Peringatan KAA ke 60 - 2015

Tak Ada Yang Istimewa dari Jokowi

| dilihat 1780

Catatan Bang Sem

TAK seperti yang diwawar sebelumnya, bahwa Jokowi menghendaki pidato yang ‘powerfull’ dalam peringatan 60 Tahun Konferensi Asia Afrika (KAA). Faktanya, pidato Jokowi ketika menyambut para pemimpin negara dan pemerintahan dari sejumlah negara di Jakarta Convention Center (JCC), Rabu (22/4/15) biasa-biasa saja. Bahkan tak menunjukkan posisi Indonesia sebagai inisiator KAA 60 tahun lalu.

TAK ada yang baru dan istimewa dari Pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA). Pidato normatif dengan substansi mengulang-ulang pandangan yang sudah kerap diucapkan di berbagai forum internasional. Apalagi forum Perserikatan Bangsa Bangsa.

Jokowi berputar pada fenomena global yang sudah diucapkan berulang kali oleh pendahulunya di forum PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa), soal ketidakadilan, kesenjangan dan kekerasan. Juga soal cita-cita bersama tentang lahirnya peradaban dunia baru yang adil dan setara, yang masih jauh dari harapan. Demikian juga tentang pola konsumsi negara kaya, yang hanya 20 persen dari penduduk dunia atas 70 persen sumberdaya bumi, yang menyebabkan terjadinya ketidakadilan yang nyata. Ujung cerita, desakan tentang reformasi PBB (yang juga sudah berulang kali diujar-ujar oleh banyakan pemimpin negara) untuk mencapai keadilan bagi seluruh umat manusia.

Begitu juga terkait dengan pandangan usang tentang Bank Dunia, International Monetery Fund, dan Asian Development Bank. Termasuk tentang tatanan ekonomi dunia baru yang terbuka bagi kekuatan ekonomi baru. Bahkan dalam hal arsitektur keuangan global untuk menghilangkan dominasi kelompok negara atas negara lain, boleh dikata setback, karena Indonesia pernah menyusun arsitektur keuangan ASEAN yang kemudian menjadi salah satu pennyeimbang, ketika terjadi krisis 2008.

Demikian pula halnya dengan perlunya kepemimpinan global kolektif, adil, dan bertanggungjawab. Termasuk tawaran: Indonesia siap berperan sebagai kekuatan bagi perdamaian dan kesejahteraan. Apa yang diomongkan Jokowi dalam pidatonya sudah diomongkan di era pemerintahan Soeharto, Habibie, dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Saya tidak tahu persis, siapa speech writer pidato Jokowi, itu yang nampak tidak melihat referensi kongkret yang sudah dicapai Indonesia di masa presiden-presiden sebelumnya. Termasuk dalam hal menyikapi kemiskinan dan kesejahteraan global, sampai ke ujung millenium development global era.

Saya membayangkan, memperingati 60 tahun KAA, tim speech writer Jokowi mau menggali relevansi dan kontekstualitas Dasa Sila Bandung dengan realitas perkembangan dunia saat ini. Terutama berkaitan dengan geopolitik dan geoekonomi. Termasuk perubahan era yang bergerak begitu cepat, sehingga mendorong seluruh negara-negara Asia Afrika kini menghadapi lompatan masa yang tidak setara.

Bila Bung Karno, 60 tahun lalu berseru tentang realitas, bahwa kemerdekaan bagi seluruh negara di dunia merupakan sesuatu yang harus diperjuangan secara serempak. Kini, ketika realitas global menawarkan tantangan baru lebih besar, mustinya Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia meneriakkan tentang hakekat kedaulatan bangsa-bangsa secara ekuit dan ekual. Terutama, ketika terjadi pergerakan luar biasa lompatan peradaban dari era agraris, industri, informasi, dan kini (memasuki era konseptual).

Bahkan, ketika Jokowi mengatakan Indonesia akan menjadi jembatan maritim yang menghubungkan negara-negara Asia Afrika, pernyataan tanpa aksentuasi itu, lepas begitu saja. Karena realitasnya adalah Indonesia masih hanya merupakan part of the game dari penguasaan geopolitik berbasis maritim di Asia Pasifik, yang didominasi oleh Australia – Amerika Serikat – Tiongkok.

Sayang, momentum peringatan 60 tahun KAA yang seharusnya menjadi historical moment bagi pergerakan Indonesia menuju bangsa yang mandiri, berdaya saing, dan berperadaban unggul lepas begitu saja. Terutama, ketika dihadapkan oleh realitas pergerakan geo-ekonomi dan geopolitik global yang sedang bergeser dari Eropa – Amerika ke Asia – Pasifik.

Sebagai penggagas KAA, mestinya, Indonesia menjadikan momentum 60 tahun peringatan KAA sebagai, strategic moment untuk menegaskan peran sentral Indonesia. Khasnya dalam menggerakkan spirit Selatan-Selatan. Terutama, setelah negara-negara adidaya, tak pernah henti menjadikan kerakap politik mereka bertikai satu dengan lainnya.

Sejumlah negara di Timur Tengah dan Afrika, tak pernah sadar dan terus menjadi ‘kuda tunggangan’ untuk menjadi alat penindasan dan pertikaian dunia. Apa yang dilakukan Arab Saudi dengan sekutunya atas Yaman adalah satu contoh konkret di depan mata.

Padahal moment peringatan 60 tahun KAA sangat elok dan akan berpengaruh dahsyat, misalnya, ketika Indonesia (yang kantor kedutaan besarnya di Yaman menjadi sasaran bom Saudi Arabia) menyerukan bangsa-bangsa Asia Afrika untuk menghentikan pengiriman jamaah umrah ke Arab Saudi, sampai mereka menghentikan agresinya di Yaman. Termasuk perlindungan hak asasi manusia (secara eksplisit) warga negara AA yang menjadi buruh migran di Saudi Arabia dan negara-negara sekutunya. Tak terkecuali, tawaran konsep arsitektur keuangan dan moneter dunia berbasis non derivasi.

Peringatan KAA ke 60 tahun dengan pidato yang hambar, itu memang hanya menjadi komemorasi biasa saja. Tinggal lagi, nostalgia khas yang nyata bedanya dibandingkan masa sebelumnya, akan berlangsung di Bandung. Walikota Bandung Ridwan Kamil dan dukungan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, telah menunjukkan dirinya, pantas menjadi tuan rumah yang baik. |

Editor : Web Administrator
 
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 535
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1059
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 287
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 753
Momentum Cinta
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1194
Rumput Tetangga
Selanjutnya