Munajat Kebangsaan dan Nafas Nasionalisme Religius dalam Apel Perubahan Nasdem

| dilihat 373

Nota Bang Sèm

Ahad, 16 Juli 2023, saya berada Stadion Utama Senayan (berdasarkan SK Presiden No. 7/2001 berubah nama menjadi Gelanggang Olahraga Bung Karno - GBK).

Stadion ini dibangun sejak 8 Februari 1960 dan diresmikan 24 Agustus 1962 oleh Presiden Soekarno bertepatan dengan pembukaan Asian Games.

Stadion Utama Senayan memang dibangun dan diperuntukan sebagai kelengkapan sarana dan prasarana perhelatan pesta olah raga Asia tersebut. Setahun kemudian, dipakai untuk Ganefo (Games of the New Emerging Forces) ke 1.

Saya punya banyak kenangan atas Stadion Utama itu dan kawasan kompleks olah raga Indonesia, itu. Di stadion itu, pada pembukaan Asian Games dan Ganefo, saya berada di antara ratusan bocah, murid sekolah rakyat (kemudian dikenal dengan Sekolah Dasar), mengenakan celana pop warna merah hati, menjadi bagian dari peserta aubade.

Stadion tersebut dibangun di atas perkampungan penduduk, khasnya kaum Betawi, yang mengikhlaskan lahan mereka, lalu pindah ke beberapa wilayah kota Jakarta, antara lain Slipi, Tebet, Kebayoran Baru, dan Lebak Bulus.

Di stadion utama itu juga, pada dekade 1970-an selepas fusi partai-partai politik, saya menyaksikan ribuan massa Partai Ka'bah (Partai Persatuan Pembangunan - PPP) melakukan apel akbar - kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 1971 -- yang diselenggarakan berdasarkan Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 yang menetapkan asas Pemilu bersifat langsung, umum, bebas, dan rahasia. Lantas, berdasarkan Ketetapan MPRS No. XLII/MPRS/1968 ditetapkan waktu 5 Juli 1971.

Pada masa itu, duplikat Ka'bah dibentuk dan diletakkan di tengah-tengah stadion utama tersebut. PPP menang di Jakarta dan di parlemen memainkan peran sebagai 'oposan' fungsional dan proporsional. 

Orientasi Ideologis

Zaman berubah. Sistem penyelenggaraan Pemilu dan hal ihwal partai politik pun berubah. Golongan Karya (Golkar) berkuasa sampai tahun 1998. PPP pun kian kehilangan daya dan ditinggalkan para konstituennya, karena berbagai alasan.

Era orientasi politik pembangunan yang menempatkan pembangunan ekonomi sebagai 'panglima,' menggantikan era Nasakom (Nasionalisme - Agama - Komunis) yang menempatkan politik sebagai 'panglima,' berakhir pada Pemilu 1999.

48 partai politik berkontestasi pada Pemilu 1999 selepas berlangsung gerakan reforamasi. Politik, kembali menjadi 'panglima.' Orientasi idelogis (partai-partai) politik yang memenangkan Pemilu 1999 bertumpu pada Pancasila dengan format nasionalisme - religius, sampai kini.

Namun, sejak Pemilu 1971 sampai Pemilu 2019 dalam berbagai aktivitas politik, secara pribadi, saya belum pernah menyaksikan ekspresi budaya yang menunjukkan keragaman budaya sebagai ciri identitas ke-Indonesia-an yang riang gembira.

Ekspresi keragaman budaya melalui busana adat daerah, selama ini, lebih nampak mengemuka pada acara formal kenegaraan, terkait dengan peringatan hari kemerdekaan.

Bahkan dalam konteks religiusitas, belum pernah ada pemimpin partai politik dan atau tokoh Calon Presiden yang mereka usung, mengambil inisiatif mendo'akan rakyat, negara, dan bangsanya.

 

Kemegahan Pluralitas Indonesia

Pesona nasionalisme religius dan politik riang gembira baru saya dapatkan pada Ahad, 16 Juli 2023 dalam Apel Siaga Perubahan Partai Nasdem (Nasionalis Demokrat) di Stadion Utama Senayan tersebut.

Saya hadir di situ karena terdorong oleh rasa ingin tahu, bagaimana partai politik menghelat suatu peristiwa politik sebagai peristiwa yang mengekspresikan sikap ideologis nasionalisme religius yang tidak meletakkan sesanti 'bhinneka tunggal ika,' di ujung lidah.

Mengesankan, memang! Pesona keragaman budaya, spirit kebangsaan dan religius yang mencerminkan Indonesia dan ke-Indonesia-an dalam kemasan modern dan visioner terasa.

Sejak acara bermula sampai berakhir, suasana tersebut sangat terasa dan meresonansi puluhan ribu partisipan, baik kader maupun simpatisan yang datang dari berbagai daerah.

Perancang acara perhelatan ini, berhasil secara pas dan proporsional menerjemahkan gagasan ideologis dan mampu membangun suasana sukacita - riang gembira. Mampu membalik perspektif, bahwa peristiwa politik adalah peristiwa budaya tanpa kehilangan daya ideologisnya.

Kemegahan pluralitas dan kedalaman religiusitas Indonesia, dan spirit perubahan untuk menambah baik pencapaian selama ini, termasuk kesadaran melakukan introspeksi diri, sangat terasa.

 

Pemimpin yang Mendo'akan Rakyat

Silaturrahmi politik antar partai yang berkomitmen untuk melakukan koalisi (Partai Nasdem, Partai Nasdem, dan Partai Keadilan Sejahtera) nampak ekspresi soliditasnya. Kehadiran wakil-wakil dari Partai Golkar, mengisyaratkan, spirit silaturrahmi yang menguatkan simpul solidaritas. Aksentuasi 'persatuan' dalam konteks kebhinnekaan terasa.

Pidato politik Anies Rasyid Baswedan, sebagai Calon Presiden yang diusung Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera, menjadi sejarah kebangsaan yang melahirkan komitmen relasi pemimpin, partai politik, dan rakyat.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah politik modern Indonesia, seorang pemimpin -- Calon Presiden -- memandu puluhan ribu orang mendoakan rakyat, negara, dan bangsa. Munajat tematik, mengekspresikan religiusitas yang kuat, untuk meneguhkan perjuangan komitmen melayani rakyat.

Puluhan ribu orang di dalam Stadion Utama Senayan tersebut mengaminkan do'a, ekspresi munajat kebangsaan seorang pemimpin. Do'a yang dibacakan Anies adalah substansi munajatnya ketika beribadah haji bulan Dzulhijjah lalu.

Munajat itu sekaligus menceminkan eksistensi Anies sebagai pemimpin yang memahami hakikat amanah (mengemban kepercayaan), shiddiq (berkomitmen pada kebanaran), fathonah (bernas), dan tabligh (komunikatif).

Lewat munajat dalam pidatonya, Anies menegaskan kontrak psikologis antara dirinya sebagai pemimpin dengan rakyat dan pengikutnya, bahwa dia berikhtiar melakukan yang terbaik untuk melayani, membimbing, melindungi, dan memperlakukan rakyat dengan adil seadil-adilnya. Fokusnya adalah melakukan perubahan menambah-baik kebajikan yang sudah ada dan menghadirkan kebajikan baru.

 Menjadi Sungguh Indonesia

Setarikan nafas, pidato Surya Paloh menyegarkan semangat dan komitmen kader Partai Nasdem untuk memainkan peran sebagai pelopor dalam perjuangan mewujudkan nilai-nilai hakiki kebangsaan yang tersimpul dalam Pancasila sebagai dasar negara. Termasuk mewujudkan secara bersungguh-sungguh sesanti bhinneka tunggal ika di atas landasan konstitusi.

Surya Paloh, dalam kapasitasnya sebagai ideolog dan pemimpin Partai Nasdem, sedang menunjukkan perspektif kebangsaan dalam praktik politik riang gembira, dan tahan banting. Menghadirkan gerakan perubahan melalui minda restorasi melalui kepemimpinan yang lebih baik.

Anies dan Surya Paloh, pada Apel Siaga Perubahan Partai Nasdem tersebut, terkesan kuat sedang menggugah kesadaran baru tentang ke-Indonesia-an (di atas kenyataan) untuk mengubah nasib. Sekaligus menegaskan komitmen dalam merawat spirit dan cita-cita pendiri bangsa dengan platform yang sesuai dengan perkembangan zaman.

Saya mencatat, Anies maupun Surya Paloh terasa menggugah dimensi kedalaman insaniah seluruh kader dan rakyat sebagai warga negara dan warga bangsa Indonesia.

Dalam satu tarikan nafas, Anies dan Surya Paloh menghidupkan lagi bara kepemimpinan yang melibatkan pengaruh antar pribadi, tanpa harus dibingungkan oleh dua konsep yang diusung politisi pargamatis, yakni : otoritas dan kekuasaan.

Anies dan Surya Paloh, saya pahami, melalui pidatonya sedang menempatkan otoritas dan kekuasaan -- dalam konteks partai dan kepemimpinan -- sebagai kemampuan mengerahkan modal insan, informasi, dan politik untuk menyelesaikan persoalan aktual bangsa. Hari ini dan esok.

Kesemua itu menjadi segar dan relevan dengan kondisi kebangsaan yang memerlukan kesiapan matang dalam mewujudkan agenda utama bangsa ke depan, yakni: menegakkan kebenaran dan keadilan, memproduksi kebajikan, menerapkan kebijaksanaan, untuk mencapai kebahagiaan hidup kolektif yang beroleh ridha Ilahi.

Saya memandang, kesiagaan melakukan perubahan ini menjadi penting, dengan segala konsekuensinya, untuk menjadi sungguh Indonesia. Perubahan menuju kondisi: rakyat berdaulat, mandiri, unggul dalam peradaban, dan sehat jiwa raga. Semua ini, berlawanan dengan politisi pragmatis yang hanya memburu kekuasaan semata. |

 

Editor : delanova
 
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 954
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1176
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1443
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1589
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 749
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 903
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 858
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya