Kegagalan Survey Politik Memprediksi Hasil Pemilu

| dilihat 433

Nota Bang Sèm

Sejak para mahasiswa dari berbagai kampus mulai bosan dan malas-malasan direkrut sebagai petugas surveyor, setarikan nafas, khalayak ogah-ogahan menjadi responden beragam survey politik. Lantas, hasil survey bagaimana yang pantas dan patut dipercaya?

Apalagi survey dilakukan dengan memandang masa post trust yang memembuncahkan kegamangan, ketidakpastian, keribetan, dan kemenduaan sebagai suatu keniscayaan.

Adalah Zhenkun Zhou, Matteo Serafino, Liuciano Cohan, Guido Caldarelli dan Hernán A. Makse (2021) sepakat menyatakan, metode jajak pendapat tradisional -- yang menggunakan wawancara telepon dengan panggilan acak, responden yang ikut serta dalam survei daring, dan respons suara interaktif -- gagal memprediksi hasil pemilu di seluruh dunia.

Pengalaman kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat 2016, mereka tunjuk sebagai fakta yang mengejutkan banyak pihak. Pasalnya? Tak ada satupun survey atau jajak pendapat yang 'memprediksi'. Bahkan, komentator, jurnalis dan pakar yang dapat memprediksi kemenangan ini.

Berbagai faktor mempengaruhi rakyat, konstituen, dalam mengambil keputusan akan memilih siapa kandidat presiden dan wakil presiden, juga calon anggota parlemen.

Salah satunya adalah meningkatnya populasi pemilih cerdas dan rasional, serta pemilih muda dalam pemilihan umum. Pemilih yang mempunyai motivasi dan tendensi yang tak bisa diduga sebelumnya. Mereka menilai kinerja, performa (termasuk perilaku) para kandidat.

Pilihan Raya Umum (PRU) 15 Malaysia (2022) adalah contoh lain, ketika rakyat sebagai konstituen mengambil keputusan 'menghukum' seluruh partai dan calon-calon diasong, sehingga tak ada partai politik yang memperoleh kepercayaan wajar dari rakyat untuk membentuk pemerintahan.

Dua pekan terjadi hang government, sampai Yang Dipertuan Agong (YDPA) 16, Sultan Abdullah mengambil peran strategisnya menyelamatkan stabilitas politik dengan membuka peluang dan memberi panduan bagi terjadinya pemerintahan campuran: Pakatan Harapan - PH (Anwar Ibrahim cum suis), Barisan Nasional - BN (Zahid Hamidi and his gank), Gabungan Parti Sarawak - GPS (Abang Johari Openg cum suis), Gabungan Rakyat Sabah - GRS (Hajiji Noor), Warisan (Shafie Apdal cum suis), dan tiga partai kecil (Muda, Parti Bangsa Malaysia, Parti Kesejahteraan Demokratik Malaysia). Adalah berkat peran YDPA dan para Sultan Negeri yang terus menerus menyerukan stabilitas politik, pemerintahan yang dipimpin Perdana Menteri X Anwar Ibrahim masih bertahan hingga hari ini.

Prediksi jajak pendapat jelang PRU 15, bahwa Pakatan Harapan dan Barisan Nasional akan unggul, tak terbukti. Bahkan Barisan Nasional dan UMNO (sebagai partai utamanya) harus melewati dengan 'berdarah-darah.' Partai Gerakan keluar dari BN, bergabung bersama Partrai Bersatu Malaysia dan Partai Al-Islam Se-Malaysia (PAS) dalam Perikatan Nasional (PN) sebagai pembangkang (oposisi). Zahid Hamidi - Presiden UMNO mesti melakukan tindakan yang menimbulkan 'luka dalaman' dengan 'menggantung' keanggotaan Hishamuddin Hussein dan Shahril Hamdan, dan Tajuddin Abdul Rahman, memecat Annuar Musa dan Shahidan Kassim (kini bergabung dalam PAS), Noh Omar, Khairy Jamaluddin, dan sejumlah tokoh penting lainnya.

Di Indonesia, pengalaman Pilkada DKI Jakarta 2017 juga menunjukkan hal sedemikian. Anies Rasyid Baswedan (dan Sandiaga S. Uno) yang dalam jajak pendapat selalu berada di nomor 'buntut' dipilih oleh rakyat sebagai pemenang.

Mengemuka fenomena, hasil survey politik tidak identik dengan kenyataan kemudian, pendapat komentator politik -- yang sering tampil dalam acara 'temu bual' (talkshow) televisi -- meleset dan tak berdampak.

Pertarungan komunikasi melalui platform media sosial (via buzzer berbayar, influencer, dan bahkan cyber warrior) untuk menciptakan opini a la 'politik belah bambu' (mengangkat yang satu dan menginjak yang lain) tertakluk oleh sebaran informasi yang lebih mendahulukan akal budi.

Apa pasal? Zhou dan kawan-kawan menganalisis dengan cermat, bahwa survey politik gagal memprediksi hasil pemilihan umum, secara teknis disebabkan oleh menurunnya persentase respons yang kian terkendala untuk mendapatkan opini masyarakat.

Jajak pendapat dengan menggunakan saluran langsung dengan pewawancara, tahun 2021 mencapai batas bawah 6 persen. Dalam pandangan Zhou, tingkat respons bisa lebih rendah lagi untuk metodologi lain, seperti jajak pendapat internet atau respons suara interaktif.

Persoalan lain, menurut Zhou cs adalah mis-representasi responden survei. Artinya, responden yang disurvei oleh lembaga survei tidak mewakili distribusi demografis populasi umum. Hal ini berdampak pada pembobotan responden survei sesuai dengan demografi umum populasi dalam proses penyeimbangan responden atau ranking.

Karena itu, di Malaysia misalnya, dalam menghadapi Pilihan Raya Negeri (PRN) di enam Negeri (Kelantan, Kedah, Selangor, Pulau Pinang, dan Negeri Sembilan) yang akan berlangsung 12 Agustus 2023 mendatang, partai-partai yang memilih tokoh-tokoh yang bertanding sesuai dengan kondisi dan situasi mutakhir. Termasuk memprediksi kelompok demografis yang akan datang ke tempat pemungutan suara (TPS).

Karenanya dalam kampanye masih mengemuka isu-isu perkauman dan agama sesuai dengan kenyataan populasi pemilih (konstituen) yang masih terikat kuat oleh traditional authority relationship (TAR). Termasuk isu-isu berkaitan dengan hajat hidup rakyat. Mulai dari living cost (kos sara hidup), krisis air bersih, merosotnya kondisi ekonomi makro dan mikro (tanpa kecuali pencairan uang simpanan pekerja), krisis telur, dan lain-lain.

Isu-isu dalam kampanye di lapangan juga mengemuka dalam sidang-sidang parlemen, meski seringkali dengan teknik perbalahan (ngotot-ngototan) yang didominasi oleh retorika politik.

Akankah semua cara kaum Machiavellian tersebut akan mampu membangkitkan kepercayaan rakyat terhadap hasil survey politik? Belum tentu.

Zhou cs berpandangan, bias nonrespons dan mis-representasi mungkin merupakan alasan, mengapa jajak pendapat tidak mampu memprediksi hasil pemilu yang sesuai secara akurat. Apalagi kampanye politik, sering sangat terpolarisasi dan dipengaruhi kuat oleh bias hasrat sosial, yang disebut efek Bradley.

Umpamanya, kecenderungan responden survei untuk tidak mengatakan yang sebenarnya tentang hasrat dukungan terhadap kandidat yang dipandang menjadi korban pengucilan politik. Hal ini mengemuka dalam pemilihan umum di Thailand 2023 yang memenangkan partai More Forward dan menghadirkan sosok pemimpinnya, Pita Limjaroenrat sebagai penggerak pembaruan.

Kegagalan survey politik ditunjukkan Zhou cs dengan mengangkat kegagalan dalam memprediksi pemilu Argentina 2019, yang melibatkan kandidat kontroversial (Cristina Fernández) yang sangat kurang diprediksi dalam survey.

Dalam berbagai kasus, khasnya di Amerika Serikat, Argentina, Malaysia, juga Thailand, survey politik lengah terhadap arus besar pergerakan jejaring sosial para relawan murni yang menghendaki perubahan. Menyimpan daya dukung rakyat sebagai silent mayority dengan gerakan senyap yang tak terekam oleh survey politik dan tak terhampiri dalam data set lembaga survey.

Belum lagi gerakan aksi relawan dan mesin partai yang bergerak meyakinkan rakyat melalui frekuensi dan volume arus informasi senyap yang sesuai dengan hasrat sosial rakyat, sentimen keberpihakan, eksplorasi dan eksploitasi isu-isu khas oleh relawan, jaringan, dan juga, penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam pemrosesan hasrat dan kehendak pemilih. AI yang dikelola secara khusus untuk memilah data - informasi asli dan nyata dengan data - informasi sampah.

Dalam penelitiannya, Zhou cs menemukan bahwa representasi demografis yang buruk dari survei-survei yang dilakukan di berbagai negara, menunjukkan kegagalan survey politik memprediksi hasil pemilihan umum, juga disebabkan oleh praktik mengkombinasikan data presumtif dengan data yang diperoleh dari responden inkonsisten.

Responden yang berubah akal menjebak survey ke dalam mis-representasi yang besar dari sampel dalam survei-survei tersebut dibandingkan dengan populasi pemilih.

Pengalaman Argentina -- dengan sistem 'kewajiban memilih' bagi rakyat menunjukkan, partisipasi rakyat yang cukup tinggi yaitu +80 persen --, survey-survey politik tak mampu membaca kondisi sebenarnya hasrat dan kecenderungan memilih kandidat. Bias hasrat sosial, tak terekam survey. Karenanya, pemenang pemilu tidak terprediksi oleh hasil survey.

Dalam konteks demikian, lembaga-lembaga survey independen diperlukan, agar relawan dan rakyat pemilih memperoleh informasi yang lebih obyektif dan seimbang. Relawan-relawan yang berkomitmen mewujudkan pemilihan umum demokratis berkeadilan, perlu lebih cerdas membaca hasil survey politik |

Editor : delanova | Sumber : berbagai sumber
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 749
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 903
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 858
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 248
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 344
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya