Ihwal Perangai Politisi

| dilihat 529

Nota Bang Sém

Boleh jadi karena tulang belakang, punggung, bagian belakang kepala, dan rusuk saya masih terasa nyeri, saya tidak belum bisa membayangkan bisa berjoget gaya serdadu Dai Nippon tahun 40-an. Apalagi gaya buldoser seradak seruduk buldoser. Mengikuti gaya tarian para bajidor mengiringi penari ronggeng, dombret, dan tayuban pun masih belum bisa.

Ketika diundang acara pembubaran panitia Jakarta Melayu Festival 2023 -- beberapa waktu berselang -- menari Ronggeng Melayu pun saya belum bisa.

Saya kudu tahu diri. Tak terkecuali untuk berbagai urusan lainnya. Saya tak hendak mengekspresikan rasa gembira dengan menari yang memerlukan eksplorasi seluruh raga. Termasuk seradak seruduk dalam kehidupan nyata untuk meningkatkan ambisi menjadi aksi ambisius memburu apa pun.

Seradak seruduk dan bahkan berkutat erat untuk mewujudkan ambisi memburu posisi, memang bukan watak saya. Selain itu, saya terpengaruh oleh pandangan Lena Ramstetter - analis dari Departemen Ilmu Politik - Universitas Salzburg, Austria (2021) ihwal perangai politisi yang mencari perhatian khalayak dengan tingkah berlebih untuk menutupi kegusaran dan kegamangan dirinya.

Gaya cari perhatian politisi atau mindfulness telah mengusik para peneliti untuk menyoroti perilaku personal ke dalam perilaku politik. Termasuk dalam hal cara politisi mengelola emosinya, sehingga sering lepas kontrol. Tanpa kendali dan pengelolaan yang tepat dan benar, emosi politisi pemburu kekuasaan bisa membahayakan dirinya, partai politiknya, bahkan negara dan bangsanya.

Berbagai penelitian ilmuwan politik, menurut Ramstetter, memberikan banyak bukti bahwa mindfulness membentuk proses dan keadaan psikologis yang terkait dengan sikap dan perilaku politik.

Selama ini, ilmu politik terkesan mengabaikan mindfulness  politisi sebagai faktor penjelas potensial yang membentuk sikap dan tindakan politik. Ramstetter lantas memperkenalkan mindfulness sebagai konsep multifaset, mendiskusikan ciri-ciri definisinya dan mengungkap mekanisme mindfulness yang memengaruhi kemampuan kognitif dan emosional.

Karenanya penelitian tentang korelasi ilmu politik dan dialektika (langsung tak langsung) dengan ilmu saraf dan psikologi sosial, menjadi penting.

Daya kognitif, psikomotorik, dan afeksi yang kemudian dapat membentuk kondisi psikis dan psikologis politisi menjadi sesuatu yang penting dicermati. Khasnya dalam konteks mindfulness dengan kerja-kerja buzzer dan influencer berbayar untuk melakukan framing yang kelak menjadi acuan pembenaran survei politik.

Tak sedikit politisi yang dikemas sedemikian baik pesonanya di depan pemberita, media, dan khalayak, namun berbeda dalam laku kehidupannya sehari-hari dalam realitas pertama. Kalem dan terkesan berjiwa stabil pada realitas kedua, namun bertolak belakang dengan kenyataan pada realitas pertama.

Banyak juga politisi yang pesona personanya dalam realitas kedua (di depan pemberita dan media) sama dengan realitas pertama kehidupannya sehari-hari. Tak ada kemasan, tak ada pula framing pencitraan.

Politisi yang ambisius, selalu cenderung bermain dalam wilayah pragmatisma, termasuk mudah menghalalkan politik praktis transaksional pada peristiwa demokrasi (pemilihan umum). Ia akan dikemas sedemikian oleh lingkungan internalnya untuk  selalu menutupi watak, karakter, daya personal leadershipnya yang asli.

Mereka, pada umumnya menjalani proses politik berdasarkan intuitive reason dan mudah menerima siasat akal-akalan politik. Berbeda dengan politisi yang konsisten dengan ideologi, sikap, dan preferensi politiknya sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan berbasis akal budi.

Individu politisi yang watak aslinya seradak-seruduk dan menghalalkan segala cara -- meski tak harus menjadi Maachiavellian -- menurut Becker (1976) memiliki preferensi transitif yang mereka sadari sepenuhnya. Mereka, sering mempertimbangkan keputusan-keputusan politiknya dengan mempertimbangkan biaya dan manfaat untuk mencapai ambisi dan kepentingan pribadi yang telah ditentukan sebelumnya.

Politisi macam begini, ketika berhadapan dengan khalayak yang kian cerdas dan mempunyai preferensi politik yang lebih rasional dan dekat dengan keperluan prioritas kehidupannya, akurat dan cermat, akan rontok dengan sendirinya.

Apalagi kini, ketika media sosial sangat memudah menguak dan mendobrak framing pesona persona, politisi yang berada dalam kemasan rekacitra tak akan memenangkan kontestasi.

Rakyat (sebagai konstituen) yang punya pengalaman panjang mengikuti peristiwa demokrasi dan tak berubah nasibnya, punya sikap sendiri dalam menilai politisi. Sebagai konstituen, mereka akan mudah menyeret para politisi yang mengalami ambivalensia, masuk dalam electoral trap. Lantas terjerembab dalam kubangan fantasi yang dibangun melalui survei politik.

Sebaliknya, politisi yang watak aslinya normal-normal saja -- dan hanya sekali sekala menampilkan gimmick-gimmick komunikasi politik gaya alan-alan (komedian) -- justru akan mendapat simpati, empati, apresiasi dan respek. Bahkan beroleh cinta dari rakyat sebagai konstituen sebagai subyek dalam peristiwa demokrasi.

Rakyat yang semakin cerdas dan berkesadaran tinggi sebagai konstituen akan melihat para politisi - kontestan peristiwa demokrasi dari aspek kemampuan leadershipnya. Tanpa kecuali aspek pendidikan, identitas sosial, dan konstelasinya di hadapan media yang juga mengalami anomali.

Tak sedikit ilmuwan dan peneliti politik yang memanfaatkan kemajuan ilmu saraf, seperti ungkap McDermott (2004) meyakini, bahwa dalam memilih kontestan (politisi) rakyat melihat hubungan antara emosi dan sikap. Seirama dengan aksi ilmuwan dan peneliti politik yang menyoroti peran mediasi proses kognitif dan kemampuan emosional para kontestan.

Rakyat sebagai konstituen, secara alamiah akan memproses segala informasi akurat tentang para kontestan, termasuk kemampuan kontestan melakukan pengaturan emosi dan sikap politik. Lantas menyeleksinya dengan akal budi yang sehat.

Selain itu akan kian menguat resonansi politis yang mengalirkan kesadaran dalam menentukan pilihan secara sadar, setelah menilai proses emosi dan kognisi kontestan yang saling terkait.

Rakyat akan menilai obyektif semua politisi yang sadar, setengah sadar atau tak sadar mengirim pesan watak asli mereka -- melalui media (khasnya media sosial) -- termasuk sikap dan aksi sradak-sruduk. Rakyat pun akan melihat dengan jernih, siapa politisi yang pantas dan tidak pantas, laik dan tidak laik memimpin bangsa - negara. Kelak, rakyat sebagai konstituen menggunakan cara dan keyakinannya sendiri untuk sungguh menunjukkan daulatnya.

Perangai politisi yang sekaligus menggambarkan perangai politik mereka, tercatat dalam sejarah bangsa, seberapa besar kontribusi mereka meruntuhkan muruah bangsa (nation dignity) atau sebaliknya: memperkokoh marawa bangsa. |

Editor : delanova
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 246
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 469
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 463
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 434
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 527
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1620
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1400
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya