan revisi Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 25 tahun dan dirumuskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional lima tahunan. Termasuk merumuskan strategi besar menjawab tantangan Abad XXI.

Setidaknya lembaga pendidikan tinggi mesti ambil bagian dalam melakukan perubahan dramatik paradigma minda (mindset) pembangunan manusia dari sumberdaya manusia (yang pasif) menjadi modal dan investasi manusia. Tidak hanya dalam hal menjawab tantangan megaproblem yang diprediksi James Martin (2007), yaitu : Menyelamatkan bumi; Membalik kemiskinan (ingat pandangan Jeffrey Sach, "The End to Poverty"); Mengelola demografi (agar bonus demografi tidak menjadi petaka demografi) - antara lain dengan memusatkan perhatian pada relasi populasi dengan GDP (gross domestic product);  Mencapai gaya hidup berkelanjutan (Sustainability live data-style) - gaya hidup berkualitas tinggi yang tidak membebani lingkungan; Mencegah perang total ( antara lain mengatasi perang tak berkesudahan Palestina vs Israel, dan perang Ukraina vs Rusia) yang berdampak sangat besar terhadap kehidupan umat manusia' dan, Menolak terorisma dengan segala phobia yang menyertainya.

 Juga tak hanya karena generasi baru, peserta didik harus menjawab tantangan :  Menghadapi globalisme secara efektif - termasuk merancang keseimbangan antara kecerdasan budaya lokal -- yang harus dikembangkan -- dengan budaya global. Termasuk mempertimbangkan meluasnya penggunaan bandwith; Melindungi biosfer, karena meluasnya "titik panas" yang mengancam hilangnya spesies tumbuhan dan hewan; Mengembangkan budaya kreatif dan inovatif berbasis sains - teknologi untuk menambah nilai baru masyarakat dan mengimbangi pengembangan orientasi baru kewirausahaan; Menaklukan penyakit menular : endemi dan pandemi, dengan menciptakan sistem sensor deteksi virus; dan Memperluas potensi manusia dengan mengembangkan kemampuan laten berpangkal nalar, nurani, naluri dan rasa.

Lembaga pendidikan tinggi, semestinya memainkan peran strategis dalam membangun manusia yang mampu -- setidak-tidaknya, siap -- menghadapi Singularitas yang menghadapkan kecerdasan manusia dengan kecerdasan komputer sejalan tibanya peradaban Society 5.0 yang disangga internet on think dan artificial intelligent. Kepentingannya adalah agar manusia tetap mampu mengendalikan kecerdasan mesin yang akan mempercepat perubahan tanpa kendali.

Lantas, lembaga pendidikan tinggi mesti menyiapkan manusia terdidik yang mampu menjawab tantangan: Menghadapi risiko eksistensial, risiko yang dapat menghentikan manusia sebagai homo sapiens, seperti diingatkan astronom Martin Rees dalam Our Final Hour : A Scientist's Warning (2004); Menjelajahi transhumanisma, perubahan radikal manusia yang digerakkan teknologi yang menghubungkan otak manusia dengan obyek nanoteknologi. Kepentingannya, untuk membimbing kita membangun peradaban baru.

Penggerak Kebudayaan

Pendidikan tinggi pun mesti memainkan peran besar dan strategis dalam merencanakan peradaban lanjutan, karena transhumanisma dan singularitas dapat menggerakkan perubahan ekstrim peradaban dari apa yang kita pahami kini.

Sejalan dengan itu, lembaga pendidikan tinggi semestinya (di seluruh lapangan ilmu pengetahuan) mesti menyiapkan manusia Indonesia terdidik untuk menjawab tantangan memodelkan sistem planet. Khasnya, karena kita perlu  memastikan bahwa kita tidak melampaui titik di mana pemanasan global tidak dapat dibalik, sains sistem bumi harus dimodelkan secara teliti dan pemantauan harus tepat.

Kemudian, dalam satu tarikan nafas, lembaga pendidikan tinggi mesti berperan menjembatani kesenjangan antara keterampilan dengan kearifan dan kefasihan, sains teknologi mesti menjadi bagian dan penggerak kebudayaan. Terutama, karena sejak beberapa dekade terakhir industri gadget telah mengubah dalam skala global nilai, norma, orientasi, dan tatanan nilai - norma dalam budaya manusia.

