Judul di atas adalah kesan Ambotang Daeng Matteru, seorang aktivis sosial budaya dari Marissa - Pohuwato, Gorontalo - selepas mengikuti diskusi yang digelar Akademi Jakarta (AJ), Senin (24/6/24) petang di lobi Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Mantan aktivis kampus Universitas Hasanuddin - Makassar era 70-80an yang sedang dalam proses pemulihan dari stroke yang menerpanya, itu datang dengan kursi roda.
Didampingi putera bungsu dan kemenakannya, Ambotang yang sedang atas inisiatifnya sendiri 'merawat' lingkungan di Marissa, itu sedang menyelesaikan pembangunan sekolah untuk kaum miskin.
Ia bersemangat mengikuti diskusi bertajuk Kursi Panas Dingin ( Melacak sejarah kepemimpinan antara kenyataan, tradisi dan mitos) yang dipandu moderator Sulistyowati Irianto - Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia, itu.
Moderator, sehari-hari adalah staf pengajar di Bidang Studi Hukum Masyarakat dan Pembangunan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia sejak tahun 1986. Ia mendapatkan gelar Sarjana Administrasi Negara dari Universitas Gadjah Mada, Magister Antropologi Hukum dari Universitas Leiden dan Universitas Indonesia, serta Doktor Antropologi (Hukum) dari Universitas Indonesia. Jabatan Guru Besar Antropologi Hukum ia dapatkan pada tahun 2008 dengan Pidato Pengukuhan Guru Besar berjudul: “Meretas Jalan Keadilan bagi Kaum Terpinggirkan dan Perempuan (Suatu Tinjauan Socio-Legal).” Belakangan ia populer dengan penilaiannya tentang proses komunikasi publik yang dilakukan penguasa (yang bersifat penetratif hipodermis) sebagai 'kekerasan budaya.'
Kalatida - Ranggawarsita
Sulistyowati juga aktif mengembangkan kajian gender dan hukum, dan socio-legal studies di Indonesia, menjadi anggota dari berbagai asosiasi profesi. Di antaranya anggota dari the International Commission on Legal Pluralism sejak tahun 1993 sampai sekarang, dan menjadi Anggota Board (2004-2014); co-founder dan anggota dari the Asian Initiative on Legal Pluralism sejak 2004 sampai sekarang, menjadi sekretaris (2004-2006); wakil sekretaris umum Asosiasi Profesor Indonesia (2013-2019); co-founder dan anggota dari the Convention Watch Working Group, Universitas Indonesia (1994-2008); Ketua Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia (2000-2010); Ketua Dewan Pembina Research Institute on Earth Innovation (INOBU) sejak 2018; dan anggota ASLESSI (Asosiasi Peneliti dan Pengajar Studi Sosio Legal Indonesia). Dan, banyak lagi aktivitasnya.
Pembicara dalam diskusi tersebut adalah Agustinus Setyo Wibowo (Romo Setyo) - intelektual dan dosen dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara - Jakarta. dan Susi Dwi Harijanti - intelektual aktivis dan guru besar ilmu Hukum Tata Negara - Universitas Padjadjaran - Bandung.
Peserta datang dari kalangan yang beragam. Aktivis (senior) kampus dan akademisi (antara lain UI, Universitas Trisakti, Universitas Moestopo), seniman, jurnalis dan mantan jurnalis yang menjadi politisi. Juga aparatur sipil negara. Mereka menyimak dengan tekun dan berinteraksi dalam diskusi tersebut.
Ketua AJ - Seno Gumira Ajidarma, membuka diskusi itu dengan membaca terjemahan puisi karya Ranggawarsita (1802-1873) bertajuk Kalatida (Zaman Rusak) : Mengalami zaman gila / Hati gelap kacau pikiran / Mau ikut gila tak tahan / Jika tidak ikut tak kebagian / Akhirnya kelaparan / Sebenarnyalah kehendak Tuhan / Seberuntung-beruntungnya yang lupa / lebih beruntung yang ingat dan waspada.
Ketika puisi itu dibaca Seno, di luar ruangan -- pelataran antara Teater Besar dengan Teater Tuti Indra Malaon -- puluhan belia dari kalangan Gen Z sedang latihan tari Massal.
Moderator Sulis -- yang juga populer sebagai akademisi - guru besar yang menjadi salah satu penggerak para akademisi dan guru besar mengkritisi praktik demokrasi jelang Pemilihan Umum 2024 -- membuka diskusi.
Dia memberi pengantar yang menarik. Mulai soal tajuk 'Kursi Panas Dingin' yang cair dan boleh jadi tak kepikiran kalangan akademisi di kampus yang banyak 'dihunjam' aturan-aruran administrasi akademik sampai ke soal esensi topik bahasan ihwal kepemimpinan dalam praktik demokrasi Indonesia terkini.
Pencerahan dari Akademisi Intelektual
Ia memantik peserta diskusi untuk mencermati bentang pemikiran dari aspek filosofi sampai praktiknya dalam realitas politik. Sekaligus memperkenalkan dua nara sumber yang bukan sekadar intelektual 'scholar' melainkan juga intelektual di ranah publik.
Moderator mengemukakan, di tengah banyak akademisi yang tak menunjukkan keberadaannya sebagai intelektual, dua pembicara dalam diskusi ini merupakan akademisi yang sungguh intelektual dalam makna yang semestinya.
Pembicara pertama, Agustinus Setyo Wibowo - lulusan STF Driyarkara (1994) yang menempuh pendidikan baccalaureat Teologi di Universitas Gregoriana - Roma (1996-1999), lantas menyelesaikan gelas Master Filsafat (2000-2001) dan DEA en Philosopie (2003-2007) di Universitè Paris I - Panthèon Sorbonne, Paris - Perancis. Dia mengajar di STF Driyarkara, Universitas Sanata Dharma, dan Prodi S3 STIK - PTIK (Kepolisian). Sekaligus aktif sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Basis, Yogyakarta. Karya ilmiahnya bejibun. Ia menyampaikan paparan bertajuk "Dari Pemimpin Demokrat ke Neo Feodal?" dengan fokus pada analisis tentang kemunduran demokreasi dan naiknya neo feodalisma.
Susi Dwi Harijanti adalah Kepala Departemen Hukum Tata Negara - Fakultas Hukum UNPAD sejak 2010, anggota Senat Akademik dan Ketua Kelompok Kerja Dewan Profesor UNPAD dan berbagai jabatan lain. Lulusan Fakultas Hukum UNPAD (1990), Master of Law (1998) dan Philosopical Doctor (2011) Melbourne Law School ini, banyak aktif dan berperan dalam berbagai aktivitas intelektual di luar kampus. Antara lain Ketua Kelompok Kerja Reformasi Sektor Peraturan Perundang-undangan Kemenko Polkam (2023), Panitia Seleksi Komisi Kejaksaan RI (2023), Penilai Makalah Calon Hakim Agung (2022, 2024), Senior Associate pada Center for Indonesian Law, Islam and Society - Melbourne Law School dan lain-lain. Karya ilmiahnya juga bejibun. Ia menyampaikan paparan bertajuk "Presiden: Mencari Constitutional Officer." | tokngah
Pandangan Pembicara dalam artikel : Demagog Bisa Jadi Pemimpin