Gagasan Alih Sempurna Tanah Kesultanan Deli kepada Kementerian BUMN (Bagian II)

Jasa Sultan Deli Mendukung Republik

| dilihat 426

Prof. Dr. OK Saidin, SH., M.Hum

Jika di atas konsesi (berdasarkan Grant Sultan Deli) dibangun sarana-sarana lain seperti perumahan, kantor oleh perusahaan lain antara perusahaan lain itu dengan pihak pemegang konsesi, dibuat perjanjian atas Izin Sultan.

Hak yang baru yang diletakkan di atas tanah yang dikonsesikan tadi dicatatkan yang disebut dengan Eigendom Pervonding. Eigendom Pervonding ini bukan Eigendomrecht yang kemudian dikenal sebagai hak milik menurut ketentuan Pasal 570 KUH Perdata, tetapi hak yang diletakkan di atas tanah yang sudah dikonsesikan.

Hak yang dilekatkan terhadap tanah yang sudah terhak lebih dahulu yakni tanah konsesi. Misalnya Tanah yang dikonsesikan kepada Deli Maatschappij kemudian dimohonkan haknya oleh Deli Spoorweg Maatschappij.

Tanah-tanah yang dikonsesikan yang berada di sekeliling wilayah pemerintah kota (Gemeente), yang dipergunakan oleh perusahaan perkebunan untuk kantor, rumah-rumah dinas pejabat perkebunan, balai-balai pertemuan seperti Club House Witte de Societe yang kemudian dikenal dengan Medan Club, Rumah-rumah staf dan karyawan Deli Spoorweg Maatschappij yang sekarang berdiri Gedung Center Point, Rumah Sakit seperti yang terletak di Jalan Kolonel Laut Yos Soedarso yang dikenal dengan Rumah Sakit Tembakau Deli dan Gedung Para Medis yang dulu dikenal Gedung Testak yang sekarang menjadi tapak Hotel J.W.Marriott, Kantor Perusahaan dan Rumah Staf Deli Maaschappij yang sekarang sebagian menjadi Capital Building dan Pusat Perbelanjaan dan Apartemen Deli Park yang terletak di Jalan Balai Kota dan Persimpangan Jalan Guru Patimpus.

Satu hal yang perlu dipahami adalah bahwa, status tanah-tanah di Pulau Jawa berbeda dengan status tanah-tanah yang ada di Kawasan Kesultanan Melayu di Sumatera Timur, termasuk di Kesultanan Deli, Serdang dan Langkat serta sebagian di Kesultanan Asahan dan di Wilayah Batubara.

Acte van Schenking

Di wilayah Kesultanan Deli, tidak ada Domein Verklaring, tanah-tanah yang ada di Wilayah Kesultanan Deli adalah milik Sultan Deli. Sultan Deli kemudian memberikan hak itu kepada kaula dan masyarakat adatnya.

Itulah yang kemudian dikenal dengan Grant Sultan. Sebagian diserahkan kepada kepada Pemerintah Kota di bawah Acte van Schenking.

Sebagian untuk perusahaan-perusahaan perkebunan asing diberikan dengan konsesi. Konsesi adalah perikatan perdata. Bukan perbuatan sepihak Sultan Deli yang dituangkan dalam surat keputusan pemberian hak.

Sehingga tak ada tanah dengan status Eigendomrecht, Erfachtsrecht di Wilayah Kesultanan Deli dan Wilayah Kesultanan Sumatera Timur lainnya.

Tanah bukan milik raja Belanda seperti Domein Verkalring di Pulau Jawa, untuk nanti dibedakan dengan tanah dengan status Acte van Ommstand van Erfachtrecht juga dengan Tanah status Eigendom Verponding. Akte-akte itu seperti hak Barat.

Tapi itu bukan hak Barat yang diberikan oleh Raja Belanda tapi itu Hak Barat yang diizinkan oleh Sultan Deli untuk dipergunakan terhadap tanah-tanah yang sudah terbebani (Bezwaarde Ground) dengan Hak Konsesi. Jadi bukan tanah bebas atau tanah tak bertuan. Itu kisah keberadaan tanah-tanah di Kesultanan Deli Pra Kemerdekaan.

Bukti Autentik Mendukung Republik

Waktu terus bergulir, para Sultan se-Nusantara terus menjalin komunikasi melalui telegraf dan surat-menyurat.

Pada bulan Desember 1945 Sultan Deli mendapat telegram dari panitia Kongres Pemangku Adat se-Sumatera. Isinya adalah untuk menghadiri pertemuan raja / sultan / pemangku adat se-Sumatera pada tanggal 21-23 Desember 1945. Dalam pertemuan yang berlangsung selama 3 hari itu, Toenkoe Sulthan Oesman Alsani Perkasa Alam, Sultan Negeri Deli selaku Ketua Kongres menyampaikan dalam pidato penutupan kongres kalimat sebagai berikut: “Moedah2an para hadirin dan hadirat baikpoen dari kalangan Kaoem tjerdik pandai serta alim oelamanja akan menjokong kongres ini dan mendoakan soepaja tertjapai persatoean seloeroeh pemangkoe adat di Soematera ini jang berdiri tegoeh menjokong Repoeblik Indonesia.”

Bukti autentik dimana Sultan Deli mendukung penuh terbentuk dan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, padahal waktu itu Deli adalah sebuah Kerajaan, sebuah Negara yang memiliki kedaulatan sendiri.

Banyak peristiwa terekam dan tidak terekam yang memperlihatkan peran para Sultan se-nusantara dalam mewujudkan negeri yang merdeka. Pada Tahun 1959, Sultan Deli menolak untuk pembentukan Negara Sumatera Timur. Bukti kecintaan dan kesetiaan Deli terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Segera setelah itu Sultan Deli dan seluruh Sultan yang hadir berkomitmen untuk menyokong Republik Indonesia yang baru. Secara perlahan-lahan kekuasaan politik, sebagai wilayah Kesultanan yang memiliki daulat secara otonom dengan smart, smooth, dan elegan berpindah ke tangan Republik. Sultan Deli dalam upayanya bertahun-tahun membangun negerinya, meninggalkan warisan budaya materil dan immaterial.

Budaya Materil dan Immateril

Dalam konteks budaya materil, Sultan Deli meninggalkan kebun-kebun yang luas, dari kontrak-kontrak konsesi, Deli Maaschappij, Deli Rubber Maaschaapij, Arensberg Maastchappij, American Company, kemudian menjadi Perkebunan Negara, sekarang menjadi PT Perkebunan Nusantara II, III dan IV (Persero).

Sultan Deli juga meninggalkan pembangunan infrastruktur, Telefonken Maastchappij, Deli Spoorweg Maatchappij, Ajer Bersih Maaschappij, masing-masing di kemudian hari menjadi, PT. Kereta Api Indonesia. PDAM Tirtanadi, Saranan Kantor Pos, Hotel dan kantor-kantor pemerintah, yang dibangun di atas tanah milik Kesultanan Deli, seperti Pelabuhan Udara Polonia, Pelabuhan Laut Belawan, semuanya kelak di kemudian hari diwariskan sebagai asset bangsa dan negara.

Dalam bidang budaya immaterial, peradaban dan budaya yang santun lagi lemah lembut, meninggalkan bentuk jalinan kekerabatan dan interaksi sosial yang egaliter, mampu menciptakan suasana kondusif di tengah-tengah masyarakat yang multi etnik.

Hal sedemikian telah mencatat bahwa Deli telah meninggalkan warisan peradaban masyarakat modern yang kelak menjadi contoh pembangunan di Indonesia dengan suasana kerukunan yang terpelihara, yang mengundang banyak investor. Lagu-lagu serta tarian modern pun turut disumbangkan dari Istana yang bertuah ini.

Tidak itu saja, sajian kuliner, tata krama berpakaian, adab dan akhlak yang religius telah menjadi dasar pembentukan karakter warga Melayu yang kemudian banyak dicontoh oleh warga-warga lain. Sebut saja adat perkawinan yang megah, sya’ir, pantun dan petatah petitih yang berisikan nasihat-nasihat dan petuah-petuah. Itu adalah warisan budaya yang tak ternilai harganya yang ditinggalkan oleh Kesultanan Deli. | Bersambung ke Bagian III : "Punya Karya Nyata, Belum Punya Pahlawan Nasional."

 

Prof. Dr. OK Saidin, SH., M. Hum - Ketua Program Studi Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia (APHKI) 2017-2020 dan 2020-2023.

 

Baca Artikel Bagian I : Rahum Limpah Kuasa Sultan Deli

 

Editor : delanova
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 534
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1629
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1405
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Energi & Tambang