Ibu Ajari Aku Menangis

| dilihat 1455

N. Syamsuddin Ch. Haesy

 

Ibu ajari aku menangis. Aku ingin menangis beberapa kali lagi.

Aku ingin menangis membayar kangenku pada ibu, ayah, kakak, adik, kakek dan nenek.

Aku ingin menangis setiapkali melintas di hampar tanah

tempat ibu, ayah, kakak, adik, kakek dan nenek terkubur bersama rumah,

ketika gempa mengguncang, tsunami menghempas, dan tanah lumpur bergerak.

Aku ingin menangis untuk ibu dan semua orang-orang tercinta,

yang tak kuasa selamatkan diri ketika bencana tiba.

Dalam kesendirianku kini, aku ingin menghantar do'a bersama tangis,

setiap kali adzan maghrib kumandang merasuk ke telingaku.

Mengetuk-ketuk dinding kesunyianku,

seperti bukit-bukit yang sunyi di tengah ramai orang meratap,

melesatkan do'a untuk engkau dan ribuan korban bencana.

Para syahid dan syahidah.

Ibu aku sedang termenung di sini.

Di bawah pohon kerinduan.

Persis di bukit rahman dan rahim-Nya

Kupandangi langit merah.

Aku ingin ibu menampakkan wajah di langit itu.

Mengajari aku menangis.

Aku sudah lupa bagaimana cara menangis.

Aku ingin menangis.

Menyaksikan tanah berpuing yang kini harum mewangi

mengganti anyir darah dan jenazah ketika bencana usai

Airmata dan wajah ratapku sudah terbawa oleh aneka gambar

dalam rekaman potret dan video ke seluruh dunia

tapi tak mengubah hidupku kini

Aku hanya satu dari ribuan pengungsi

Yang tak bisa berharap kepada sesiapa

'tuk melanjutkan jalan panjang kehidupan.

Aku hanya satu dari ratusan anak yang akan hidup sendiri.

Berayah harap, beribu asa, berkakak mimpi, beradik angan.

Ibu, hadirlah di langit jingga ketika senja menyambut malam.

Kala angin menyapa seperti dulu, menghantar ombak

hingga ke pantai, tempat dulu ayah dan ibu

bercerita tentang rembulan dan gemintang

menghias malam.

Ibu, hadirlah di langit harapku.

Ajari lagi aku menangis.

Menangis hanya untuk mengalirkan do'a-do'aku.

Biar airmataku menjadi bagian dari sungai-sungai di surga.

Tempat para syahid dan syahidah cengkerama

dalam asuhan rahman dan rahim-Nya.

Meski aku kan hidup di antara derita dan dukacita.

Kan kubentang cindai asa

dari tanah bencana hingga ke langit jauh.

Jelma jadi lembayung.

Ibu.. di tanah bencana ini kulanjutkan hidup.

Meski dengan tertatih, aku tak kan merintih.

Meski bertahap-tahap, aku tak kan meratap.

Bukankah ibu pernah mengajariku,

apa yang Allah firmankan:

Di balik bencana, selalu ada harapan.

Di balik kesulitan, selalu ada kemudahan.

Di balik kesendirianku, selalu ada kangen.

Selalu kuingin, tangisku kelak

menjadi titian kangen kepadamu

dan seluruh orang-orang tercinta.

Karenanya, ibu

ajari aku menangis

ajari aku

menangis

 

(DagoPakar, 10 Oktober 2018)

(mengenang bencana Lombok dan Palu)

 

 

ISYQ

 

angin berkah berembus dari sela rerimbun kebun-kebun surga

ikhtibar peristiwa cinta hari kemarin di fana dunia

sekeping cermin di genggaman halus jemari bidadari

hamparkan cinta kita kini dan hari esok

Allah meminjamkan lagi cinta dan kasih sayang itu

hasrat sukma terjaga jauh dari rimba syahwah

yang kita sulam di cindai rahman dan rahim

untai benang-benang keikhlasan dan kesabaran

nuun.. ujung jemari cintamu dan cintaku

ungkapan nada dawai sukma dalam rubayat cinta

simponi harmoni nada dan irama kehidupan

aku adalah sungai kedamaian mengalir dari telaga salsabilmu

insan nan junun dimabuk dzikir do'amu

sungai tempat bermandi bidadari turun jelang fajar

habibti... kau anugerah Ilahi menjemput hari abadi

Allah ciptakan untukku di kehidupan kini dan kelak

habibti... kau ada mewujud cinta-Nya

yang Allah berikan mengabulkan do'a-do'a kita

ukirkan nama kita di langit luas

nama-nama yang tertulis di hampar lauh ul mahfudz

ujung jemari sukmaku bertemu ujung jemari nuranimu

selesaikan kalimah rahmah pemungkas sakinah dan mawaddah

 

(JB, 041018)

 


NUUN

Nun.. pada pagi ketika mentari berkemul harap

Isyarat-Mu.. Ooo  Allah, kejutkan lagi kami

Entah bagaimana harus kami terima

Waktu bagai lembaran catatan kehidupan fana

Insan tiada daya, meski sains dan teknologi dalam genggaman

Derak retak pesawat debam burung besi menghunjam laut

Innalillahi wa inna ilaihi roji'un

Yang maha menghidupkan dan mematikan hanya Engkau

Allah penentu awal dan akhir, penentu batas hidup dunia

Nasib berubah takdir dalam musibah dan bencana

Tak kan pernah bisa kami tolak, meski dengan jerit dan do'a

Innalillahi wa inna ilaihi roji'un

 

(Jakarta, 291018)

- duka untuk korban pesawat Lion Air - JT610

di perairan Ujung Karawang

 

 

Editor : sem haesy
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 738
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 896
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 847
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 231
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 330
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya