Simbolisasi Pahlawan dalam Kuasa Negara

| dilihat 2695

AKARPADINEWS.COM | SIAPA yang sebenarnya pantas menyandang gelar pahlawan? Apa kriteria dan pertimbangan negara memberikan gelar pahlawan kepada seseorang? Dan, sejauhmana nilai-nilai kepahlawanan itu membumi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara? Pertanyaan itu menggelinding setiap kali bangsa ini memperingati Hari Pahlawan tanggal 10 November.

Selama ini, peringatan Hari Pahlawan digelar secara seremonial, mengheningkan cipta sesaat, atau berziarah ke makam pahlawan. Namun, apakah kita, generasi yang masih hidup, yang menikmati udara kemerdekaan hasil pengorbanan darah dan air mata para pahlawan, sudah benar-benar mengaktualisasikan nilai-nilai kepahlawanan? 

Memang, peringatan Hari Pahlawan patut dilaksanakan sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan kepada para pejuang yang telah mengorbankan jiwa raganya untuk kemerdekaan bangsa. Seperti kata Bung Karno saat berpidato memperingati Hari Pahlawan 10 November 1961,  "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya.”

Lantas, muncul pula pertanyaan, apakah bentuk penghargaan dari negara sekadar mengukuhkan namanya dalam bingkai sejarah perjalanan bangsa ini? Bagaimana dengan transformasi dan aktualisasi nilai-nilai ideologis, filosofi, atau pandangan politik, sosial, maupun budaya dari sejumlah tokoh-tokoh besar yang telah memberikan andil besar bagi kemerdekaan maupun kemajuan bangsa ini?

Menjadi keprihatinan tatkala generasi bangsa ini hanya mengenal nama mereka, namun kurang memahami dan mengaktualisasikan nilai-nilai kepahlawanan, nasionalisme, pemikiran, dan pandangan para pahlawan yang turut menentukan perjalanan bangsa ini hingga menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat.

Sebuah pernyataan miris pernah disampaikan Zulfikar Kamaruddin, kemenakan Tan Malaka saat proses pembongkaran makam Tan Malaka di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, 12 September 2009 lalu. "Saya anggap negara ini naif. Kenapa seorang Tan Malaka yang benar-benar pendiri republik, justru tidak dikenal, tapi pahlawan yang koruptor justru bisa masuk Kalibata (Taman Makam Pahlawan)," ucapnya seperti dikutip situs detiknews.com (12/9/2009).

Tentu banyak tokoh bangsa lainnya yang kaya khasanah pemikiran dan kontribusinya bagi bangsa ini, namun tenggelam dalam catatan sejarah lantaran dianggap sempat berseberangan dengan rezim yang berkuasa. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Bagi anak-anak atau kalangan yang baru merangkak remaja, bayangan mengenai sosok pahlawan adalah seperti yang mereka tonton di televisi yang menayangkan film-film tentang nasionalisme, sosok yang superhero atau dengan membaca buku tentang sosok yang menjadi aktor utama dalam cerita rakyat. Sosok tentang pahlawan juga dikenalkan orang tua kepada anak-anaknya sebagai sosok yang melakukan kebaikan, tanpa balas jasa.

Di sekolah, para pendidik menjelaskan jika tanda jasa yang diberikan kepada pahlawan beragam jenisnya. Ada pahlawan kemerdekaan nasional, pahlawan nasional, pahlawan proklamasi maupun pahlawan revolusi. Ada pula pahlawan emansipasi wanita yang dilekatkan pada figur RA Kartini. Anak didik juga diajarkan juga tentang nilai-nilai kepahlawanan, termasuk kisah perjuangan para pahlawan yang memberikan kontribusi terhadap negara dalam buku-buku pelajaran sejarah.

Seorang pahlawan umumnya digambarkan sebagai sosok yang berani mengusir penjajah, dicintai rakyat, rela berkorban, dan sebagainya. Hingga kisah hidup dan wafatnya dijelaskan dalam buku sejarah, membentuk imajinasi anak didik tentang masa lalu yang dilakoni para pahlawan.

