Begal Demokrasi dan Indikasi Kejahatan Budaya

RUU DK Jakarta Abaikan Aspirasi Kaum Betawi

| dilihat 297

Catatan Bang Sèm

Manipulasi konstitusi dan pembegalan demokrasi dilakukan dengan beragam cara. Terutama melalui perumusan Rancangan Undang Undang (RUU) atau revisi Undang Undang.  

RUU Daerah Khusus (DK) Jakarta yang baru diputuskan sebagai usul inisiatif DPR RI adalah salah satu contohnya (Selasa, 5/12/2023). Rancangan undang undang ini mengabaikan aspirasi masyarakat inti Jakarta, kaum Betawi.

Pasal 10 ayat (2) RUU DK Jakarta tersebut secara eksplisit menyebut, "Gubernur dan Wakil Gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD."

Pasal dan ayat tersebut secara gamblang menegaskan gagasan yang mencerminkan hasrat membegal demokrasi. Sebagai pintu masuk untuk memperlakukan di seluruh Indonesia, bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur tidak lagi dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Adalah Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DPR RI Amir Uskara yang mengungkapkan kepada Kompas.com, Jum'at (8/12/2023), pihaknya mengusulkan klausul gubernur Jakarta ditunjuk presiden dalam draf Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ).

Menurut dia, PPP ingin agar jabatan gubernur menjadi kepanjangan pemerintah pusat di daerah. Sedangkan sistem otonomi daerah di mana kepala daerahnya dipilih langsung oleh rakyat tetap bisa diterapkan pada tingkat kabupaten/kota.

Otonomi Palsu Gaya Orde Baru

Alasan Amir? Semua gubernur merupakan perwakilan pemerintah pusat di daerah, sehingga di undang-undang otonomi daerah, menurutnya, otonomi itu ada di kabupaten, bukan di provinsi.

Pada bagian lain, Amir mengemukakan kepada wartawan Kompas.com yang mewawancarainya, bahwa PPP pun menilai, pemilihan gubernur oleh presiden bisa dimulai dari wilayah Jakarta, setelah tak menjadi ibu kota negara dan berstatus Daerah Keistimewaan Jakarta (DKJ).

Dia mengungkapkan, “Khusus DKI itu, malah kita berpikir, itu kita mulai jadi pemerintah provinsi representasi pemerintah pusat, tapi masih ada keterlibatan teman-teman di DPRD provinsi.”

Membaca dengan cermat pernyataan Ketua Fraksi PPP di DPR RI, itu segera terbayang kembali penyelenggaraan pemerintahan daerah di tingkat provinsi, akan kembali seperti era Orde Baru, sebagaimana diatur dalam UU No. 5/1974 tentang Pokok Pokok Pemerintahan Daerah yang menerapkan prinsip otonomi palsu. Meski secara tekstual berbunyi, "Otonomi Daerah yang luas, nyata, dan bertanggungjawab."

Selain apa yang dikemukakan Ketua Fraksi PPP tersebut, bila dicermati secara teliti, RUU DK Jakarta tersebut berbeda dengan Undang-Undang tentang daerah lain seperti Nangroe Aceh Darussalam dan Yogyakarta yang menyandang status sebagai daerah dengan keistimewaan atau kekhususan tertentu.

Mengabaikan Aspirasi Kaum Betawi

Pasal 20 RUU DK Jakarta mendeskripsikan  norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan pemerintahan ditetapkan di bawah kewenangan Pemerintah Pusat. Maknanya adalah kekhususan Jakarta kelak hanya merupakan jebakan fantasi (fantacy trap).

Apalagi pada ayat (5) huruf b, eksplisit dinyatakan, "mewajibkan Daerah Khusus Jakarta untuk mendapatkan izin, persetujuan, rekomendasi, dan/atau bentuk lainnya kepada Pemerintah Pusat." Disertai ancaman pada ayat (7) huruf a, Pemerintah Pusat kapan saja dapat menarik pelaksanaan kewenangan; dan/atau -- huruf b -- menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, bila Provinsi DK Jakarta (dianggap, dinilai) melanggar norma, standar, prosedur dan kriteria pelaksanaan urusan pemerintahan.

Dalam hal kebudayaan, para perumus dan Panitia Kerja (Panja) RUU DK Jakarta mengabaikan sama sekali dan tak peduli dengan berbagai aspirasi yang dikemukakan oleh masyarakat inti Jakarta, yakni kaum Betawi. Terutama Betawi pituin.

Pasal 31 RUU DK Jakarta ini sekadar meneruskan apa yang diatur dalam UU No 29 Tahun 2007 Pasal 26 angka (6) dan UU No 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, terkait dengan pemajuan kebudayaan Betawi dan kebudayaan lainnya yang berkembang di Jakarta. Kedudukan Lembaga Adat dan Kebudayaan Betawi diposisikan sama dan setara dengan badan usaha, lembaga pendidikan umum dan keagamaan, serta masyarakat.

Keberadaan Lembaga Adat dan Kebudayaan Betawi sebagai manifest budaya dan dan salah satu pemeran utama dalam sejarah perkembangan Jakarta tidak diatur dalam pasal khusus, karena tak dijelaskan keberadaannya dalam Bab I Ketentuan Umum.

Lembaga Adat dan Kebudayaan Betawi

Kekhususan Jakarta hanya dinyatakan dalam Pasal 1 -- hanya -- sebagai : (1) Provinsi Daerah Khusus Jakarta adalah daerah provinsi yang mempunyai kekhususan dalam menyelenggarakan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; (2)  Kewenangan Khusus adalah kewenangan yang dimiliki oleh Provinsi Daerah Khusus Jakarta terkait pelaksanaan fungsi sebagai pusat perekonomian nasional dan kota global.

RUU DK Jakarta secara sadar, terencana, dan sistematis mengabaikan dimensi historis dan realitas sosial budaya yang menepikan eksistensi masyarakat inti kaum Betawi. Kenyataan ini menunjukkan, perumus dan Panja RUU DK Jakarta, tak hanya membegal hak rakyat dalam praktik demokrasi. Jauh dari itu, juga melakukan kejahatan budaya (crime of culture) berupa reduksi (secara halus) hak-hak masyarakat inti, kaum Betawi.

Tanpa kedudukan dan fungsi yang jelas, Lembaga Adat dan Kebudayaan Betawi dalam RUU ini tidak memiliki kekuatan dan kewenangan khas, kecuali 'pemajuan kebudayaan' yang sebagian terbesar lebih berkaitan dengan produk budaya ( seni, bahasa dan sastra, kuliner, fashion, tradisi, ritus).

Maknanya, Lembaga Adat dan Kebudayaan Betawi tidak dapat secara langsung ikut menentukan visioneering (rekacita) berdasarkan kecerdasan budaya (akal budi) atau daya pikir untuk merencanakan masa depan dengan imajinasi atau kebijaksanaan yang hidup dan berkembang di dalam kaum Betawi. Termasuk dalam menguatkan ketahanan budayanya dalam menghadapi arus besar perubahan global menuju peradaban Society 5.0.

Kejahatan budaya mencakup pensiasatan melalui undang-undang segala upaya pelemahan budaya tempatan menjadi hanya kitsch, termasuk hak-hak dasar masyarakat inti kaum Betawi atas tanah, permukiman, ruang dan wilayah budaya, karena DK Jakarta menjadi kota global dengan kekhususan sebagai pusat perekonomian nasional.

Juga pelemahan dan marginalisasi norma, nilai, dan reliji seperti dulu kolonial Portugis, Inggris, dan Belanda melakukannya. Sebagaimana mereka melakukan terhadap Kana, Mesir, Mughal, dan Aborigin. Atau apa yang pernah dilakukan Jerman atas Polandia.

Pejuang Negarawan

Merujuk pada pandangan Richard Kostelanetz (1995), reduksi posisi dan fungsi Lembaga Adat dan Kebudayaan Betawi hanya sebagai 'lembaga adat dan kebudayaan (dalam huruf kecil) Betawi,' pada tingkat tertentu, kelak dapat menjadi friksi (kemudian) konflik kritis dengan negara (Pemerintah Provinsi DK Jakarta). Terutama karena peningkatan kualitas dan kapasitas modal insan kaum Betawi.

Khasnya, karena institusi negara dapat melakukan pembiaran -- untuk dan atas nama transformasi global -- pengkerdilan budaya (terutama nilai, norma, dan religi) masyarakat inti. Apalagi, sampai kini negara belum menunjukkan kemampuan untuk mengimbangi percepatan budaya global (termasuk singularitas dan transhumanitas). Tidak seperti Jepang, Korea, bahkan Malaysia, misalnya, yang sangat serius dan mampu menjaga keseimbangan dengan menguatkan kecerdasan budaya tempatan untuk bersanding dan bertanding dengan budaya global.

Fungsi DK Jakarta dengan sendirinya harus dinyatakan sebagai, Kota global, Pusat Perekonomian, dan Pusat Keuanggulan Budaya Tempatan dan Nasional. Maknanya adalah, keberadaan Lembaga Adat dan Kebudayaan (dengan huruf besar) Betawi merupakan salah satu indikator DK Jakarta sebagai kota global. Lembaga yang memainkan peran strategis dalam melindungi hak-hak budaya masyarakat inti Kaum Betawi.

Cukuplah Kaum Betawi bersabar selama lebih empat abad menjadi host - tuan rumah yang ramah di tanahnya yang sekaligus menjadi tanah kelahiran Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan segala rangkaian panjang peristiwa kebangsaan.

Kali ini, wajib menuntut hak sekaligus peran strategisnya, ketika DK Jakarta diimajinasikan sebagai strategic hub perubahan geo politik, geo ekonomi, dan geo budaya di Asia Pasifik menjemput zaman baru.

Para petinggi partai politik (dengan sedikit elite dan negarawan) punya peluang, melalui kader-kader kalian di DPR RI untuk menolak dan mengganti berbagai pasal dalam RUU DK Jakarta. Tunjukan, bahwa kalian adalah pejuang negarawan di barisan depan melawan para begal demokrasi dan kepanjangan tangan pelaku kejahatan budaya. |

 

Editor : delanova
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 248
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 474
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 466
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 438
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 538
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1062
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 291
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 756
Momentum Cinta
Selanjutnya