N. Syamsuddin Ch. Haesy
Ibu ajari aku menangis. Aku ingin menangis beberapa kali lagi.
Aku ingin menangis membayar kangenku pada ibu, ayah, kakak, adik, kakek dan nenek.
Aku ingin menangis setiapkali melintas di hampar tanah
tempat ibu, ayah, kakak, adik, kakek dan nenek terkubur bersama rumah,
ketika gempa mengguncang, tsunami menghempas, dan tanah lumpur bergerak.
Aku ingin menangis untuk ibu dan semua orang-orang tercinta,
yang tak kuasa selamatkan diri ketika bencana tiba.
Dalam kesendirianku kini, aku ingin menghantar do'a bersama tangis,
setiap kali adzan maghrib kumandang merasuk ke telingaku.
Mengetuk-ketuk dinding kesunyianku,
seperti bukit-bukit yang sunyi di tengah ramai orang meratap,
melesatkan do'a untuk engkau dan ribuan korban bencana.
Para syahid dan syahidah.
Ibu aku sedang termenung di sini.
Di bawah pohon kerinduan.
Persis di bukit rahman dan rahim-Nya
Kupandangi langit merah.
Aku ingin ibu menampakkan wajah di langit itu.
Mengajari aku menangis.
Aku sudah lupa bagaimana cara menangis.
Aku ingin menangis.
Menyaksikan tanah berpuing yang kini harum mewangi
mengganti anyir darah dan jenazah ketika bencana usai
Airmata dan wajah ratapku sudah terbawa oleh aneka gambar
dalam rekaman potret dan video ke seluruh dunia
tapi tak mengubah hidupku kini
Aku hanya satu dari ribuan pengungsi
Yang tak bisa berharap kepada sesiapa
'tuk melanjutkan jalan panjang kehidupan.
Aku hanya satu dari ratusan anak yang akan hidup sendiri.
Berayah harap, beribu asa, berkakak mimpi, beradik angan.
Ibu, hadirlah di langit jingga ketika senja menyambut malam.
Kala angin menyapa seperti dulu, menghantar ombak
hingga ke pantai, tempat dulu ayah dan ibu
bercerita tentang rembulan dan gemintang
menghias malam.
Ibu, hadirlah di langit harapku.
Ajari lagi aku menangis.
Menangis hanya untuk mengalirkan do'a-do'aku.
Biar airmataku menjadi bagian dari sungai-sungai di surga.
Tempat para syahid dan syahidah cengkerama
dalam asuhan rahman dan rahim-Nya.
Meski aku kan hidup di antara derita dan dukacita.
Kan kubentang cindai asa
dari tanah bencana hingga ke langit jauh.
Jelma jadi lembayung.
Ibu.. di tanah bencana ini kulanjutkan hidup.
Meski dengan tertatih, aku tak kan merintih.
Meski bertahap-tahap, aku tak kan meratap.
Bukankah ibu pernah mengajariku,
apa yang Allah firmankan:
Di balik bencana, selalu ada harapan.
Di balik kesulitan, selalu ada kemudahan.
Di balik kesendirianku, selalu ada kangen.
Selalu kuingin, tangisku kelak
menjadi titian kangen kepadamu
dan seluruh orang-orang tercinta.
Karenanya, ibu
ajari aku menangis
ajari aku
menangis
(DagoPakar, 10 Oktober 2018)
(mengenang bencana Lombok dan Palu)
ISYQ
angin berkah berembus dari sela rerimbun kebun-kebun surga
ikhtibar peristiwa cinta hari kemarin di fana dunia
sekeping cermin di genggaman halus jemari bidadari
hamparkan cinta kita kini dan hari esok
Allah meminjamkan lagi cinta dan kasih sayang itu
hasrat sukma terjaga jauh dari rimba syahwah
yang kita sulam di cindai rahman dan rahim
untai benang-benang keikhlasan dan kesabaran
nuun.. ujung jemari cintamu dan cintaku
ungkapan nada dawai sukma dalam rubayat cinta
simponi harmoni nada dan irama kehidupan
aku adalah sungai kedamaian mengalir dari telaga salsabilmu
insan nan junun dimabuk dzikir do'amu
sungai tempat bermandi bidadari turun jelang fajar
habibti... kau anugerah Ilahi menjemput hari abadi
Allah ciptakan untukku di kehidupan kini dan kelak
habibti... kau ada mewujud cinta-Nya
yang Allah berikan mengabulkan do'a-do'a kita
ukirkan nama kita di langit luas
nama-nama yang tertulis di hampar lauh ul mahfudz
ujung jemari sukmaku bertemu ujung jemari nuranimu
selesaikan kalimah rahmah pemungkas sakinah dan mawaddah
(JB, 041018)
NUUN
Nun.. pada pagi ketika mentari berkemul harap
Isyarat-Mu.. Ooo Allah, kejutkan lagi kami
Entah bagaimana harus kami terima
Waktu bagai lembaran catatan kehidupan fana
Insan tiada daya, meski sains dan teknologi dalam genggaman
Derak retak pesawat debam burung besi menghunjam laut
Innalillahi wa inna ilaihi roji'un
Yang maha menghidupkan dan mematikan hanya Engkau
Allah penentu awal dan akhir, penentu batas hidup dunia
Nasib berubah takdir dalam musibah dan bencana
Tak kan pernah bisa kami tolak, meski dengan jerit dan do'a
Innalillahi wa inna ilaihi roji'un
(Jakarta, 291018)
- duka untuk korban pesawat Lion Air - JT610
di perairan Ujung Karawang