Sosok pahlawan pun semakin dikenal masyarakat karena wajah-wajah mereka menghiasi mata uang rupiah jenis kertas. Kapitan Pattimura dari Maluku yang berhasil menaklukan Belanda di Ambon pada uang bernilai Rp1.000.  Pangeran Antarasi, Sultan dari Banjar, Kalimantan Selatan, pada uang Rp2.000. Selanjutnya, sosok Tuanku Imam Bonjol yang memimpin Perang Padri (1803-1838) di Sumatera Barat.

Menurut sejarah, sebutan Perang Padri karena terdiri dari sekelompok ulama atau kaum Padri yang melawan kaum adat. Tuanku Imam Bonjol sebagai pemimpin kaum Padri dijebak oleh Belanda dan berujung pada pengasingan hingga akhir hayatnya. Sosok Tuanku Imam Bonjol terdapat pada mata uang Rp5.000. Begitupula Sultan Mahmud Baddarudin II dari Palembang, Sumatera Selatan, yang ada pada mata uang Rp10.000 dan digunakan sebagai nama bandara di Palembang.

Otto Iskandar Dinata, lahir di Bandung, Jawa Barat, dan merupakan menteri pertama pada Kabinet Pertama Republik Indonesia yang membentuk Badan Keamanan Rakyat dari laskar-laskar rakyat. Wajahnya diabadikan di mata uang Rp 20.000. Pada mata uang pecahan Rp50.000, ada I Gusti Ngurah Rai yang dikenal dalam Perang Puputan atau perang habis-habisan pada 20 November 1946. I Gusti Ngurah Rai pun diabadikan sebagai nama bandara di Bali.

Untuk nilai nominal tertinggi di mata uang Rupiah pecahan Rp 100.000 diabadikan Presiden dan Wakil Presiden RI pertama yaitu Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai tokoh utama dalam memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Saat rezim Orde Baru berkuasa, wajah Soeharto, selaku Presiden RI kala itu, diabadikan di mata uang Rp50 ribu.

Apa urgensinya wajah para pahlawan itu terpampang di mata uang? Sebenarnya, selain perlunya mengenang sosok pahlawan dan nilai-nilai kepahlawanan, hal yang paling urgensi adalah bagaimana mengaktualisasikan nilai-nilai kepahlawanan, bukan lebih bermotif pengkultusan.

Simbol mata uang sebuah negara pada dasarnya merefleksikan pemikiran dan kebudayaan negara tersebut. Berbeda dengan Indonesia, di Jepang, wajah-wajah yang menghiasi mata uang mereka adalah ilmuwan hingga sastrawan. Pada uang 1.000 Yen, tampak gambar Hideo Noguchi, ahli bakteriologis.

Lelaki kelahiran Inawashiro, Fukushima, 24 November 1876 itu menemukan spiroket penyebab sifilis. Dia pernah tiga kali dicalonkan sebagai penerima Hadiah Nobel Kedokteran. Beragam penghargaan diberikan dari Pemerintah Jepang dan pemerintah negara-negara lain kepadanya. Ia juga menerima gelar kehormatan dari sejumlah universitas, termasuk dari Raja Spanyol, Raja Denmark, dan Raja Swedia. Meski seabrek gelar kehormatan diterimanya, ia bukan sosok yang suka menonjolkan diri.

Pada pecahan 5.000 Yen diabadikan sosok perempuan yaitu Ichiyo Higuchi, seorang novelis terkenal pada masanya. Novelis yang bernama pena Ichiyo itu menulis novel perdana berjudul Yamizakura. Majalah Bungakukai memuat beberapa novelnya yang dipengaruhi aliran naturalisme.

Pengalamanya tinggal di sekitar lokasi prostitusi, Yoshiwara, menginsiprasinya menulis novel Takekurabe, yang dimuat bersambung di Majalah Bungakukai edisi Desember 1894. Selama 14 bulan, ia menulis, dan menghasilkan karya-karya seperti Yukukumo, Nigorie, dan Jusan-ya. Karyanya menuai pujian. Sayang, Higuchi mengidap penyakit tuberkulosa. 23 November 1896, di usia 24 tahun, Higuchi meninggal dunia. Kumpulan karyanya kemudian diterbitkan sebagai Ichiyo Zenshu.

Lalu, pada nominal terbesar yaitu 10.000 Yen, tampak wajah Yukichi Fukuzawa seorang tokoh pendidikan dan penulis. Sosok Fukuzawa diabadikan karena mengajarkan pentingnya perubahan paradigma pikiran baru sebagai kata kunci untuk mengubah suatu bangsa. Untuk menjadi bangsa maju, besar, dan lebih modern harus berani membuka wawasan berpikir, dan siap menerima ide-ide baru. Pemikirannya menginspirasi bangsa Jepang hingga saat ini. Bagi orang Jepang, para tokoh yang menyumbangkan pemikiran berupa ide-ide besar lebih dihargai sebagai pahlawan dibanding perjuangan secara fisik.

Jika mencontoh Jepang, di negara ini, tentu begitu banyak penulis, sastrawan, budayawan, tokoh pendidikan, dan sebagainya, yang jasanya begitu besar bagi bangsa ini, dan layak diabadikan di mata uang. Sebut saja, Mochtar Lubis, Pramoedya Ananta Toer, Sultan Takdir Alisyahbana, dan sebagainya.

Para pahlawan di Indonesia yang dikontruksi pada mata uang merupakan hasil diskursus dan kuasa negara, yang tujuannya, selain sebagai bentuk penghormatan, juga untuk mengintegrasikan bangsa yang majemuk ini. Jika diselami lebih mendalam, perjuangan para pahlawan mengusir penjajah lebih berorientasi lokal. Mereka membela rakyat di daerahnya agar terbebas dari cengkraman penjajahan, bukan perjuangan secara nasional. Perjuangan nasionalisme Indonesia mulai mengemuka setelah berdirinya Budi Utomo, 20 Mei 1908 yang kemudian dikenang sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Pahlawan dan segala kisah perjuangannya adalah bagian dari konstruksi penguasa atau negara yang bersifat politis dan sentralistis. Misalnya, terdapat taman makam pahlawan di Kalibata. Para pahlawan dijadikan nama jalan di berbagai daerah hingga patung-patung dan monumen kenangan di Museum Lubang Buaya, Jakarta untuk mengenang para Jenderal yang tewas dalam peristiwa G 30 S PKI yang kebenarannya masih dipertanyakan hingga saat ini. 

Di negara kepulauan dan dihuni multi etnik seperti Indonesia, pahlawan adalah produk negara sebagai bagian dari politik representasi identitas. Sosok pahlawan diabadikan untuk membangkitkan semangat nasionalisme bangsa Indonesia dan mengintegrasikan berbagai identitas suku. Suku Jawa, Sunda, Batak, Minang, Ambon, Sulawesi, dan sebagainya, merasa menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui representasi identitas pahlawan yang memperjuangkan bangsanya.

Namun, apakah sebutan atau gelar pahlawan hanya kepada seseorang yang diakui kepahlawanan melalui keputusan resmi negara? Bagaimana dengan seorang ilmuwan, penulis, seniman, olahragawan yang karya-karyanya mengharumkan nama bangsa? Mereka tentu pantas juga menyandang gelar pahlawan.

Di lingkungan terdekat pun dapat kita temukan para pahlawan yang berperan besar bagi kemaslahatan masyarakat, tetapi tidak menyandang gelar pahlawan dari negara. Sejatinya, pahlawan adalah sosok yang memberikan jasa kepada masyarakat, bangsa, dan negara, tanpa merasa ingin mendapat imbalan. Mereka yang menginspirasi juga layak disebut Pahlawan.

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 959
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1177
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1448
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1594
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya
Energi & Tambang