Dalam konteks kebangsaan, lembaga dan masyarakat pendidikan tinggi perlu mengkaji ulang berbagai pemikiran dan pandangan para pendiri bangsa dan negara Indonesia. Mulai dari pemahaman tentang kemerdekaan sejati, disuarakan pertama kali oleh HOS Tjokroaminoto -- paling tidak, sejak disampaikan dalam pidato Zelfbestuur - 17 Juni 1916 di Societaat Concorde -- kini Gedung Merdeka --, Bandung), kemudian tentang orientasi keadaban dan peradaban yang dipicu Sutan Takdir Alisjahbana (1930) yang menghidupkan Polemik Kebudayaan; Pengembangan Daya Cipta yang digagas Soedjatmoko - yang pernah menjadi Rektor Universitas PBB.

Perlu melakukan pemikiran ulang pandangan keilmuan Fuad Hassan, ketika menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang melakukan perubahan kurikulum dalam konteks desentralisasi pendidikan sebagai konsekuensi logi Indonesia sebagai negara kepulauan. Juga, bagaimana mendudukan pendidikan humaniora dalam kesetaraan yang adil dengan ilmu-ilmu pasti dan teknologi, yang terus relevan dengan perkembangan peradaban kini dan mesti menjadi bagian penggerak peradaban mendatang.

Pemikiran ulang tersebut perlu dilakukan, karena penyelenggaraan negara dan pemerintahan dirumuskan untuk tujuan tujuan mencapai kemerdekaan sejati yang bertalian dengan persatuan - kesejahteraan - kebahagiaan umat. Perumusnya adalah para intelektual dan akademisi. Karenanya, peran pendidikan tinggi menjadi sangat penting.

Kebenaran Ilmu Pengetahuan

Beranjak dari pandangan dan pemikiran yang mengemuka terdahulu, untuk menegaskan peran pendidikan tinggi dalam menjemput pencapaian peradaban di masa seabad Indonesia Merdeka (2045), perlu digerakkan paradigma pemikiran. Yakni, menempatkan pendidikan tinggi, ilmu pengetahuan, dan cendekiawan - akademisi sebagai bagian penting penggerak perubahan dramatik (transformasi) bangsa secara nyata.

Paradigma tersebut mesti dimulai dari reposisi orientasi dari curriculum (program) centric ke peoples centric. Dimulai dengan mengenali secara fokus dan jernih siapa kelak manusia terdidik yang akan ditempa, siapa dan bagaimana pula akademisi yang akan memandunya. Lantas memahami dengan seksama keperluan dasar mereka sebagai manusia secara kontekstual dengan zaman baru dengan segala fenomenanya.

Para penyelenggara pendidikan tinggi, dengan demikian, mesti merumuskan dengan tepat kurikulum dan modal - investasi manusia yang hendak dihasilkan, ditupang strategi pendidikan dan pengajaran yang lebih terintegrasi dan progresif. Kepentingan utamanya adalah menciptakan kembali lembaga pendidikan tinggi, cendekiawan - akademisi, dan ilmu pengetahuan sebagai soko guru proses mencapai bangsa yang sehat, cerdas, sejahtera, dan bahagia. Tanpa kecuali, menyiapkan teknokrat dan penyelenggara negara yang memandang penting ilmu pengetahuan dalam setiap kebijakan negara.

Apalagi dalam banyak hal, proses pengambilan keputusan mendasar negara tidak bisa bergerak sendiri. Tak jarang proses politik, yang seringkali tak terukur, harus mendapatkan pertimbangan ilmu pengetahuan, sehingga tidak membuka intervensi politik pragmatis, yang membuka celah kejahatan substantif (kolusi, korupsi, nepotisma). Karena di tengah proses perubahan global yang dinamis, negara harus bergerak cepat. Kondisi semacam ini dalam banyak hal memengaruhi proses tata kelola dan budaya penyelenggaraan pemerintahan di dalamnya.

Saya sependapat dengan pandangan Risa Permana Deli (anggota Laboratoire Eropa de la Psyhology Sociale, dari Maison des Sciences de l’ Homme, Paris), " Kita harus membuat pikiran baru tentang pendidikan tinggi (Universitas ) yang bukan hanya bersoal tentang kebenaran pikiran, tetapi juga kebenaran tentang pengetahuan yang kita miliki sebagai Indonesia dalam seluruh perjalanannya sebagai sebuah bangsa dan negara." (Akademi Jakarta, 2023)

Karena pendidikan tinggi masih terus dipercaya sebagai sumber utama pikiran yang menyemaikan banyak gagasan untuk kemudian ditubuhkan untuk menjadi common-sense. Dan perlu selalu harus dihidupkan keyakinan, bahwa pendidikan tinggi bukan hanya sekedar otak dari seluruh pikiran modern. Melainkan, rahim yang melahirkan masyarakat modern, masyarakat yang berpikir, masyarakat yang menjaga kesadaran bersama sebagai anggota sebuah bangsa.

Dalam perspektif budaya, peran pendidikan tinggi, boleh mengambil pelajaran dan pengalaman intelektual di Aceh pada masa Nuruddin Ar-Raniry (1637-1644) di era Sultan Iskandar Tsani, yang berkelanjutan. Mewadahi dialog, pedebatan keilmuan, dan pengembangsan literasi selepas tragedi peluruhan karya dan ajaran Hamzah Fansuri (1639). Khasnya diskusi - dialog - perdebatan ilmiah antara Syekh Saifurrijal dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniry di Masjid Raya Baiturrahaman.

Negara Harus Menjamin

Dialektika keilmuan tersebut, terus berkembang upaya penelitian dan penggalian mendalam ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan, sehingga tiba masa Syiah Kuala yang memainkan peran ilmuwan sebagai 'cahaya moderasi - nuuran wasathiyah.' Cahaya dari sikap tegas menegakkan  sikap adil sebagai titian perdamaian ilmu agama dan humaniora (khasnya sosio budaya), khasnya di Aceh dan Melayu Nusantara. Sikap tidak menghakimi pemikiran dalam konteks salah dan benar.   

Sebagai cendekiawan (ilmuwan dan ulama), Syiah Kuala mampu memilih titik temu keilmuan antara paham Wahdatus Syuhud Nuruddin Ar-Raniry dengan Wihdatul Wujud Hamzah Fansuri. Sehingga dalam Hadih Maja Aceh terabadikan prinsip dasar keadilan itu dalam memutus perkara hukum: Adat bak Po Teumeruhom, qanun bak Putro Phang, hukom bak Syiah Kuala, Reusam bak Laksamana (Adat berada pada Sultan, Undang-undang pada parlemen, Hukum pada  ilmuwan, Kekuatan pada militer).  Hukom saya pahami juga sebagai acuan nilai dan norma sebagai landasan pijak aturan yang berorientasi pada keadilan.

Maknanya adalah, lembaga pendidikan tinggi dalam proses tibanya masa seabad Indonesia merdeka, mesti menjadi sumber penting acuan nilai dan norma dalam merumuskan kebijakan negara di tengah arus besar sains, teknologi, dan tsunami informasi. Di dalamnya, para akademisi - khasnya para guru besar - laksana Syiah Kuala, menjadi cahaya moderasi penyuluh jalan dalam proses visioneering..

Saya sependapat dengan Risa, karena pendidikan tinggi adalah "Rahim  sebuah Bangsa," maka untuk memangkas keruwetan dan membuat peta baru perjalanan bersama, kita perlu menghubungkan pendidikan tinggi dengan masalah-masalah yang nyata dari masyarakat, dan menjadikan masalah-masalah tersebut sumber pengetahuan yang hendak dikembangkan bersama seluruh makhluk kampus.

Lantas, "Mengembangkan pengetahuan tentang masalah-masalah pada setiap tempat dan menjadikan pengetahuan tersebut sebagai lokalitas ilmu yang hendaknya terhubung dengan lokalitas-lokalitas ilmu yang lain." Selain itu, "Mengarusutamakan kerja sama antar lokalitas ilmu dari Universitas-Universitas (lembaga pendidikan tinggi) nasional, seraya membuat peta lokalitas ilmu pada masyarakat Indonesia untuk mengidentifikasi kemajemukan pengetahuan yang dimiliki Indonesia, sekaligus untuk menghindari penyeragaman pola berpikir."

Penyelenggara negara dan cendekiawan, perlu memupuk keberanian (pengelola lembaga pendidikan tinggi) untuk keluar dari fantasi berada pada World Ranking University yang sejujurnya memberikan kriteria, yang akan selalu menjauhkan Universitas dari kebutuhan nyata masyarakat kita. 

Pengelola lembaga pendidikan tinggi dan kaum cendekia (akademisi) di dalamnya mesti dijauhkan dari perspektif rabun jauh ,karena selalu gagal melihat apa yang ada di depan mata. Konsekuensinya, negara harus menjamin hidup para akademisi dan menyediakan lembaga Pendidikan tinggi yang mampu menegaskan, bahwa berpikir dan berpengetahuan adalah sebuah kemerdekaan yang dijamin oleh negara. |

Editor : delanova | Sumber : berbagai sumber
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 248
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 474
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 466
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 438
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 954
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1176
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1443
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1589
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya