Jelajah Sumatra

Pesona Masjid Rao Rao di Sungai Tarab Bungo Satangkai

| dilihat 928

Catatan Perjalanan Bang Sém

GERIMIS turun rinai, Sabtu (1 Januari 2022) membasahi Nagari Rao-Rao, Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar. Sebuah masjid dengan pesona khas, tampak di tepi jalan raya lintasan Batusangkar - Bukit Tinggi, Sumatera Barat.

Inilah masjid Rao Rao yang akan berusia 104 tahun. Ketika mencapai 100 tahun, masyarakat Rao-Rao diwakili H. Fuad Ismail, Wali Nagari H. Fahmi Muhammad, dan Bupati Tanah Datar H. Irdinansah Tarmizi menggelar syukuran, sambil meletakkan prasasti di salah satu dinding berukir masjid ini.

Balai Penelitian dan Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat menetapkan bangunan masjid ini sebagai cagar budaya yang pemeliharaannya diatur melalui undang-undang.

Dari berbagai sumber informasi diketahui, proses pembangunan masjid ini berproses sejak dimusyawarahkan gagasannya pada tahun 1892.

Pembangunan dimulai dengan membangun empat soko guru masjid yang dimulai tahun 1908, di atas lahan wakaf Haji Mohammad Thaib Chaniago, dipimpin tokoh masyarakat setempat, Abdurrachman Datuk Mojo Indo.

Pada 1916, jama'ah sudah dapat memanfaatkan masjid ini untuk salat berjama'ah, meskipun lantainya masih sederhana. Untuk menyempurnakan masjid ini, pemimpin pembangunan dan anggotanya bahu membahu menggalang dana ke berbagai saudagar Minang asal Rao Rao, sampai ke Seremban dan beberapa wilayah di Negeri Sembilan, Pahang, serta beberapa negeri lain di jiran, selain yang merantau ke berbagai kota di Indonesia. 

Penggalangan dana berhasil. Keramik berbahan marmer, langsung di pesan ke Italia dan pengirimannya dilakukan melalui kapal laut, kemudian diangkut melalui kereta api menuju ke Payakumbuh. Lalu, dengan menggunakan Pedati, keramik marmer Italia itu diangkut dengan pedati, hingga ke lokasi.

Pada 23 Juni 1918, masjid ini sudah menjadi sentra kegiatan ibadah dan muamalah umat Islam setempat dan dibuka untuk umat Islam dari mana saja yang datang ke masjid itu.

Masjid yang pernah berwarna putih biru, ini sempat mengalami kerusakan dan direnovasi pada tahun 1926. Tahun 1932 dilakukan pembuatan mihrab seperti yang ada dan nampak hingga kini. Perbaikan terakhir masjid ini, terjadi pada tahun 2009.

Kekhasannya adalah masjid ini belum mengalami pemugaran besar-besaran. Renovasi kecil dan terbatas dilakukan pada tahun 1975 untuk meluruskan kembali menara yang sempat miring. Tahun 1990 pernah dilakukan pergantian keramik, karena keramik yang lama dinilai sudah lusuh.

Masjid ini merupakan masjid tertua di Indonesia yang masih kokoh hingga kini. Masjid seluas 256 meter persegi dengan halaman luas ini, terbilang masjid dengan cita rasa artistik, estetik, dan etik islami yang khas.

Masjid dengan atap tiga tingkat berwarna hijau, yang di puncaknya atas bagonjong menyerupai rumah dan lumbung khas Minangkabau, menara tunggal berjendela khas, juga beratap bagonjong di atas dak bagian muka.

Semula, atap masjid terbuat dari ijuk seperti masjid tua Kayu Jao di Solok. Setelah Indonesia merdeka, baru diganti dengan menggunakan seng.

Di ruang ibadah yang nyaman dan sejuk, terdapat mihrab, mimbar berukuran sekira 3 kali 1,35 meter persegi dengan ketinggian 3 meter, ukiran kaligrafi dan ragam hias.

Ujung-ujung sudut atap mengarah ke empat penjuru, di atas empat pilar yang melambangkan sub suku asal penduduk Rao-Rao, yaitu Petapang Koto Ampek, Koto Chaniago, Koto Piliang, dan Bendang Mandahiling. Empat sisi menara, pun melambangkan kerukunan dan keseimbangan empat sub suku tersebut dalam mewujudkan cita-cita bersama, membangun masyarakat yang sejahtera di Rao-Rao.

Citarasa Melayu - Minangkabau, nampak dan terasakan pada bagian atas bangunan disertai ornamen khas di setiap plang atap. Akan halnmya cita rasa Persia (bergaya Isfahan dan Syraz) segera terasa pada bentuk lengkung jendela utama pada sisi beranda depan dan samping, antara bangunan induk ruang ibadah dengan halaman. Akan halnya citarasa Eropa (Italia dan Belanda) terasakan pada empat sokoguru masjid ini.

Keindahan artistika dan estetika masjid ini, nampak jelas dan terasa pada tatanan pecahan kaca keramik yang memperindah mihrab, yang ditata permanen sejak 1930.

Masjid Rao Rao dari perspektif budaya juga merupakan salah satu jendela untuk memahami prinsip dan filolsofi hidup  masyarakat Minangkabau: adat basandi syara,' syara' basandi kitabullah, yang sudah sangat populer itu. Suatu filosofi yang menegaskan menegaskan konstelasi religi, khasnya Islam dalam keseluruhan tata kehidupan masyarakat sehari-hari.

Dalam konteks adat basandi syara,' syara' basandi kitabullah sudah jelas maknanya, bahwa Islam merupakan pondasi sekaligus pilar dalam tata kehidupan masyarakat Minangkabau.

Nilai-nilai Islam merupakan nilai-nilai dasar perjuangan hidup masyarakat Minangkabau yang mengandung makna tauhid, syariat, muamalat, dan akhlak. Tak terkecuali dalam mencapai puncak penghidupan dan ilmu pengetahuan, sekaligus dalam menjalankan siyasah atau cara hidup mencapai tujuan akhir di dunia dan akhirat.

Al Qur'an - kitabullah sebagai petunjuk utama kehidupan Islam dan islami yang menjadi rujukan dalam mengambil berbagai keputusan, baik dalam konteks mencapai musyawarah dan mufakat, maupun dalam memutus berbagai perkara dalam ranah adat resam budaya. Bahkan marawa sebagai indikator watak martabat yang menjadi ciri budaya masyarakat Minangkabau, berhulu pada filosofi ini.

Di masjid Rao, filosofi ini terasa. Khasnya yang berkaitan dengan relasi manusia dengan Allah sebagai prima kausa dan Pencipta, manusia dengan alam, dan manusia dengan insan sesama.

Anthony Hilman, pengacara asal Padang Panjang yang beristri perempuan Minang asal Rao-Rao mengemukakan, masjid yang letaknya hanya beberapa ayunan langkah saja dari rumah asal istrinya, ini merupakan salah satu wujud ekspresi nilai budaya masyarakat Minangkabau dalam bentuk seni bangunan - arsitekur.

Dilihat dari beragam perspektif yang menyertai pembangunan dan aktivitasnya, Masjid Rao Rao dapat dikatakan sebagai respresentasi masjid sebagai entra sosio budaya dari beragam komunitas manusia, adaptif dengan cita rasa budaya mancanegara, dan keberadaannya mencerminkan transmisi lintas waktu yang dialami berbagai generasi dari masa ke masa.

Dillihat dari atmosfir lingkungan sosialnya, masjid ini memainkan peran dan fungsi sentral  dalam membentuk, mengukur dan mempertemukan pola perilaku, norma, nilai yang sangat bervariasi menjadi satu kesatuan perilaku budaya yang komprehensif. Menghimpun yang terserak, mendekatkan yang jauh, mengkaribkan yang dekat, dan mengikatnya dalam komitmen akidah, syariah, muamalah, dan akhlak. Karenanya, pada perkembangannya, masjid ini dilengkapi dengan sekolah Darul Huda.

Masjid ini tak bisa dipisahkan dari tambo budaya yang menghubungkan masyarakat Rao-Rao yang di masa lampau berada dalam wilayah emporium Pagaruyung yang masyhur. Terutama karena kekayaan sumberdaya alam wilayah kekuasaannya yang menyimpan emas, batubara, dan bahan tambang lainnya. Termasuk relief alam yang khas terbentuk antara Singgalang dan Marapi. Alam dan lingkungan Minangkabau sebagai pusat emporium Pagaruyung dipandang sebagai hulu bangsa Melayu.

Masjid yang desainnya menginspirasi masjid lain di Sungai Tarab (Masjid Sa'adah Gurun) dan Masjid Raya Koto Baru di Kecamatan Sungai Baru, Solok Selatan, Sumatera Barat, ini pun tak dapat dilepaskan kaitannya dengan sejarah perjuangan dan pergerakan rakyat di Minangkabau.

Tahun-tahun pembangunan masjid ini berada dalam lintas masa pergerakan perjuangan melawan penjajah Belanda. Karenanya, sumber-sumber lisan menyebut masjid ini sebagai salah satu sentra perjuangan rakyat mengatur siyasat melawan penjajah. Masjid ini juga disebut-sebut sebagai titik temu komitmen perjuangan kolektif antara kaum paderi dan kaum adat.

Tempat yang menjadi titik temu spirit perjuangan antara alim ulama dan kaum cerdik pandai yang seolah-olah mempertemukan kembali komitmen perdamaian berpangkal kisah perselisihan dalam menentukan pusat emas di masa lampau, antara Datuk Katumanggungan - pendiri kerajaan Bungo Satangkai, yang menemukan emas di Sungau Saruaso dengan Datuk Perpatih Sebatang - cendekia dari kalangan Datuk Suri Dirajo.

Masjid Rao-Rao diyakini sebagai telaga spiritual untuk mendinginkan konflik kedua kalangan, antara yang memiliki otoritas mengendalikan pengiriman hasil tambang emas ke Pantai Barat dan Pantai Timur Sumatera, dan yang tidak punya wewenang.

Gerimis reda. Masjid Rao-Rao tetap tegak dengan segaknya yang mempesona dari masa ke masa.. |

Editor : delanova | Sumber : berbagai sumber
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 432
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1503
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1322
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 634
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 784
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 751
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya